Oleh : Afra Shafaa Grazielle (Member Akademik Menulis Kreatif)
Ibarat ayam mati di lumbung padi. Peribahasa tersebut masih mewakili kondisi rakyat Indonesia hingga saat ini. Indonesia adalah surga, negara kaya akan sumber daya alam dan potensi cuaca yang amat menguntungkan. Konon, tongkat bisa jadi tanaman, kolamnya adalah kolam susu. Namun, kekayaan alam itu tidak mampu mengangkat kesejahteraan masyarakatnya yang berjumlah lebih dari 250 juta jiwa. Masyarakatnya masih banyak yang miskin.
Dilansir oleh MEDIAKENDARI.com (23/01/2010), sebanyak 31 ribu orang di Konawe masuk kategori miskin di tahun 2019. Jumlah itu lebih rendah dibanding tahun 2018 lalu dimana jumlah warga miskin sebanyak 33.400 orang. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Konawe, untuk presentase kemiskinan di Konawe tahun 2019 sebesar 12.34 persen. Jumlah itu menurun 1,14 persen dibanding presentase tahun 2018 lalu dimana angka kemiskinan sebesar 13.48 persen.
“Dalam menghitung angka kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan warga dalam memenuhi kebutuhan dasarnya atau basic needs approach,” kata Kepala BPS Kabupaten Konawe, Sultriawati Efendy, Kamis, (23/1/2020).
Menurutnya, dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan. “Angka penurunan ini disebut terus terjadi karena berhasilnya program kesejahteraan milik pemerintah seperti bantuan sosial hingga bantuan pangan non tunai,” ungkapnya.
Dirilis oleh bps.go.id (15/07/2019), persentase penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 9,41 persen, menurun 0,25 persen poin terhadap September 2018 dan menurun 0,41 persen poin terhadap Maret 2018. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang, menurun 0,53 juta orang terhadap September 2018 dan menurun 0,80 juta orang terhadap Maret 2018.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2018 sebesar 6,89 persen, turun menjadi 6,69 persen pada Maret 2019. Sementara persentase penduduk miskin di daerah pedesaan pada September 2018 sebesar 13,10 persen, turun menjadi 12,85 persen pada Maret 2019. Dibanding September 2018, jumlah penduduk miskin Maret 2019 di daerah perkotaan turun sebanyak 136,5 ribu orang (dari 10,13 juta orang pada September 2018 menjadi 9,99 juta orang pada Maret 2019). Sementara itu, daerah perdesaan turun sebanyak 393,4 ribu orang (dari 15,54 juta orang pada September 2018 menjadi 15,15 juta orang pada Maret 2019).
Garis Kemiskinan pada Maret 2019 tercatat sebesar Rp425.250,-/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp313.232,- (73,66 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp112.018,- (26,34 persen). Pada Maret 2019, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,68 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp1.990.170,-/rumah tangga miskin/bulan.
Rakyat Miskin Akibat Hegemoni Kapitalisme
Sebagai negara khatulistiwa, Indonesia diberkahi Allah Swt. dengan kekayaan alam yang berlimpah dan memiliki tanah yang subur sebagai tempat tinggal yang layak. Wajar jika Indonesia diumpamakan sebagai wanita cantik nan seksi yang diperebutkan oleh dunia. Jika demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan? Seolah-olah kekayaan alam yang ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah.
Kemiskinan adalah problem yang sangat memprihatinkan di Indonesia, yakni kurangnya pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Betapa besar jumlah kekayaan alam yang dikaruniakan oleh Allah Swt. Sungguh ironi, tanah yang luar biasa subur tapi para petaninya justru mengalami kemiskinan. Mengapa bisa terjadi demikian?
Kemiskinan yang tak kunjung teratasi merupakan konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sebuah sistem perekonomian yang pada dasarnya berasal dari akal manusia yang lemah dan serba terbatas. Sistem ekonomi Kapitalisme dibangun atas dasar liberalisme (kebebasan). Salah satunya adalah kebebasan kepemilikan harta, pengelolaan dan penggunaannya.
Sistem kapitalisme mengagungkan kebebasan individu. Salah satu dari kebebasan tersebut adalah kebebasan memiliki sesuatu. Kapitalisme tidak membatasi jumlah harta yang boleh dimiliki individu dan tidak membatasi cara mendapatkan harta tersebut. Termasuk dalam masalah kepemilikan umum individu, boleh menguasai kekayaan alam seperti barang tambang, energi, hutan dan sebagainya. Mereka menguasai sumber daya alam, sektor publik, dan media mainstream. Kebebasan kepemilikan inilah yang memiskinkan rakyat kecuali segelintir orang yaitu penguasa dan korporasi.
Kebebasan berkepemilikan tersebut melahirkan UU (Undang-Undang) yang membuka investasi seluas-luasnya bagi para pemodal. Melalui UU tersebut, negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam dan sektor publik ke swasta dan asing. Sehingga, pihak swasta dan asinglah yang diuntungkan. Walaupun dalam Undang-Undang juga dijelaskan bahwa kekayaan negara dikelola untuk kepentingan rakyatnya, tetapi faktanya menunjukkan sebaliknya. Rakyat tidak menikmati hasilnya sedikitpun. Jadi, hubungan kerja sama yang dijalin Indonesia dengan negara lain dalam pengelolaan sumber daya alam justru memiskinkan negara dan rakyat.
Berkaitan dengan distribusi dalam sistem kapitalisme, ekonomi hanya difokuskan pada penyediaan alat pemuasan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional. Sebab, dengan banyaknya pendapatan nasional, maka seketika itu terjadilah pendistribusian pendapatan dengan cara memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat. Tanpa memperhatikan apakah pendistribusian tersebut merata dirasakan oleh semua individu masyarakat atau hanya bagi segelintir masyarakat saja.
Asas distribusi yang diterapkan oleh sistem kapitalisme ini pada akhirnya berdampak pada realita bahwa yang menjadi penguasa sebenarnya adalah para kapitalis (pemilik modal dan konglomerat). Maka wajar saja jika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu berpihak kepada para pemilik modal atau konglomerat dan selalu mengorbankan kepentingan rakyat sehingga terjadilah ketimpangan (ketidakadilan) pendistribusian pendapatan dan kekayaan. Jadi, kemiskinan menjadi salah satu produk dari sistem ekonomi kapitalistik.
Fakta menunjukkan bahwa bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan melainkan buruknya distribusi makanan (Ismail Yusanto). Mustafa E Nasution pun menjelaskan bahwa sistem ekonomi kapitalisme dewasa ini menyebabkan berbagai krisis perekonomian dunia yang memperburuk tingkat kemiskinan.
Korupsi yang merajalela semakin memperparah masalah kemiskinan. Praktik korupsi menjadi hal biasa, seakan menjadi salah satu sumber mata pencaharian para pejabat di negeri ini. Melalui persekongkolan dengan para pengusaha, mereka tega mengambil apa yang menjadi hak rakyat. Demi jabatan, mereka menipu rakyat, mengumbar janji kesejahteraan dan meneriakkan slogan kosong ‘Lawan Kemiskinan’.
Kemiskinan suatu negara memunculkan masalah-masalah lain yang cukup serius. Yakni, pendidikan dan kesehatan mahal, banyaknya anak putus sekolah, kelaparan dan gizi buruk. Di samping itu, juga berdampak pada meningkatnya angka kriminalitas, seperti pencurian, penodongan, pembunuhan, dan lain sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, banyak orang menghalalkan segala cara seperti bisnis ribawi, bisnis VCD porno, narkoba, prostitusi, minuman keras, dan sebagainya.
Jurus Ampuh Islam Mengentaskan Kemiskinan
Sebagai sebuah ideologi yang shahih, Islam memiliki tata cara yang lengkap untuk mengatasi berbagai problematika umat manusia, tidak terkecuali masalah kemiskinan. Islam memandang bahwa standar kemiskinan diukur dari pemenuhan kebutuhan primer secara perorangan, bukan diukur dari besarnya pendapatan atau pengeluaran. Kebutuhan primer berupa pangan, sandang dan papan merupakan kebutuhan dasar setiap orang yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, negara harus memastikan dan menjamin tiap-tiap warga negara dalam hal pemenuhuan kebutuhan primer tersebut.
Dalam Islam, ada mekanisme jaminan pemenuhan kebutuhan primer. Pertama, Islam mewajibkan kepada laki-laki untuk memberi nafkah. Islam mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka, bukan bekerja.
Kedua, fakta menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki memiliki kemampuan untuk bekerja. Terkadang ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usia lanjut, dan lain-lain, sehingga mereka tidak mampu untuk bekerja. Dalam perkara semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat (ada hubungan darah) yang memiliki kelebihan harta untuk membantu mereka.
Ketiga, negara wajib membantu rakyat miskin apabila seseorang yang tidak mampu tersebut tidak memiliki kerabat. Atau dia memiliki kerabat, akan tetapi hidupnya pas-pasan. Maka negara wajib memberi nafkah melalui kas zakat dan kas Baitul Mal (kas negara).
Keempat, apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin dibebankan kepada kaum muslim secara kolektif.
Di samping itu, maju tidaknya ekonomi sangat erat kaitannya dengan pengaturan kepemilikan. Allah Swt. telah memberikan petunjuk melalui syariat Islam untuk mengatur masalah kepemilikan ini. Hal itu dapat mencegah dan mengatasi masalah kemiskinan dan krisis ekonomi. Islam mengatur jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat.
Ada tiga jenis kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Allah Swt. telah memberi hak kepada individu untuk memiliki harta baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Akan tetapi terbatas pada harta yang bukan merupakan milik bersama/umum. Selain itu, untuk memperolehnya harus melalui sebab-sebab yang dibolehkan. Misalnya diperoleh dengan bekerja, warisan, pemberian negara, hadiah, dan lain sebagainya.
Adapun harta yang tergolong kepemilikan umum, tidak boleh sama sekali dimiliki secara individu, atau dikuasai oleh sekelompok orang. Aset yang termasuk jenis kepemilikan umum ini yakni, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital masyarakat. Misalnya, padang rumput, sumber air, minyak dan gas bumi, pembangkit listrik, sungai, danau, laut, jalan umum, aneka tambang, dan lain sebagainya. Kepemilikan umum ini dikelola oleh negara lalu hasilnya dikembalikan kepada rakyat.
Kepemilikan negara adalah setiap harta yang menjadi hak kaum muslim, tetapi pengelolaannya diwakilkan pada khalifah selaku kepala negara. Aset yang termasuk jenis kepemilikan ini yakni fa’i, kharaj, jizyah, atau pabrik-pabrik yang dibuat negara, misalnya, pabrik mobil, mesin-mesin, dan lain-lain. Adanya kepemilikan negara dalam Islam, jelas menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan, dan aset-aset yang cukup banyak. Dengan demikian negara akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat.
Pengelolaan kepemilikan mencakup pengembangan harta dan infak harta. Islam melarang seseorang untuk mengembangkan hartanya dengan cara ribawi, melarang seseorang bersifat kikir, dan sebagainya. Islam mewajibkan seorang laki-laki untuk menafkahi anak dan istrinya, membayar zakat, dan lain-lain. Adanya pengaturan pengelolaan kepemilikan tersebut, akan menjadikan harta itu beredar merata di seluruh lapisan masyarakat, perekonomian menjadi berkembang, dan kemiskinan dapat diatasi.
Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat telah menjadi faktor utama penyebab terjadinya kemiskinan. Sistem ekonomi yang berbasis Islam menghendaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan. Kebebasan dalam hal ini dibatasi oleh aturan Islam. Keadilan dalam pendistribusian tercermin dari larangan dalam Al-Qur’an agar harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar di antara orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan (QS al-Hasyr :7).
Islam melarang individu mengumpulkan harta secara berlebihan. Sebab, dengan adanya pengumpulan harta secara berlebihan berakibat pada macetnya roda perekonomian. Oleh karena itu, penimbunan harta termasuk perilaku yang dilarang dalam ajaran Islam. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surah at-Taubah: 34 yang artinya:
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, beritakanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih.”
Untuk mengatasi mencegah dan mengatasi kemiskinan, negara juga wajib menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Hal ini menyandar pada keumuman hadis Rasulullah saw.:
“Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Negara juga wajib menyediakan layanan pendidikan gratis kepada seluruh warga negaranya. Karena pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu. Pendidikan tersebut mengarah pada pembentukan kepribadian Islam yang kuat sekaligus memiliki keterampilan untuk berkarya. Layanan pendidikan ini akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan mencetak individu-individu yang kreatif, inovatif, dan produktif.
Perjalanan panjang sejarah kaum muslim membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat direalisasikan. Yaitu ketika kaum muslim hidup di bawah naungan negara khilafah yang menerapkan Islam secara kafah. Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah:
“Jika kamu memberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya berkata lagi: “Berilah mereka itu sedekah berulang kali sekalipun salah seorang di antara mereka memiliki seratus unta”.
Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup tidak hanya diberikan kepada kaum muslim, tetapi juga kepada nonmuslim. Sebagai contoh, Umar bin Khathab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar ditetapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaannya.
Beliau menerapkan politik-ekonomi Islam yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau menikahkan kaum muslim yang tidak mampu; membayar hutang-hutang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya. Kondisi politik seperti itu terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu tidak ada satu pun rakyat yang memerlukan bantuan harta lagi.
Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah di antara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Kemanakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.
Ilmuwan Barat, yaitu Mine Ener dan Michael Bonner menyatakan bahwa umat Islam melakukan berbagai terobosan dan membuat pengembangan program pengentasan kemiskinan makin variatif. Badan zakat, amal, atau takaful bermunculan bak jamur pada musim hujan di wilayah-wilayah Islam. Dana yang terkumpul dari masyarakat kemudian digunakan untuk kepentingan sosial keagamaan. Ini telah diawali sejak Dinasti Umayyah. Upaya pengentasan kemiskinan berlanjut pada periode pemerintahan Dinasti Annasiyah Dinasti Mamluk (1250-1517) hingga masa Turki Usmani.
Dalam buku History of the Arabs, sejarawan Philip K. Hitti menyatakan, kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan utama di samping penguatan aspek militer dan perdagangan. Menurut penjelasan Michael Bonner, melalui pengelolaan yang lebih terorganisasi, dana amal, zakat, dan sedekah lebih berdaya guna. Selain badan zakat, instrumen wakaf tunai pun hadir sebagai potensi baru. Hal tersebut berkembang dengan cepat menjadi sebuah fenomena sosial, seperti dideskripsikan oleh Miriam Hoaxter dalam Islamic Social Science. Dana wakaf terutama digunakan untuk kepentingan sosial keagamaan, termasuk pemberdayaan rakyat miskin.
Demikianlah, gambaran kesejahteraan ketika kaum muslim memiliki negara khilafah. Islam diterapkan secara sempurna dan menyeluruh sehingga kaum muslim senantiasa mendapatkan rahmat dan ampunan Allah. Kesejahteraan dan keadilan bukanlah sekadar mimpi. Maka aneh rasanya jika banyak orang menginginkan kesejahteraan, namun menolak syariat dan khilafah. Seharusnya, kaum muslim menerimanya dengan sepenuh hati, itulah konsekuensi dari keimanan mereka. Lebih dari itu, mewujudkan kembali khilafah untuk melanjutkan kehidupan Islam mestinya menjadi arah perjuangan mereka saat ini.
Wallahu a’lam bishshawab