Menggugat Biaya Kuliah Mahal di Tengah Pandemi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ulfa Ni’mah (Pegiat Literasi)

Aksi mahasiswa turun ke jalan menyuarakan haknya kembali berulang. Terbaru aksi bertajuk Pagelaran Universitas Nggawe Susah digelar oleh mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo. Lantaran permintaan audiensi terbuka berulang kali ditolak oleh pihak rektorat terkait persoalan Uang Kuliah Tunggal, akibatnya mahasiswa unjuk rasa turun ke jalan. Aksi yang berlangsung hari senin siang sampai sore ini diwakili dari golongan mahasiswa biasa UNS hingga BEM Fakultas, HMPS se-UNS dan organisasi ekstra kampus HMI, KAMMI, dan GMNI yang tergabung dalam aliansi UNS bergerak (TRIBUNSOLO.COM, SOLO 20/7/2020).

Dilansir dari detikcom (20/7/2020). Senin pukul 15.45 WIB, tagar universitas nggawe susah (bikin susah) atau #UniversitasNggaweSusah jadi trending topic di Twitter. Tagar ini ternyata diinisiasi akun Twitter BEM Universita menduduki peringkat pertama Trending Topic Twitter di Indonesia.

Dalam utasnya itu, BEM UNS menyebut almamater yang berada di luar UKT sangat tidak efektif dan diduga melanggar Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2017 dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018. Pihak mahasiswa pun meminta audiensi kembali namun masih ditolak. Mereka lalu memutuskan aksi turun ke jalan. Para mahasiswa ini menyuarakan 10 tuntutan aksi yang tergabung dalam dasasila maklumat mahasiswa UNS. Mereka menuntut soal pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) dan mengeluhkan besaran nilai sumbangan pembangunan institusi (SPI) yang dirasa tinggi.

Menanggapi aksi mahasiswa tersebut, Rektor UNS Jamal Wiwoho angkat bicara terkait penetapan UKT yang dilakukan berdasarkan regulasi. Sebagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berstatus Badan Layanan Usaha (BLU), UNS harus berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

Lebih lanjut dalam keterangannya tertulis tentang tarif biaya dan layanan. Tarif layanan BLU ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasar usulan pimpinan BLU dengan mempertimbangkan aspek kontinuitas dan pengembangan layanan, daya beli masyarakat, asas keadilan dan kepatutan, serta kompetisi yang sehat,

Begitu pula PTN berbadan (BH), Jamal juga menjelaskan bahwa penetapan tarif harus sesuai regulasi. “PTN Badan Hukum menetapkan tarif biaya pendidikan berdasarkan pedoman teknis penetapan tarif yang ditetapkan menteri. Dalam penetapan tarif, PTN Badan Hukum wajib berkonsultasi dengan menteri. Tarif biaya pendidikan ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa,” tutupnya. (SMOL.ID, 21/07/2020).

Tuntutan mahasiswa terkait keringanan UKT di tengah pandemi adalah kewajaran, mengingat pendidikan adalah hak warga negara. Sayangnya, pendidikan telah dijadikan sebagai barang ekonomi. Padahal bila ditelisik mendalam, pendidikan seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Lantas mengapa rakyat bersusah payah harus membayar biaya pendidikan yang sebenarnya menjadi haknya? Ada apa dengan negara?

Kapitalisasi Pendidikan

Tidak dipungkiri, biaya pendidikan di negeri Indonesia semakin bertambah seiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi yang timbul dari sektor pendidikan mencapai 3,81%. Sedangkan kenaikan rata-rata uang pangkal pendidikan di Indonesia mencapai 10-15% per tahunnya. Hal ini tentunya membuat orangtua kelimpungan dalam mempersiapkan dana, terlebih bagi orangtua yang anaknya sekolah di perguruan tinggi. Bisa dikatakan kenaikan biaya pendidikan bisa jadi lebih tinggi apabila dibandingkan dengan inflasi bahan kebutuhan pokok (CNBC Indonesia, 05/02/2020).

Perlu diketahui, semenjak PTN berubah status menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara), liberalisasi pendidikan khususnya perguruan tinggi sangat kentara. Rancangan skema global menginginkan pendidikan menjadi sektor yang harus diliberalisasi. Setelah diratifikasinya perjanjian dagang multilateral, Indonesia sebagai anggota WTO melakukan penyesuaian struktural atas paket kebijakan yang dikeluarkan oleh IMF dan Bank Dunia, yaitu General Agreement on Trade Servise (GATS), yang bertujuan meliberalisasi 12 sektor, yang salah satunya adalah sektor pendidikan. Akibatnya, biaya pendidikan kini melambung tinggi. Cocoklah slogan “orang miskin dilarang sekolah”. Tidak sedikit yang cita-citanya harus gugur dikarenakan kesulitan masalah biaya.

Meskipun konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan adalah “hak” dijamin oleh negara. Faktanya pendidikan adalah persoalan pribadi dan bukan tanggung jawab sosial yang menjadi urusan negara. Pemerintah berlepas tangan terhadap pendidikan khususnya perguruan tinggi. Pendidikan kini diserahkan kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Terlebih, adanya program unggulan “Kampus Merdeka” yang dicetuskan oleh pak Nadiem semakin memperparah kapitalisasi dan liberalisasi kampus.

Akibatnya, adanya liberalisasi pendidikan mengubah pendidikan sebagai komoditas ekonomi yang berorientasi pada keuntungan (komersialisasi pendidikan). Pendidikan bukan memprioritaskan kualitas tetapi sudah bersifat ekonomis atau bisnis, dan bergeser kualitasnya tidak lagi public good tetapi menjadi private good. Pendidikan juga bukan lagi kebutuhan primer melainkan kebutuhan mewah, sehingga semakin mengukuhkan penyebab putusnya aksesibilitas pendidikan oleh masyarakat ekonomi rendah.

Hal yang terpenting, komersialisai pendidikan telah terbukti gagal menciptakan generasi dengan kepribadian utuh dan berkarakter.

Sangat disayangkan, kampus hanyalah lembaga penghasil mesin yang menyediakan pasar industri dan diukur secara ekonomis. Ini artinya pengukuran keberhasilan pendidikan dalam proses humanisasi tidak tercapai. Ditambah, mahalnya biaya pendidikan juga dirancang sebagai bagian dari skema politik upah untuk menjaga upah buruh tetap murah di pasar kerja. Angkatan kerja yang tidak mendapatkan akses ke pendidikan tinggi memiliki posisi tawar yang lebih rendah untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak.

Inilah konsekuensi logis ketika Indonesia mengadopsi sistem pendidikan sekuler dan politik kapitalisme dijadikan sebagai tatanan kehidupan yang memberi dampak liberalisasi pada semua bidang. Ketidakmampuan pemerintah dalam menggratiskan pendidikan menjadi bukti lemahnya peran negara dalam mengelola pendidikan sebagai sektor publik dengan baik.

Pembiayaan Pendidikan dalam Islam

Pengaturan pendidikan dalam Islam sangat diperhatikan oleh negara. Dalam islam, negara benar-benar menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi masa depan untuk melanjutkan sebuah peradaban. Pendidikan bukanlah ladang bisnis negara, tapi kewajiban yang harus dipenuhi kepada seluruh warga negara.

Pendidikan juga merupakan kebutuhan primer, sehingga negara sepenuhnya menjamin setiap warga negara mendapatkan haknya. Setiap warga negara diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi, sesuai dengan kemampuannya.

Sebagai pihak penyelenggara pendidikan, negara menfasilitasi semua sarana dan prasarana pendidikan yang bermutu dan memadai serta memastikan agar tiap warga negaranya mendapatkan haknya dengan sempurna. Dengan pendidikan yang bermutu dan mendapakan dukungan penuh dari negara, memungkinkan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat.

Negara juga berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkaitan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Termasuk dalam hal yang berhubungan dengan kurikulum, akreditasi sekolah /PT, metode pengajaran dan bahan-bahan ajarnya.
Rasulullah saw memerintahkan dalam haditsnya, “Seorang imam (khalifah/kepala negara ) adalah pemelihara dan pengatur urusan umatnya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Sudah saatnya negeri ini, Indonesia berbenah dengan serius untuk mengatasi permasalahan dalam dunia pendidikan. Keseriusan itu diawali dengan perubahan mindset secara mendasar, bahwa untuk melakukan perubahan tidak hanya mengubah format pendidikan Islam namun juga berpijak pada sistem politik Islam.

Dengan pijakan yang khas inilah maka hak pendidikan rakyat yang bermutu dan berkualitas akan terjamin. Selama neoliberalisme masih mencengkeram negeri ini, maka pendidikan yang berkualitas dengan pelayanan yang murah tidak akan didapatkan. Dan pendidikan selamanya menjadi barang ekonomi yang diperjualbelikan dan lebih berorientasi pada keuntungan. Wallahu ‘alam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *