Menelisik Pelonggaran PSBB, korporasikah yang Bermain?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Sri Mulyati (Mahasiswi dan Member AMK)

Sejak diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada tanggal 07 April 2020, di Jakarta dan daerah sekitarnya yang ditetapkan oleh pemerintah, dalam rangka pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19. Dengan Seperangkat protokol-protokol yang telah ditetapkan. Satu bulan telah berlalu, rupanya menyisakan kisah yang begitu mendramatisir. Mulai dari sulitnya pemenuhan kebutuhan pokok, sulitnya keluar hanya sekedar berbelanja atau aktivitas lainnya seperti mencari nafkah, yang kini mereka semua terpaksa dirumahkan atau bekerja dari rumah. Itupun, pekerjaan-pekerjaan yang sekiranya dapat di kerjakan di rumah. Namun, seperti yang telah kita ketahui bahwa tidak semua perkerjaan dapat dikerjakan di rumah contohnya aktivitas berjualan di toko-toko besar yang memungkinkan harus banyak pembeli yang datang demi dagangannya laris untuk meraih keuntungan.

Hal demikian, rupanya mengundang perhatian pemerintah salah satunya Menkopolhukam Mahfud MD. Ia menilai harus ada kebijakan baru untuk melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ia mengatakan akan mengkaji ulang terkait kebijakan Pelonggaran PSBB. “Nanti akan diadakan sedang dipikirkan pelonggaran-pelonggaran misalnya rumah makan boleh buka dengan protokol begini, kemudian orang boleh berbelanja dengan protokol begini dan seterusnya. (02/05/2020, Tirto.id)

Selintas, pemerintah seolah-olah berempati kepada rakyatnya, begitu memahami kondisi yang dirasakannya. Namun, apakah hal demikian sudah tepat dilakukan saat ini. Ataukah jika kebijakan ini dilakukan malah akan menimbulkan masalah baru dikemudian hari. Mengingat, kondisi mencekam yang dialami rakyat begitu mengerikan dengan adanya covid-19 yang semakin hari semakin bertambah kasus korbannya . Jika dilakukannya kebijakan pelonggaran PSBB ini, malah menjadikan rakyat bertarung menghampiri kematiannya hanya untuk mencari nafkah. Sejak awal, sebelum diberlakukanna Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pemerintah memang tidak berniat untuk mengambil langkah ini, terlihat begitu plin-plan yang sebelumnya akan memberlakukan Darurat Sipil. Kebijakan setengah hati yang hanya memikirkan untuk menyelamatkan ekonomi dibanding dengan menyelamatkan nyawa rakyat. Rencana pelonggaran PSBB pun, menuai kritikan dari Anggota DPR fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Syahrul Aidi Maazat, beliau mencurigai rencana pemerintah melonggarkan PSBB hanya untuk kepentinggan segelintir pebisnis.

Para pebisnis dikhawatirkan mengalami kebangkrutan. Sehingga mereka mendesak pemerintah untuk segera melonggarkan PSBB. Menurutnya, jika alasan di balik rencana pelonggaran kebijakan PSBB, demi kepentingan pebisnis, maka sesungguhnya pemerintah telah melanggar UUD kekarantinaan kesehatan. Adapun, isi UUD Karantina Kesehatan, keselamatan masyarakat adalah hal yang paling utama. (03/05/2020, Tempo.co)

Akar masalah yang utama dapat dilihat adalah bahwa sesungguhnya paradigma Kapitalis telah merasuk para pemangku kekuasaan. Mereka lebih cenderung pro terhadap korporasi di banding nyawa rakyatnya sendiri. Mereka hanya menjadikan asas manfaat yang diraih. Alasan untuk menyelamatkan ekonomi menjadi senjata bagi mereka. Walaupun, kita mengetahui sejak awal dengan adanya musibah berupa pandemi Covid-19 memperlihatkan watak asli pemimpin yang menduduki kekuasaan saat ini.

Melakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Bsar (PSBB), hanya semata-mata untuk meredam keinginan rakyat agar pemerintah segera melakukan lockdown atau karantina wilayah. Setelah kebijakan ini diberlakukan, hanya berselang satu bulan. Pemerintah kembali merencanakan dan mengkaji terkait pelonggaran PSBB. Hal ini nampak sikap pemerintah yang setengah hati dan plin-plan dalam memutuskan suatu perkara. Belum lagi, di alam Kapitalisme ini ketika satu kebijakan diberlakukan tidak mampu menuntaskan semua permasalahan dan hanya bersifat parsial. Malah memunculkan permasalahan yang baru, rakyat kalangan bawah mengalami kelaparan dan sulitnya mendapatkan kebutuhan pokok.

Bantuan sosial pemerintah yang dicanangkan faktanya tidak tepat sasaran di tambah persyaratan yang berbelit untuk mendapatkannya.
Paradigma Kapitalisme menjadikan mereka itung-itungan dalam mengurusi rakyatnya . Tuntutan para pemegang modal dengan cepat tanggap berusaha untuk memenuhinya dan tunduk patuh terhadap apa yang mereka pesan.

Hingga pada akhirnya, pemerintah kehilangan taring di depan para pemilik modal asing maupun aseng. Kebijakan ini jelas kontras dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan yang menerapkan Islam sepenuhnya.

Kebijakan yang dilakukan penuh dengan ketundukan kepada Allah Swt tidak ada pihak manapun yang berani mengatur kebijakan kecuali khalifah. Dalam pemerintahan Islam hanya menjadikan pemimpin yakni khalifah betul-betul sepenuh hati dalam menyelesaikan problem-problem yang terjadi baik adanya wabah maupun tiadanya wabah. Ketika ada wabah melanda suatu kaum pemimpin begitu cepat tanggap dalam menyelesaikan perkara ini.

Cerminan kebijakan yang di contohkan oleh khalifah Umar Ibn Khatthab yang segera melakukan lockdown atau karantina wilayah bagi daerah di zona merah dan melakukan pemenuhan kebutuhan pokok kepada masyarakat secara cuma-cuma terhadap wilayah yang diisolasi. Tidak memungut zakat ketika kondisi wabah sedang berlangsung sampai dapat dipastikan aman seperti sedia kala.

Adapun, di daerah zona hijau mereka benar-benar dilarang untuk mengunjungi tempat dimana wabah berada, sehingga dapat dipastikan wabah tidak menyebar ke wilayah lain. Mereka dapat melakukan aktivitas seperti biasa dan ekonomipun dapat berjalan dengan baik. Selain itu, khalifah tidak segan untuk meminta bantuan kewilayah lain jika dirasa belum sepenuhnya atau ada kekuangan dalam mengurusi rakyatnya.

Bantuan pemenuhan kebutuhan pokok tidak ada istilahnya tidak tepat sasaran dengan syarat yang berbelit. Berbeda dengan kondisi saat ini di alam Kapitalisme. Tidak ada pihak yang diuntungkan ataupun yang dirugikan di kalangan tertentu ketika kebijakan berlangsung dilaksanakan. Mereka saling membantu satu sama lain dengan penuh ketakwaan kepada Allah Swt. Kondisi keimanan tetap mereka rasakan walaupun dalam kondisi adanya wabah dan kesempitan.

Hal demikian dapat diwujudkan manakala menjadikan Islam kafah diterapkan di negeri-negeri Islam seperti Indonesia.

Wallahu a’lam bishawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *