Menanggapi Radikalisme Ala Sahat Siagian

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ainul Mizan (Penulis dan Pemerhati Politik)

Tertanggal 23 Oktober 2019 pukul 19:44 Wib, Sahat Siagian menurunkan sebuah tulisan yang sarat dengan tendensi dan kebencian. Sangat kentara sekali euforianya setelah pelantikan Nadim Makarim sebagai Mendiknas baru. Tidakkah ia bisa bersabar menunggu beberapa waktu? Karena ketergesaannya tersebut hanya akan mengerucutkan kepada publik mengenai model wajah pendidikan yang seperti apa yang ingin dibentuk. Memang kalau kebencian dan kedengkian sudah berada di ubun – ubun, susah untuk dikendalikan. Akal yang jernih pun tidak penting untuk menjadi bahan pertimbangan.

Agar tidak berpanjang lebar kata, langsung saja menuju beberapa poin dalam tulisannya tersebut, yaitu sebagai berikut ini.

Pertama, ia menyebut masa depan Khilafah berada di tangan mendiknas, bukan menag atau mendagri. Yang perlu dipahami dengan baik adalah sesungguhnya Khilafah itu janji Allah SWT yang pasti datang masanya. Seberapapun besarnya upaya manusia untuk menghalanginya, mereka layaknya menghalangi terbitnya fajar tatkala malam sudah berangsur beranjak pagi. Sebagaimana Islam tetap tersebar kepada manusia walau berbagai macam usaha dilakukan untuk memadamkannya.

Sementara itu di dalam sejarah umat Islam sendiri, tentunya tidak bisa dilepaskan dari sejarah tentang para Kholifah yang dalam rentang waktu sekitar 1300 tahun telah mengayomi dunia dalam peradaban agung nan mulia. Di masa Khilafah Abbasyiyah, telah berdatangan para mubaligh untuk menyebarkan Islam secara khusus ke wilayah pulau Jawa. Mereka yang kemudian dikenal sebagai wali songo. Akhirnya bertumbuhlah kesultanan Islam di nusantara, yang di masanya mereka harus menghadapi penjajahan bangsa barat. Artinya kemerdekaan Indonesia tentunya tidak bisa dilepaskan dari peran serta kekuasaan Islam. Prinsipnya janganlah melupakan sejarah, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang ingat akan sejarahnya.

Lantas, adalah sebuah keanehan bila umat Islam diagitasi untuk membenci sejarahnya sendiri. Lebih –lebih Khilafah itu merupakan ajaran Islam yang menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Yang akan menghapuskan berbagai bentuk penjajahan atas negeri – negeri kaum muslimin.

Kedua, di dalam tulisannya terdapat anjuran kepada mendiknas agar dengan kewenangannya bisa membongkar masjid – masjid di sekolah, menganjurkan guru agama Islam berasal dari Islam Nusantara dan menetralkan pakaian seragam para siswa.
Timbul satu tanda tanya besar, siapakah Sahat siagian ini? Sampai segitu pongahnya memberi masukan untuk melakukan pembongkaran masjid – masjid di sekolah.

Adalah sebuah kewajaran bila di sekolah – sekolah dan di perguruan – perguruan tinggi di Indonesia ada bangunan masjid atau mushola di dalam lingkungannya.

Mayoritas penduduk Indonesia ini beragama Islam, secara rasional di bangku – bangku pendidikan tentunya akan didominasi oleh peserta didik baik siswa maupun mahasiswa itu yang beragama Islam. Beda lagi kalau sekolah dan perguruan tinggi yang berlabel Kristen misalnya. Tentunya di dalamnya sangat sedikit peserta didiknya yang beragama Islam bahkan nyaris tidak ada.

Di samping itu, waktu dan tatacara ibadah di dalam Islam ada perbedaan dengan ibadah agama lainnya. Waktu sholat sudah ditentukan dalam 5 waktunya, tidak bisa diubah – ubah sesuai selera manusia. Jika waktu sholat dhuhur telah tiba sekitaran pukul 11.30 wib dimulainya, konsekwensinya bila masjid di sekolah dibongkar maka jam sekolah harus berakhir sebelum waktu dhuhur tiba. Atau jika tidak demikian, gedung sekolahnya juga perlu dibongkar guna mendekati masjid atau mushola yang ada di tengah pemukiman penduduk. Jadi ribet kan?!
Janggal sekali rekomendasi dari Sahat yang non muslim ini.

Tidak usah mengajari umat Islam akan arti toleransi. Masih ingatkah kita dengan kasus penembakan yang terjadi di sebuah masjid di New Zealand baru – baru ini tanggal 15 Maret 2019 lalu? Siapakah yang tidak toleran sebenarnya. Bahkan di dalam perang salib, warga Homs Syria yang notabenenya beragama Kristen berada di pihak kaum muslimin dalam menghadapi gempuran pasukan salib yang dikenal kejam tersebut. Begitu pula apa yang terjadi di mahkamah inkuisisi spanyol. Kaum muslimin harus menghadapi 2 pilihan antara tetap dalam keislamannya sehingga ia terancam siksaan dan kematian ataukah ia memilih murtad dan bisa selamat.

Bahkan hari ini, di negeri ini yang mayoritasnya muslim, mereka para pelajar muslim dan juga para pekerja muslim harus ikhlash untuk libur di hari Minggu. Sedangkan di hari Minggu, mereka memberi kesempatan untuk saudaranya yang beragama Kristen untuk leluasa melakukan kebaktian di gereja. Mestinya, orang – orang kafir itu belajar tentang toleransi dan keharmonisan kehidupan bermasyarakat yang majemuk itu kepada umat Islam. Termasuk pula para pemangku negeri untuk bisa mengambil nilai – nilai kearifan dari ajaran Islam dan umatnya. Bukan justru mengarahkan tudingan radikalisme kepada umat Islam, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh umat Islam. Bahkan radikalisme itu sendiri ditolak oleh ajaran Islam.

Adapun mengenai rekomendasi saudara Sahat untuk menetralkan pakaian seragam sekolah. Mungkin yang dimaksud adalah seragam bagi peserta didik yang putri.

Pertanyaannya, apakah ketika seragam sekolah bagi yang putri dengan berkerudung dan memakai baju yang panjang menimbulkan masalah? Misalnya prestasi akademiknya kurang karena berkerudung begitu. Ataukah dengan seragam tertutup itu lantas mengurangi prestasinya di bidang olahraga? Terlalu dipaksakan untuk mengambil kesimpulan demikian. Ataukah, berkerudung itu menurut Sahat adalah pakaian yang terpapar radikalisme? Kayaknya, dari rekomendasi dari tulisannya Sahat ini memang ada muatan untuk melakukan liberalisasi dunia pendidikan. Model baju yang dipilih adalah bagian dari hak asasi. Oleh karena itu, seragam yang terbuka auratnya menjadi legal atas nama hak asasi manusia. Pertanyaannya, di manakah proses mendidik agar generasi penerus itu bisa menjadi orang – orang yang beriman dan bertaqwa?

Sudahlah jangan bersusah payah mengurusi masjid, seragam sekolah untuk peserta didik yang muslimah, dan juga tentang sosok guru agama Islam. Itu semua adalah urusan umat Islam sendiri. Tidak perlu saudara Sahat untuk ikut mengintervensi. Kalau ingin mengetahui tentang agama Islam dan ajarannya, lebih baiknya untuk mempelajari dengan baik tanpa tendensi kedengkian. Dengan begitu saudara Sahat akan bisa memahami akan kelayakan ajaran Islam untuk mengatur kehidupan manusia. Tidak lantas berkomentar tanpa ilmu mengenai Islam dan umatnya.

Tinggal satu persoalan yakni mengenai output dunia pendidikan yang akan didesain. Ada benang merah antara visi mencetak para peserta didik yang siap kerja seperti yang dicanangkan dalam pidato pelantikan Presiden Jokowi dengan latar belakang mendiknas baru sebagai praktisi digitalisasi dunia kerja. Visi untuk menciptakan peserta didik siap kerja, selain dibekali dengan keterampilan yang mendukung, juga yang perlu berwawasan global. Wawasan global dibutuhkan agar peserta didik sebagai pemimpin masa depan mampu menempatkan dirinya, bangsa dan negaranya di tengah persaingan dagang antara kubu AS yang Kapitalisme dengan kubu China yang mewakili Komunisme. Dengan demikian ia mampu menyelamatkan bangsa dan negerinya dari imbas kerusakan arus globalisasi perdagangan dunia. Tentunya bekal pengetahuan keIslaman yang mencukupi menjadi sebuah kemutlakan dalam hal ini. []

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *