MENERIMA SISTEM POLITIK APAPUN, BENARKAH BEGITU?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummik Rayyan (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, agama, khususnya Islam, dapat menerima sistem politik dan pemerintahan apapun, termasuk demokrasi.

 

Hal itu disampaikan Mahfud MD saat menjadi keynote speaker dalam Webinar Tadarus Demokrasi Seasion I, bertema Relasi Agama dan Demokrasi, yang diselenggarakan oleh MMD Initiative, di Jakarta, Sabtu (17/4/2021).

 

“Agama itu peraturan dan normanya, prinsipnya, datang vertikal, dari Tuhan. Pedoman hidup manusia. Wahyu Tuhan yang wajib diikuti sesuai keyakinan. Sementara demokrasi hanya model dan sistem di dalam bernegara. Normanya lahir secara horizontal,” kata Mahfud MD.

 

Meski berbeda sumbernya, agama bisa menerima sistem politik dan sistem bernegara jenis apapun. Baik demokrasi, kerajaan, monarki, otokrasi, teokrasi dan sistem apapun saja. Sebab, prinsipnya agama bersifat netral. Urusan cara dan sistem hidup bernegara, prinsip organisasi pemerintahannya, kata Mahfud, diserahkan kepada masing-masing pemeluk agama.

 

“Islam tidak mengharuskan lembaga atau sistem politik tertentu. Agama tidak melarang monarki totaliter. Tidak diperintahkan, tapi diceritakan dalam kitab suci. Otokrasi ada yang jelek, ada Firaun dan Namrudz. Tapi ada Khalifah Umar bin Abdul Azis, Harun Ar Rasyid yang baik,” tambahnya.

 

Apakah agama cocok dengan demokrasi? Mahfud menegaskan, keduanya sangat kompatibel. Di dalam demokrasi, lanjutnya, ada nilai toleransi yang mewajibkan manusia harus siap berbeda. Ada juga prinsip kesetaraan yang menyebut semua manusia kedudukannya sama. Juga ada nilai keadilan dan kejujuran.

 

“Itu kan nilai agama. Yang salah dan perlu dikoreksi itu, ada yang bilang demokrasi toghut. Harusnya kritiknya, demokrasi memang ada yang dipakai mencari keuntungan untuk kelompoknya sendiri.”

 

“Hal yang tidak benar dibuatkan hukum menjadi benar atas nama demokrasi. Kalau terjadi, artinya pemeluk agama gagal isi ruh demokrasi dengan nilai mulia keagamaan. Artinya, demokrasi bisa dimanfaatkan untuk kebaikan. Juga bisa juga diselewengkan,” terangnya.

 

Ditegaskan Mahfud, apapun jenis sistem negara dan pemerintahannya, nilai dan tujuan yang diusung haruslah sama. Negara mesti ditujukan membangun keadilan, kesejahteraan masyarakat dan membangun akhlak.

 

“Yang penting nilai-nilai ini. Apakah Mamlakah, Sultanah, Imamah, Keamiran atau Emirat, silakan saja. Kalau Indonesia sudah memilih demokrasi, mistaqon gholidzo, maka isilah demokrasi dengan nilai kebajikan perilaku para pelakunya,” kata Mahfud.

 

Dosen Monash University Australia, Nadirsyah Hossen menyatakan, agama dan demokrasi bisa berjalan beriringan. Sudah banyak penelitian menyatakan, peranan agama tidak hilang dari demokrasi.

 

“Indonesia memandang agama penting dalam kehidupan bernegara. Hanya saja pemahaman agama banyak modelnya, juga demokrasi, banyak ragamnya,” katanya.

 

Dikatakannya, kombinasi yang tidak pas antara agama dan demokrasi akan melahirkan anomali. Agama akan mengubah demokrasi menjadi agamis, ataupun sebaliknya. Di Indonesia masih terus mencari koordinat yang tepat.

 

“Indonesia tidak ingin mengubah NKRI menjadi negara Islam. Atau sebaliknya menjadi negara sekuler. Dan Indonesia masih terus cari kombinasi yang tepat”. Kata Ra’is Syuriah pengurus cabang istimewa NU di Australia dan Selandia Baru ini.

 

Namun, sebagai catatan, demokrasi di tanah air punya persoalan internal. Pemilu serentak 2019 sangat melelahkan dan brutal. Bukan hanya membelah bangsa, tetapi antar kandidat bersaing tidak sehat dimana isu agama dipakai untuk kampanye. Selain itu, pemilu dan pilkada serentak di Indonesia banyak terjadi dinasti politik. Demokrasi demikian bukan hanya brutal tapi mahal.

 

“Kalau demokrasi malah menumbuhkan oligarki dan menjadikan agama sebagai isu utama setiap pemilihan, maka kehidupan demokrasi akan mengkhawatirkan,” katanya.

 

Sementara itu, Dosen Fisipol UGM Abdul Gaffar Karim menyatakan, untuk kehidupan beragama dan demokrasi di Indonesia, yang perlu dilakukan adalah melakukan verifikasi ilmiah bahwa agama kompatibel dengan demokrasi. Nilai-nilai yang ada di tingkat lokal baik adat dan agama sangat kompatibel dengan demokrasi.

 

Kedua, sebagai otokritik, lembaga keagamaan, organisasi masyarakat berbasis agama harus mulai mengurangi syahwat berlebihan pada kekuasaan negara yang menyebabkan mereka tak berani melakukan kontrol pada negara dan pemerintah.

 

“Kita juga perlu perkuat pendidikan demokrasi di kalangan masyarakat,” katanya.

 

Pernyataan yang dilontarkan Mahfud MD makin menyesatkan dan menampakkan hipokrisi konsep yang ditawarkan. Jelas saja, realitasnya saat ini kita mendengar bahkan melihat sendiri bagaimana rezim sekarang dengan mengulik segala kebijakan secara alotnya kepada segala sesuatu yang berurusan dengan agama, namun berbanding terbalik dengan sistem sekarang yang mana dilenggangkan dan tetap mempertahankan sistem  yang notabenenya sudah gagal sejak awal tanpa adanya follow up terhadap kinerja sistem tersebut. Miris memang, kita yang mayoritas muslim, namun masih dianak tirikan dalam persoalan agama, gaungan sistem demokrasi yang kini kian brutal membungkam pentingnya sistem agama yang sebenarnya.

 

Jika agama menerima sistem politik apapun, tapi kenapa begitu enggan mencoba mengadopsi sistem Khilafah, yang sudah jelas sejarahnya bahwa sistem Khilafah telah memimpin dunia dengan begitu luar biasa, sudah nampak jelas terjaminnya kesejahteraan baik bagi masyarakat Islam pada masa itu dan juga bagi masyarakat yang beragama lain.

 

Tapi faktanya, rezim lebih menutup mata terhadap sejarah nyata umat Islam dengan sistem yang luar biasa, mengubur dalam-dalam sejarahnya dengan selalu menyerang dan menyesatkan informasi tentang sistem Khilafah.

 

Secara umum, sebuah sistem kepemimpinan bisa disebut sebagai Khilafah apabila menerapkan Islam sebagai ideologi, syariat sebagai dasar hukum, serta mengikuti cara kepemimpinan Nabi Muhammad saw. dan Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan pemerintahan.

 

Sementara kepemimpinan Khilafah dipimpin oleh Khalifah, dapat juga disebut Imam atau Amirul Mukminin. Khalifah merupakan orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan kekuasaan dan penerapan syariat Islam.

 

Sistem kekuasaan Khilafah jauh berbeda dengan sistem teokrasi. Dalam sistem teokrasi, kekuasaan dianggap sebagai takdir atau penunjukan Tuhan. Hal ini membuat pemimpinnya menganggap diri sebagai wakil Tuhan, menjadi manusia suci, dan terbebas dari salah maupun dosa.

 

Sementara dalam Khilafah, Khalifah diangkat oleh umat melalui bai’at. Khalifah juga bukan manusia suci yang bebas dari kesalahan dan dosa. Khalifah bisa dikoreksi dan diprotes oleh umat jika kebijakannya menyimpang dari ketentuan syariat. Selain itu, Khalifah juga bisa dihukum jika melanggar aturan Islam.

 

Khalifah juga dibantu oleh para pembantu Khalifah di berbagai bidang, seperti pemerintahan, administrasi, keamanan, perindustrian, peradilan, kesehatan, keuangan, penerangan, dan majelis umat.

 

Sistem Khilafah diterapkan pertama kali pada zaman awal-awal berkembangnya agama Islam. Setelah Nabi Muhammad saw. wafat pada tahun 632, terjadi kekosongan kepemimpinan umat Islam setelahnya.

 

Posisi Khalifah kemudian diduduki oleh sahabat-sahabat Nabi. Masa Khilafah atau Kekhalifahan pertama dimulai oleh Abu bakar Ash Shidiq r.a (632–634), Umar bin Khaththab r.a (634–644), Utsman bin ‘Affan r.a (644–656), dan Ali bin Abi Thalib r.a (656–661). Masa inilah yang disebut juga masa ke-Khalifahan Rasyidun.

 

Pada masa ke-Khalifahan kedua, yakni ke-Khalifahan Umayyah yang diperintah oleh Bani Umayyah, klan Mekah yang diturunkan dari Umayyah bin Abd Shams. Khilafah melanjutkan penaklukan Arab, menggabungkan Kaukasus, Transoxiana, Sindh, Maghreb dan Semenanjung Iberia (Al-Andalus) ke dalam dunia Muslim.

 

Saat itu, ke-Khalifahan menerima banyak orang Nasrani di dalam wilayahnya. Setelah Revolusi Abbasiyah dari 746–750, yang mana muncul akibat dari pencopotan hak pilih Muslim non-Arab, ke-Khalifahan Abbasiyah didirikan pada 750.

 

Pada masa ke-Khalifahan ketiga, yakni ke-Khalifahan Abbasiyah yang diperintah oleh Abbasiyah, sebuah dinasti asal Mekkah yang diturunkan dari Hasyim, kakek buyut Nabi Muhammad saw. Pada masa ini, Khalifah al-Mansur mendirikan ibu kota kedua Baghdad pada tahun 762 yang menjadi pusat ilmiah, budaya dan seni utama, seperti halnya wilayah secara keseluruhan selama periode yang dikenal sebagai Zaman Keemasan Islam.

 

Pada masa ke-Khalifahan keempat, yakni ke-Khalifahan Utsmaniyah yang didirikan setelah penaklukan mereka atas Mamluk Mesir pada tahun 1517. Penaklukan tersebut memberikan kontrol kepada Ottoman atas kota-kota suci Mekkah dan Madinah, yang sebelumnya dikendalikan oleh Mamluk.

 

Sudah nampak begitu gamblang, tapak tilas eksisnya lintasan sejarah yang terukir dalam peradaban umat Islam masa itu, sudah sangat terpuruk apabila kita terus mengikatkan diri dan terpaut pada demokrasi yang sejatinya merongrong kebebasan dan kemaslahatan umat. Sudah saatnya kembali ke syariat Islam, yang membawa ketenteraman bagi umatnya, sekaligus yang akan membawa kita ke kebahagiaan yang hakiki.

 

Wallahu ‘ alam bish-showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *