Oleh : Yekaa Esteel
Berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional tahun 2020, Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penyumbang angka perkawinan bawah umur tertinggi di Indonesia.
Dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Susilowati Suparto mengatakan, peningkatan angka pernikahan dini di masa pandemi Covid-19 salah satunya ditengarai akibat masalah ekonomi.
“Para pekerja yang juga orang tua tersebut sering kali mengambil alternatif jalan pintas dengan menikahkan anaknya pada usia dini karena dianggap dapat meringankan beban keluarga,” papar Susilowati dalam Webinar “Dispensasi Nikah pada Masa Pandemi Covid-19: Tantangan Terhadap Upaya Meminimalisir Perkawinan Anak di Indonesia” yang digelar FH Unpad, Jumat (3/7/2020), seperti dilansir dari laman Unpad.
“Tidak dapat dihindari terjadinya pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan menyebabkan angka dispensasi meningkat di masa pandemi ini,” tambahnya. Minimnya nilai religius yang remaja dapatkan ditambah kurangnya pengawasan dari orang tua memberi celah longgar bagi remaja untuk mendekati jurang kemaksiatan.
Praktik pernikahan dini didapati tetap marak meski pemerintah sudah merevisi batas usia minimal perkawinan di Indonesia menjadi 19 tahun melalui Undang-undang Nomor 19 tahun 2019.
Sejumlah faktor yang memengaruhi praktik pernikahan dini ini di antaranya adanya faktor geografis, terjadinya insiden hamil di luar nikah, pengaruh kuat dari adat istiadat dan agama, hingga minimnya akses terhadap informasi kesehatan reproduksi.
Semestinya, saran Sonny, pengadilan jangan mempermudah izin dispensasi kawin. Fakta dilapangan, hampir 90 persen permohonan dispensasi perkawinan dikabulkan oleh hakim. Hakim sepatutnya mempertimbangkan alasan yang menjadi dasar permohonan dispensasi, saran Sonny.
Sonny menjelaskan, pertimbangan mengadili permohonan dispensasi kawin harus mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019.
“Apakah alasan tersebut merupakan alasan yang mendesak atau dapat ditunda, serta mempertimbangkan perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis dalam bentuk nilai-nilai hukum, kearifan lokal, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat,” pungkasnya.
Umur tidak bisa dijadikan tolak ukur kedewasaan seseorang. Pernikahan bukan lagi hal yang menjadi wewenang sebuah negara tapi sudah menjadi urusan Sang Maha Kuasa.
Perlu adanya pengamatan akan sebuah kecelakaan pernikahan untuk mengukap fakta yang disembunyi. Tentunya akan menimbulkan pertanyaan yang sama disetiap benak orang ketika membaca/mendengar pernikahan dini yaitu “Apa saja penyebab pernikahan dini?”.
Nyatanya ada banyak faktor yang menyebabkan pernikahan dini salah satunya ekonomi. Dari faktor ini yang patut untuk disoroti adalah pemerintah. Karena kurangnya kepedulian pemerintah akan rakyatnya. Penyaluran dana dana sosial yang luput dari pengawasan, membuat mereka yang miskin semakin miskin karena tidak tersentuh dana tersebut. Bisa juga kurangnya jaminan pemerintah terhadap pendidikan remaja dan penyaluran kegiatan pasca lulus sekolah serta acuhnya pemerintah terhadap nilai religius remaja.
Yang selanjut hamil diluar nikah juga menjadi salah satu penyebab adanya pernikahan dini. Adanya pembatasan usia pernikahan membuat mereka khususnya remaja melakukan hal£ tercela tersebut. Kurangnya pembinaan ditambah sulitnya perizinan pernikahan membuat mereka memilih jalan pintas yang berakibat kerusakan mental dan moral pemuda. Peran pemerintah sebagai institusi perizinan dan peran orang tua sebagai penjaga sangat dibutuhkan disini.
Dari sekian banyak kasus pernikahan dini dapat dilihat betapa cacatnya pemerintah dalam membuat peraturan. Sebab acuan dan tolak ukurnya bukan lagi agama apalagi hukum islam. Pemeritahan hanya memandang materi atas ruginya atas melimpahnya penduduk tanpa penghasilan.
Lain halnya dengan sistem islam yang meneduhkan bagi siapapun yang dianaunginya. Segala jenis tingkah laku manusia diatur dengan rapih termasuk pernikahan dan banyak hal lainnya.
Dalam islam hukum pernikahan menjadi wajib ketika seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh dalam perbuatan zina. Akan menjadi sunnah ketika seseorang sudah mampu memberi nafkah dan berkehendak untuk menikah. Dan menjadi makruh ketika sesorang sudah memiliki hasrat yang kuat tapi belum mampu memberi nafkah. Akan menjadi haram ketika hanya berniat untuk menyakiti baik fisik maupun psikis.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Al – Bukhari dan Muslim menyebutkan “wahai sekalian para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mampu ba’ah hendaklah menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih mejaga kehormatan. Barang siapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa'(pemutus syahwat) baginya.
Dapat disimpulkan bahwa didalam islam tidak ada batasan umur untuk menikah. Tetapi lebih kepada kesiapan baik mental, materi dan psikisnya.
Waallohu a’lam bish-shawab.