Mengkritisi RUU HIP Beserta Dilema Implementasinya

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Shabrina Syahidah (Aktivis Pergerakan Mahasiswa Surabaya)

RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) jelas kontroversial. Melalui sebuah maklumat, MUI berpandangan bahwa RUU HIP memeras pancasila menjadi Trisila lalu menjadi Ekasila yakni gotong royong adalah nyata-nyata merupakan upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila.

Dia mengatakan, hal itu secara terselubung ingin melumpuhkan keberadaan sila Pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang telah dikukuhkan dengan Pasal 29 Ayat (1) UUD Tahun 1945.tribun-timur.com
Sejak kemunculannya, RUU HIP dinilai cacat. Secara filosofis, RUU yang terdiri dari 10 Bab dan 60 Pasal ini ditentang para ahli karena berusaha menjadikan Pancasila sebagai hukum positif.

Demikian pula secara yuridis, TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme tidak dimasukkan sebagai konsideran di antara 8 rujukan. Padahal sejarah Indonesia berisi catatan kelam akibat keberpihakan Orde Lama pada ajaran ini.

Sekalipun Menko Polhukam Mahfud MD melalui akun Twitter pribadinya (16/6) menyatakan pemerintah sementara memutuskan untuk menunda pembahasannya dan meminta DPR menyerap aspirasi publik, namun reaksi keras masyarakat belum juga mereda.

Pemerintah jelas tak ingin kehilangan muka setelah testing the water masih menunjukkan penolakan elemen umat Islam terhadap aturan yang disinyalir merongrong ajaran Islam. Hal ini menimbulkan banyak polemik mulai dari makna Pancasila sebagai ideologi, apa saja yang bertentangan dengan ideologi, juga bagaimana mewujudkan integrasi hingga polemik soal implementasi di berbagai bidang termasuk bidang ekonomi. Di satu sisi menetapkan peran negara yang harus lebih dominan dalam menjaga ekonomi rakyat namun juga mendorong kebijakan utang LN dengan alasan memperkuat ekonomi.

Pengamat Politik, Siti Zuhro mengatakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila  (RUU HIP) telah memunculkan perdebatan dan resistensi yang meluas. Bahkan juga telah menuai penolakan dari berbagai kalangan.

“Menurut hemat saya, penolakan civil society dan kelompok-kelompok strategis lainnya merupakan petunjuk yang jelas bahwa RUU HIP patut ditolak,” kata Zuhro dalam pesan tertulis yang diterima Republika, Ahad (14/6). Zuhro beranggapan ada kekhawatiran yang sangat beralasan. HIP merupakan agenda menghidupkan kembali ajaran komunisme, terutama dengan sama sekali tidak merujuk pada Ketetapan MPR RI yang masih berlaku, yaitu Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966. Sementara seluruh Ketetapan MPR yang lainnya dirujuk sebagai dasar penyusunan RI dan hanya menjadikan Keadilan Sosial sebagai esensi pokok dari Pancasila.

Selain itu, MUI menilai keberadaan RUU HIP telah mendistorsi substansi dan makna nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Melalui sebuah maklumat, MUI berpandangan bahwa RUU HIP memeras pancasila menjadi Trisila lalu menjadi Ekasila yakni gotong royong adalah nyata-nyata merupakan upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila. Dia mengatakan, hal itu secara terselubung ingin melumpuhkan keberadaan sila Pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang telah dikukuhkan dengan Pasal 29 Ayat (1) UUD Tahun 1945.

Penolakan juga dilontarkan dari dua ormas besar, yakni NU dan Muhammadiyah. Sangat jarang bagi dua ormas besar tersebut menyuarakan isu yang sama, yakni sama-sama mengeritik Rancangan Undang Undang HIP. Dua ormas terbesar di Negeri ini bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) kompak meminta RUU HIP direvisi karena berbahaya.

Polemik dan penolakan berbagai kalangan umat terhadap RUU HIP ini, salah satu yang mengemuka karena celah keterbukaan terhadap berkembangnya komunisme. Meski saat ini pembahasannya ditunda sementara waktu, namun tidak menutup kemungkinan bahwa RUU ini akan disahkan oleh pemerintah.

Bahaya komunis telah dirasakan kekejaman dan kerusakannya oleh orang-orang di Indonesia. Apalagi mereka yang mengerti betul sejarah kemerdekaan negeri ini dan merasakan kebengisan golongan kiri. Namun, harus disadari oleh semua komponen bangsa bahwa ancaman tidak kalah besar bahayanya bersumber dari berkembangnya kapilatisme dan liberalisme yg makin mengakar di sektor-sektor strategis umat. Kita tidak lagi dihadapkan dengan fakta kebengisan seseorang yang dengan mudah memenggal kepala orang lain karena berbeda pemikiran. Saat ini, bahkan terdapat ribuan bahkan ratusan ribu nyawa yang melayang akibat yang ditimbulkan sistem kapitalis, yakni kelaparan, aborsi, pembunuhan, narkoba, tawuran, dan masih banyak yang lain. Identitas sebagai seorang muslim juga telah hilang dari diri umat islam, mereka merelakan segala apapun yang dimiliki untuk berganti kiblat budaya kebarat. Dan bukankah hal ini adalah masalah yang sama besar akibat berkuasanya sistem kapitalis dalam negeri ini?

Berbeda dengan islam, tidak ada sistem yang mampu memberikan kebaikan sekaligus kesejahteraan apabila diterapkan selain Islam. Dalam ideologi Islam, pengertian, pemaknaan, sekaligus bagaimana penerapannya telah dijelaskan secara rinci tanpa adanya perbedaan yang menimbulkan konflik, karena sistem ini berasal dari wahyu Ilahi Sang Pengatur sekaligus Maha Mengetahui seluk beluk manusia dan kehidupannya. Sehingga perlu adanya urgensitas mengenalkan Islam sebagai ideologi yang telah sangat komprehensif dan terintegrasi menjelaskan penyelenggaraan negara mulai aspek filosofi hingga sistem. Memberi identifikasi yang sangat jelas tentang apa saja yang bertentangan dengannya. Tidak ada saling kontradiksi antar bagiannya dan sistemnya secara integral mewujudkan keutuhan, keadilan dan kesejahteraan. Islam harus dihadirkan sebagai solusi, bukan dijadikan sebagai sesuatu yang membahayakan.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *