Mengembalikan ‘Hilangnya’ Tahu Tempe di Pasaran

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Raihana Muthiah (Pegiat Literasi Pena Langit)

 

Awal tahun 2021 menjadi mimpi buruk bagi kebanyakan rakyat miskin. Selain pandemi yang belum juga berakhir,  mereka harus gigit jari  mengetahui tempe dan tahu ‘hilang’ di pasaran. Pasalnya, hanya makanan ini yang terjangkau bagi kebanyakan masyarakat, juga sebagai cara mengirit cost pengeluaran makan mereka.

Kala tak mampu membeli daging, tempe tahu menjadi solusi pemenuhan asupan protein. Bukan hanya protein, kandungan vitamin dan mineral tempe tahu juga baik bagi kesehatan. Seperti mengendalikan kadar kolesterol, menangkal radikal bebas, mengandung probiotik, baik untuk diet, dan meningkatkan kesehatan tulang. Jika tempe tahu menjadi barang yang mahal, dan langka, maka apalagi yang tersisa untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat?  Kenapa hal ini terjadi? Apa solusinya?

Dilansir dalam Republika (02/01/2021), penyebab tahu dan tempe sulit ditemukan di pasar tradisional atau penjual keliling karena harga kedelai yang tinggi. Hal ini membuat perajin mogok produksi tempe dan tahu. Bahan baku kedelai impor yang biasa digunakan untuk membuat tempe tahu naik 9%, dari harga Rp 7.000 per kilogram menjadi 9.200-9.500 per kilogram . Kenaikan ini berdampak pada  30% perajin tahu kecil se-Jabodetabek berhenti produksi, karena besarnya kerugian dan keuntungan kian berkurang.

Sudah menjadi hal yang umum, bahwa Indonesia masih bergantung dengan kedelai impor. Karena kualitas kedelai lokal masih kalah dibanding produksi luar negeri. Perajin tahu tempe lebih senang dengan kedelai impor yang besar-besar, dibanding kedelai lokal yang kecil-kecil. Alhasil petani semakin sedikit yang mau menanam kedelai, karena kurang diminati (CNNIndonesia.com/05/01/2020). Padahal ada kedelai Grobogan, kedelai lokal yang kualitasnya tak kalah dengan kedelai impor, tapi belum diminati dan terdistribusi.

Kebijakan Impor pangan memang menjadi solusi menutupi kekurangan bahan pangan bagi pemerintah. Tapi disisi lain justru menjadi masalah besar bagi ketahanan pangan di bumi pertiwi. Khususnya keberlangsungan sektor pertanian Indonesia. Bahkan Impor sudah menjadi candu negeri ini, sebagai cara instan memasok pangan. Hal ini dibuktikan dengan pemerintah tetap mengimpor bahan pangan yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat seperti kedelai, bawang putih, dan beras. Meski selama pandemi Covid-19 pemerintah juga mengekspor komoditas pertanian.

Pada Januari hingga Maret 2020 ekspor pertanian meningkat sebesar 16,23% dibanding periode yang sama pada 2019 lalu (bps.go.id).  Fakta di atas menjadi bukti bahwa cengkeraman kapitalisme dan keterikatan Indonesia dalam perjanjian internasional seperti WTO menjadikannya tidak mandiri. Selalu bergantung pada pangan luar negeri. Apalagi setelah diketok palu UU Cipta kerja yang merevisi UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan).

Atas fakta yang ada, maka solusi yang dilakukan dengan merevitalisasi pertanian dengan serius. Meski kedelai menjadi salah satu dari komoditas stategis pada grand design menuju Lumbung pangan Dunia 2045, tetapi juga perlu langkah yang serius untuk menutup keran impor yang justru merugikan sektor pertanian. Negara tidak boleh bergantung pada negara lain.

Jangan lagi pandang sebelah mata pada sektor pertanian, dan terus menganak emaskan sektor industri. Karena jika dilihat, bukan tak mampu ketahanan pangan bisa diwujudkan di dalam negeri.  Apalagi dengan potensi sumber daya alam yang ada. Tongkat kayu dan batu saja bisa jadi tanaman.

Untuk mengembalikan gairah sektor pertanian, negara harus terus memberi subsidi besar bagi para petani untuk memproduksi pangan dengan biaya produksi ringan, dan fokus riset untuk memperbaiki kualitas produk local. Negara harus menyediakan lahan pertanian, alat produksi dan menjamin kesejahteraan petani.

Hal tersebut Berkaca pada masa Rasulullah, politik agraria yang berkeadilan telah dijalankan. Caranya dengan mengklasifikasikan kepemilikan harta, bukan untuk para pemodal. Dan menghidupkan tanah mati untuk dimanfaatkan, dikelola oleh masyarakat dengan cuma-cuma.

Hal ini juga pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab dengan memberikan harta dari Baitulmal (kas negara) kepada para petani di Irak, yang dapat membantu mereka  menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta imbalan dari mereka.

Wallahu A’lam bi showab

Views: 0

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *