Mengakhiri Nestapa Uighur Tidak Cukup dengan Diplomasi Lunak

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Anisa Rahmi Tania (Aktivis Muslimah, Jakarta Utara)

Sampai sekarang etnis Uyghur masih dirundung nestapa. Berbagai bentuk kekerasan yang dialami kaum muslim Uyghur sudah tersebar banyak di media-media Seluruh dunia menyuarakan peringatan terhadap tindakan pemerintah China. Kaum muslim maupun non-muslim menyuarakan bentuk simpati dan empatinya atas penderitaan kaum muslim Uyghur.

Dilansir dari CNBC Indonesia – Warganet ramai-ramai menyerukan bela Uighur menggunakan tagar #KepungKedubesChina. Hingga saat ini, Kamis (26/12/2019) cuitan terkait tagar tersebut sudah mencapai 31,8 ribu tweet.

Tagar tersebut merupakan bentuk kepedulian dan prihatin kepada umat Muslim Uighur di Xinjiang, China yang diduga ditindas.

Seperti diketahui, China dituding melakukan penahanan terhadap kaum minoritas Uighur di kamp-kamp di negara bagian Xinjiang.

PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia dunia memperkirakan ada sekitar 1 juta sampai 2 juta orang yang ditahan dalam kamp yang diduga sebagai tempat penganiayaan tersebut.

Pihak pemerintah China sendiri melakukan pembelaan diri. Mereka menyebut tindakannya tersebut tidak berhubungan dengan agama Islam tetapi separatisme.

Tentu saja pembelaan diri tersebut tidak dapat diterima. Masyarakat telah melihat dengan nyata, segala tindakan kekerasan dan penindasan serta penganiayaan yg dilakukan oleh rezim China sangat jelas menyasar kaum muslim dari etnis Uyghur.

Namun sangat disayangkannya di kala masyarakat dunia bersuara lantang atas kekejian yang menimpa etnis Uyghur, tidak banyak hal yang bisa dilakukan para penguasa muslim. Padahal mereka mempunyai kekuasaan dan kekuatan lebih untuk melakukan upaya mengakhiri nestapa Uyghur.

Seperti halnya penguasa negeri dengan muslim terbesar di dunia, Indonesia. Negeri ini lebih memilih upaya diplomasi lunak ketimbang upaya tegas lainnya.

Hal ini diutarakan menteri koordinator politik hukum dan HAM, Mahfud MD. Mahfud meminta semua pihak untuk mempercayakan Menteri Luar Negeri Retno L. Marsudi untuk mengatasi polemik etnis Uighur. Sejauh ini, dia menyampaikan Kemenlu mengedepankan diplomasi lunak terkait dengan hal tersebut.

“Diplomasi kita itu diplomasi lunak aja. Kita tidak ikut mencampuri, kita melihatnya secara objektif,” ujar Mahfud.

Padahal tragedi yang terjadi di Xinjiang bukanlah tragedi biasa. Tragedi di sana lebih mirip upaya sistematis genosida, untuk melenyapkan kaum muslim Uyghur. Apakah cukup dengan diplomasi lunak? Tidakkah tragedi Uyghur mengiris hati para penguasa tersebut?

Semestinya ketika satu orang muslim saja teraniaya, kaum muslim serentak membela. Karena kaum muslim terikat dengan akidah Islam. Siapa pun dia, suku apapun, ras manapun, bahasa, warna kulit, atau apapun itu tidak mengubah kondisi ikatan akidah tersebut. Semuanya satu.

Ibarat peribahasa, tercubit paha kiri, paha kanan pun berasa sakit. Begitulah seharusnya muslim dengan muslim lainnya. Saling berempati, saling merasakan kebahagiaan, kesulitan, rasa sakit, dan lainnya tanpa melihat perbedaan yang ada.

Karena Rasulullah pernah bersabda:
“Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lainnya. Tidak boleh mendzaliminya dan tidak boleh pula menyerahkan kepada orang yang hendak menyakitinya…” (HR. Bukhari Muslim)

Maka, begitu kerdil kaum muslim hari ini. Begitu abai para penguasanya. Pembantaian cuma diselesaikan dengan diplomasi lunak. Apakah pantas? Hilangnya nyawa seharusnya diselesaikan dengan nyawa. Mereka yang memerangi kaum muslim seharusnya diperangi pula.

Tengoklah tatkala kaum muslim punya benteng pertahanan dan institusi yang menaungi mereka. Seorang saja terjadi tindak kejahatan pada kaum muslim, Khilafah bersegera membela dan menjamin perlindungannya.

Pada tahun 837, al-Mu’tasim Billah, Khalifah pada masa Khilafah Abbasiyah, menyahut seruan seorang budak muslimah yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya.

Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tashim billah dengan lafadz yang legendaris: waa mu’tashimaah!.

Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Amoria dan melibas semua orang kafir yang ada di sana (30.000 prajurit Romawi terbunuh dan 30.000 yang lain ditawan). Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari istana khalifah hingga kota Amoria, karena besarnya pasukan.

Setelah menduduki kota tersebut, khalifah memanggil sang pelapor untuk ditunjukkan di mana rumah wanita tersebut, saat berjumpa dengannya ia mengucapkan “Wahai saudariku, apakah aku telah memenuhi seruanmu atasku ?”.

Sang budak wanita inipun dibebaskan oleh khalifah serta orang romawi yang melecehkannya dijadikan budak bagi wanita tersebut. (Wikipedia)

Demikianlah bentuk perlindungan Khalifah pada rakyatnya. Kini, berbagai penjuru dunia telah dipenuhi teriakan, jeritan, dan lautan jenazah kaum muslim. Lantas para penguasa muslim hanya berujar membela dengan diplomasi dan perundingan. Sungguh memang hanya dengan Khilafah kaum muslim akan terlindungi seutuhnya.

Sudah saatnya kaum muslim menyadari, bahwa keberadaan Khilafah adalah kebutuhan dunia. Keberadaan Khilafah adalah solusi untuk seluruh umat. Tidak ada yang lain. Karena hanya denganya jugalah syariah Islam, aturan-aturan Sang Khaliq bisa diterapkan secara sempurna.

Wallahu’alam bishawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *