Mengatasi Kemiskinan Pada Masa Pandemi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Wini Andriyani, S.Pd

 

Hampir satu tahun pandemi Covid-19 atau virus corona melanda Indonesia. Sejak pertama kali muncul pada Maret 2020 lalu, jumlah kasus Covid-19 hingga kini terus meningkat. Covid-19 juga telah memberikan dampak negatif hampir di seluruh aspek kehidupan manusia, salah satunya ekonomi.Terbaru, kemiskinan di Indonesia kembali pada level dua digit setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka kemiskinan 10,19 persen pada September 2020. Angka ini lebih tinggi 0,97 poin dibandingkan September 2019 yang tercatat 9,22 persen. “Jumlah penduduk miskin pada September 2020 sebanyak 27,55 juta orang,” kata Kepala BPS Suhariyanto sepertin dikutip oleh Pikiran-Rakyat.com dari Anadolu Agency.Jumlah ini naik 1,13 juta orang dibanding Maret 2020 dan meningkat 2,76 juta orang dibanding September 2019. Pandemi yang kian meninggi, turut menambah kemiskinan. Makin tingginya angka kasus positif beserta korban meninggal akibat Covid-19, memberikan ekses mutlak bagi peningkatan angka kemiskinan.Mereka yang terjangkit Covid-19 tentu tak bisa leluasa bekerja, apalagi jika harus diisolasi di rumah sakit. Mau tidak mau, aktivitas ekonomi melambat bahkan terhenti.

Masalahnya, kenaikan angka kemiskinan ini terjadi hampir di 34 provinsi di Indonesia. Dengan demikian, hal ini adalah perkara serius yang harus segera mendapatkan solusi. Program Bansos Yang diklaim dapat membantu kesulitan ekonomi rakyat selama pandemi, nyatanya program bansos pemerintah malah membuka lajur-lajur korupsi baru di kalangan para pejabat. Akibatnya, penyaluran bansos tidak bisa tepat sasaran. Boleh dikata, bansos bukanlah kebijakan efektif yang diluncurkan saat pandemi. Meningkatnya angka kemiskinan di era pandemi memerlukan kebijakan ekonomi yang lebih tahan banting dibanding saat nonpandemi. Jelas, solusinya harus lebih dari sekadar bansos.

Dalam ideologi kapitalisme yang diterapkan saat ini, kemiskinan dianggap sebagai sesuatu yang relatif (nisbi), bukan sebutan bagi kondisi tertentu yang bersifat tetap dan tidak berubah. Kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan barang dan jasa. Bagi kapitalisme, keberadaan orang miskin adalah sesuatu yang “harus ada” agar orang-orang yang berharta bisa disebut orang kaya. Yang golongan ekonomi menengah pun gambling, lebih-lebih di saat pandemi begini. Cepat atau lambat, kalangan ekonomi menengah juga akan turun tingkat menjadi miskin. Tapi, pada saat yang sama, pandemi makin tak terkendali. Roda ekonomi tak tentu arah. Alih-alih hendak mengatur hingga aspek distribusi ekonomi, bahkan definisi miskin pun masih diperdebatkan. Belum lagi kondisi ekonomi juga diperparah kisruh di sektor kesehatan serta penanganan pandemi secara medis. Pun bayang-bayang korupsi dana penanganan pandemi serta bansos bagi korban maupun rakyat miskin. Penanganan pandemi ala kapitalisme sungguh membabi buta, sampai-sampai acap kali salah sasaran di segala penjurunya.

Dari penanganan pandemi saja, prinsip kapitalisme berbeda signifikan dengan Islam. Kapitalisme yang begitu mencla-mencle menerapkan lockdown, akhirnya ibarat buah simalakama. Berbeda dengan Islam yang kebijakannya berlandaskan hukum syariat. Ketika pandemi terjadi, harus segera melaksanakan lockdown di kawasan di mana pandemi pertama kali terdeteksi.

Sebagaimana tuntunan Rasulullah saw., “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)
Pengaturan Islam tidak akan membiarkan pandemi sampai dampaknya berkepanjangan , luas, dan lama. Upaya lockdown justru menghentikan pandemi langsung di akarnya supaya wabah tidak menyebar ke wilayah lain.
Di samping itu, roda ekonomi di wilayah lain tidak boleh ikut terhenti sebagaimana di wilayah yang ter-lockdown. Maka, perlu upaya agar distribusi ekonomi saat pandemi masih dapat berputar.

Dalam pandangan Islam, kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh, yakni sandang, pangan, dan papan. Ditambah kebutuhan akan kesehatan dan penjagaan nyawa ketika sedang pandemi.

Jika kebutuhan-kebutuhan primer tersebut bisa dipenuhi sendiri oleh seseorang, pemenuhan tersebut menjadi kewajibannya. Tapi jika orang tersebut tidak bisa memenuhinya sendiri karena tidak mempunyai harta yang cukup atau karena dia tidak bisa memperoleh harta yang cukup, syariat telah menjadikan orang tersebut wajib ditolong orang lain agar dia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya.

Ukuran ketercukupan kebutuhan menurut Islam diukur berdasarkan sesuatu yang menjadi kelebihan dari terpenuhinya kebutuhan-kebutuhannya secara makruf. Sementara, orang lain yang dimaksud, bisa orang-orang kaya di antara mereka maupun negara sebagai penanggung jawab seluruh urusan umat.

Negara bertanggung jawab atas terlaksananya pelayanan urusan umat, dalam hal ini khususnya soal distribusi harta. Kondisi pandemi justru memerlukan penanganan istimewa agar segala aspek yang terdampak bisa diatasi hingga tuntas. Negara akan memfungsikan Baitulmal untuk memastikan ketersediaan harta dan terpenuhinya kebutuhan rakyat, khususnya bagi fakir miskin. Sementara untuk sektor kesehatan, Negara menjamin dan mendanai riset medis, serta menerapkan hasil riset tersebut untuk mengatasi pandemi.

Negara juga menjamin kesehatan para nakes sekaligus penanganan medis para pasien korban wabah, sehingga sakitnya sembuh dengan tuntas dan masyarakat dapat bekerja kembali seperti sedia kala.
Inilah masa bagi syariat Allah untuk segera diterapkan. Islam diturunkan sebagai aturan yang lengkap memberikan solusi untuk berbagai permasalahan, tak terkecuali kemiskinan di masa pandemi.

Wallahualam bishawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *