Mengenalkan Hijab Sejak Dini adalah Hak Anak, bukan melanggar HAM

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Linna Soraya

Gelombang hijrah dan semakin berubahnya gaya hidup kaum muslimin menuju penerapan syariat Islam secara kaffah rupanya membuat kaum liberal semakin kepanasan. Merasa terancam, serangan demi serangan pun mereka lontarkan. Kali ini tudingan datang dari akun media sosial milik media asal Jerman, Deutch Welle (DW), yang berada di Indonesia, @dw_Indonesia, pada Jumat 25 September 2020 lalu menayangkan sebuah video dengan narasi pertanyaan yang terkesan bijak namun menyudutkan, “apakah anak-anak yang dipakaikan jilbab itu memiliki pilihan atas apa yang ingin ia kenakan?”.

Dalam video tersebut, DW Indonesia mewawancarai seorang Ibu yang mewajibkan pemakaian hijab sejak dini pada anaknya, dilengkapi dengan pandangan psikolog yang mengkritisi efek negatif dari langkah tersebut.

“Mereka menggunakan atau memakai sesuatu tapi belum paham betul konsekuensi dari pemakaiannya itu,” kata Rahaeng Ika, seorang Psikolog menjawab pertanyaan DW Indonesia. ( Pikiran Rakyat, 26 September 2020 )

Selain Rahaeng eka, DW Indonesia juga mewawancarai tokoh feminis Indonesia, Darol Mahmada. Menurutnya, wajar saja seorang ibu mengharuskan anak memakai hijab sejak kecil, namun Ia menambahkan, “Tetapi kekhawatiran saya sebenarnya lebih kepada membawa pola pikir si anak itu menjadi eksklusif, karena dari sejak kecil dia ditanamkan untuk, misalnya, “berbeda” dengan yang lain,” ( Pikiran Rakyat, 26 September 2020 )

Begitulah, para penggiat gender dan pengusung kebebasan ala kapitalis-liberal memang akan selalu menggiring opini bahwa syariat berjilbab adalah bentuk patriarki aturan Islam yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengkerdilkan wanita dari kebebasan memilih gaya pakaian yang hendak mereka gunakan. Namun ternyata narasi jahat yang sengaja diangkat oleh DW Indonesia ini berubah bak senjata makan tuan, alih-alih berhasil meluaskan sentimen Islamophobia, mereka justru menuai banyak kritikan dari warganet termasuk dari kalangan politisi.
“Liputan ini menunjukkan sentimen ‘islamofobia’ n agak memalukan utk kelas @dwnews,” kata anggota DPR yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon melalui akun Twitternya, @fadlizon. ( Geloranews, 26 September 2020 )

Selain itu, hukum berhijab dalam Islam bukanlah pilihan melainkan kewajiban dan ini sudah dipahami oleh hampir seluruh kaum muslimin. Islam juga mengajarkan bahwa keluarga adalah sentral pendidikan sebuah generasi. Lihatlah bagaimana Allah memerintahkan syariat berjilbab dalam Quran surat Al Ahzab ayat 59:

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam ayat ini Allah memakai kata Istri dan anak, dua peran wanita dalam keluarga. Maka jelas, dikenalkan pada aturan berhijab adalah hak seorang anak yang harus dijalankan orangtuanya. Penerapan perintah menutup aurat harus dimulai dari lingkup sosial terkecil yakni dari dalam rumah dan dilakukan langsung oleh orangtua. Karena keluarga adalah pencetak generasi, dengan menerapkan pendidikan berhijab dari sejak dini, maka generasi muslim selanjutnya akan terlindungi dari arus liberalisasi. Selain itu fungsi keluarga dalam Islam memang sebagai sentral penancapan tauhid, menyuburkan akar keimanan pada seluruh anggotanya untuk hidup sesuai syariat Allah dan menjauhi semua kemaksiatan yang dapat menjerumuskan mereka dalam api neraka, sebagaimana firman Allah lainnya dalam Quran Surat At-Tahrim ayat 6 yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”

Disinilah kekuatan akidah orang-orang yang beriman, mereka menyadari bahwa sebagai makhluk manusia tidak mampu membuat aturan hidupnya sendiri, maka aturan hidup haruslah bersumber dari Sang Pencipta kehidupan yakni dari Allah Subhannahu Wa Ta’ala. Sehingga dengan pemahaman ini kaum muslim akan meyakini bahwa keberadaan aturan syariat adalah untuk mensejahterakan manusia baik di dunia maupun di akhirat, bukan untuk membebani apalagi melanggar HAM seperti yang dituduhkan para kaum liberal.

Jika keluarga sebagai unsur sosial terkecil saja diperingatkan untuk menjaga seluruh anggotanya dari bermaksiat kepada Allah. Apalagi dalam dimensi yang lebih besar seperti tatanan masyarakat dan negara, tentulah keduanya memiliki konsekuensi keimanan yang sama. Lantas siapa yang berwenang untuk menjaga agar Islam tetap tegak dalam dua dimensi sosial ini?. Jelas bukan tanggung jawab perorangan lagi melainkan harus dijaga oleh penguasa negara. Sebagaimana yang dicontohkan Rosulullah dan para sahabat dalam menjalankan daulah Islamiyah. Maka tidak ada jalan lain, kita semua butuh khilafah. Wallahu a’lam bishowab.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *