Menakar Nalar Pernyataan “Cadar Bukan Ukuran Ketaqwaan”

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ainul Mizan S.Pd (Penulis Nasional, Tinggal di Malang)

Menag Fahrul Rozi di dalam forum rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR dengan Kemenag pada 7 Nopember 2019, menegaskan bahwa cadar bukanlah ukuran ketaqwaan. Lebih lanjut menurutnya, pihaknya tidak melarang cadar. Hanya saja yang tidak boleh berkembang adalah pemakaian cadar dijadikan ukuran ketaqwaan seorang muslimah.

Di sini ada beberapa tinjauan untuk menakar pernyataan cadar bukan ukuran ketaqwaan.

Dari Segi Paradigma Berpikir

Tentang pengertian ketaqwaan. Yang masyhur ketaqwaan didefinisikan sebagai menjalankan semua perintah Alloh dan meninggalkan semua yang dilarangnya. Artinya segala perbuatan hamba itu terikat dengan hukum islam.

Ada sebuah kaidah fiqih menyatakan:

الاصل فى الافعال التقيد باحكام الشرع
Hukum asal perbuatan itu terikat dengan syara’.

Adapun hukum syara dalam hal ini ada wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Oleh karena itu, kita dituntut untuk mengetahui status hukum dari semua perbuatan yang kita lakukan.

Di saat kita sudah mengetahui status hukum perbuatan di dalam islam dan kita menyesuaikan dengannya, maka kita dipandang telah terikat dengan hukum Islam.

Di sinilah semestinya yang menjadi ukuran ketaqwaan seseorang. Ketika terikat dengan hukum Islam, tentunya ini menunjukkan ada ketaqwaan dalam diri seseorang.

Dari Segi Hukum Cadar

Pakaian bagi seorang muslimah di antaranya ada jilbab, kerudung dan termasuk cadar. Ini sebagai pakaian ketika keluar rumah.

Untuk jilbab dan kerudung hukumnya wajib bagi seorang muslimah. Sedangkan mengenai cadar hukumnya terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat). Artinya bahwa memakai cadar itu merupakan dari ajaran dan hukum Islam. Maka seorang muslimah wajib untuk mengambil satu pandangan hukum tertentu terkait cadar ini. Dan apapun hukum cadar yang diambilnya, maka itu menjadi hukum syara baginya.

Adapun hukum memakai cadar itu ada 2 macam, yaitu:
Pertama, wajib. Ini adalah pandangan madzhab Syafi’i. Bagi madhab Syafi’i, wajah wanita itu bagian dari aurat wanita yang harus ditutup.

Berikut nukilan pandangan Syafii yang mewajibkan cadar.

Asy Syarwani, ulama Madhab Syafi’i menyatakan bahwa aurat wanita terbagi menjadi 3 bagian yakni aurat wanita di dalam sholat, seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan; aurat wanita di depan laki – laki asing yakni seluruh tubuhnya termasuk wajah dan kedua telapak tangannya, dan aurat wanita di depan mahromnya antara pusar hingga lutut, di dalam kitab Hasyiyahnya.

Demikian pula yang disampaikan oleh Muhammad bin Qasim al Ghazzi dalam Fathul Qarib, bahwa aurat wanita di luar sholat itu seluruh tubuhnya termasuk wajah dan kedua tapak tangannya.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketika wajah itu bagian dari aurat wanita, tentunya wajah harus ditutup dengan kain yang disebut cadar atau niqob.

Kedua, pandangan yang tidak mewajibkan memakai cadar.

Di dalam al Mausuah al fiqhiyyah al kuwaitiyah, dijelaskan bahwa menurut Hanafiyah wajah bukanlah bagian dari aurat wanita. Ketika dikuatirkan terjadi fitnah, maka dianjurkan wanita memakai cadar.

Syaikh An Nabhaniy di dalam Nidhomul ijtimaiy menyatakan bahwa memakai niqob atau cadar itu hukumnya mubah atau boleh. Jadi tidak boleh ada yang mewajibkan dan tidak boleh ada yang melarang.

Jadi dari paparan tersebut adalah jelas tentang hukum memakai cadar. Seorang wanita muslimah wajib terikat dengan hukum islam, konsekwensinya wanita wajib mengambil salah satu hukum cadar dari hasil ijtihad para ulama. Bukan lantas menyatakan bahwa walaupun secara fisik ia tidak memakai cadar, tapi hati dan perilakunya sudah baik.

Dari Aspek Sosiologis Psikologis

Pernyataan bahwa cadar bukan ukuran ketaqwaan itu berpotensi menanamkan pikiran relitifitas hukum Islam. Artinya kalau cadar disebut bukan ukuran ketaqwaan, konsekwensinya memakai cadar dianggap bukan bagian dari hukum Islam. Padahal ukuran ketaqwaan itu terikat dengan hukum Islam.

Dengan kata lain akan timbul persepsi umum bahwa memakai cadar merupakan budaya dari timur tengah tepatnya budaya arab. Ini tentunya sangat berbahaya, berpotensi menjadikan masyarakat akan memusuhi cadar karena bertentangan dengan kearifan budaya lokal di Indonesia.

Padahal jika jujur menilai sejarah Arab jahiliyah sebelum Islam, budaya wanita arab itu bertabarruj, dengan menampakkan auratnya di kehidupan umum.

Setelah Islam datang, kaum wanita ditempatkan sebagai kehormatan yang harus dijaga. Termasuk cadar, di samping jilbab dan kerudung yang menjadi aturan berpakaian bagi kaum wanita. Hal demikian akan sempurna dibarengi dengan panduan akhlaq dan adab islami bagi wanita.

Begitu juga, pernyataan niqab atau cadar bukan ukuran ketaqwaan hanya akan menyuburkan pola berpikir sekuler dan liberal.

Ketaqwaan itu bukan diukur dari penampilan luar memakai jilbab, kerudung termasuk cadar, akan tetapi hati yang bersih dan perilaku yang mulia itu yang menjadi ukuran ketaqwaan. Justru pernyataan demikian hanya menegaskan tidak tunduknya mereka terhadap hukum Islam.

Di samping itu, pernyataan sedemikian hanya menjelaskan kesombongannya. ia merasa suci daripada wanita yang memakai cadar. Alibi yang dipakai adalah alasan radikalisme dan terorisme. Dipersonifikasikan bahwa mereka yang melakukan terorisme itu istrinya bercadar. ini sebagai contoh.

Jadi daripada berpolemik tentang memakai cadar sehingga melupakan agenda besar negeri ini. Sesungguhnya negeri ini masih terjangkit pergaulan bebas dan zina yang berawal dari penggunaan pakaian yang membuka aurat, darurat narkoba, miras serta penjajahan di segala bidang. Maka seharusnya negara termasuk Kemenag fokus pada persoalan tersebut yang harus segera ditanggulangi dengan serius. []

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *