Menakar ‘Deal Of Century’ Sebagai Solusi bagi Palestina

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Anisa Rahmi Tania

Masalah Palestina seakan masalah tak berujung. Terlampau banyak cerita pilu menghiasi kehidupan rakyat Palestina dari generasi ke generasi. Perebutan wilayah yang kini masih berkecamuk seakan menjadi menu makanan bagi mereka setiap harinya.

Rasa-rasanya sampai detik ini persoalan negeri kaum muslim di tanah Syam ini belum juga mendapat jawaban. Karena klaim kepemilikan tanah Palestina oleh Israel masih jadi perdebatan panjang dan melelahkan.

Israel yang dibackingi AS terlihat selalu gusar untuk melahap semua wilayah Palestina. Sehingga baru-baru ini Presiden AS, Donald Trump merilis “kesepakatan” untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina.

Dilansir dari aa.com.tr, Deal of Century atau kesepakatan abad ini diumumkan Trump pada 28 Januari lalu. Kesepakatan ini merujuk ke Yerusalem sebagai “Ibu Kota Israel yang tidak terbagi” dan mengakui kedaulatan Israel atas sebagian besar Tepi Barat.

Perdana Menteri Israel sendiri mulai merevisi peta Tepi Barat dan memasukkan sejumlah wilayah yang dianeksasi.
Ia mengatakan wilayah dalam peta baru itu akan menjadi kedaulatan Israel. Termasuk pemukiman ilegal di Tepi Barat dan wilayah Agvar.

Menanggapi hal tersebut, juru bicara Otoritas Palestina, Nabil Labu Tursina, mengatakan peta Palestina yang diakui secara global, sesuai resolusi PBB.

Ia mengatakan bahwa itu merupakan satu-satunya peta yang akan memberikan stabilitas dan perdamaian di kawasan dan dunia.

Reaksi lain datang dari berbagai negara lainnya. Termasuk penolakan dari OKI. Mereka mendesak “semua negara anggota untuk tidak terlibat dengan rencana ini atau bekerja sama dengan pemerintah AS dalam mengimplementasikannya dalam bentuk apapun.”

Koalisi Indonesia Bela Baitul Maqdis (KIBBM) pun tidak ketinggalan. Mereka menggelar aksi bela Al-Quds di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia. Mereka menyuarakan penolakan terhadap usulan perdamaian Trump tersebut.

Kaum muslim di Barat maupun di timur tentu tidak sebodoh itu menerima tawaran kesepakatan dari AS. Terlebih, nyatanya sepanjang sejarah usaha perdamaian Palestina, tidak satu pun kesepakatan yang mengakhiri penindasan di negeri tersebut.

Para penguasa Arab seharusnya memahami, bergantung pada solusi yang ditawarkan AS sama halnya bergantung pada akar lapuk. Bergantung pada orang yang tidak akan mungkin memberi bantuan.

Selamanya keberpihakan AS hanya pada Israel. Sehingga tidak mungkin dia memberikan solusi atas tanah Palestina. Yang ada adalah usaha yang semakin getol untuk menguasai seluruh tanah Palestina untuk Israel.

Itulah mengapa kaum muslimin pun khususnya penguasa Arab seharusnya tidak juga menghendaki adanya campur tangan dunia Barat dan lembaga Internasional untuk mengakhiri krisis Palestina. Apalagi dengan anggapan kesepakatan tersebut akan merusak ‘solusi 2 negara’.

Karena pada hakikatnya solusi-solusi yang berasal dari Barat tidak akan pernah menuntaskan permasalahan Palestina. Ingatlah dengan firman Allah Swt:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imran[3]: 118)

Begitulah Allah Swt menjelaskan tabiat para pembenci Islam.

Ibarat menggantang asap, selama ini penguasa Palestina hanya bermain-main diplomasi dengan para penguasa Barat. Namun nihil solusi. Usahanya sia-sia belaka. Sementara masyarakat Palestina terus menjadi korban.

Oleh karena itu, dari sekian banyak langkah yang telah ditempuh, semestinya kita menyadari bahwa tidak ada solusi tuntas untuk krisis Palestina selain dari tegaknya Khilafah. Mengapa? Karena masalah Palestina adalah perebutan hak hidup masyarakat. Kekuatan fisik hanya bisa dilawan dengan fisik. Serangan rudal hanya bisa dilawan dengan serangan rudal juga.

Artinya kaum muslim harus punya benteng pertahanan, perisai pelindung, sekaligus komando untuk bisa melaksanakan jihad fi sabilillah. Dialah Khalifah yang memimpin kaum muslimin di bawah institusi Khilafah.

Hanya Khilafah yang bisa menyatukan kaum muslimin dan bergerak dalam satu arahan. Khilafah pula yang akan mati-matian membela hak-hak kaum muslim yang tertindas.

Sebagaimana sejarah telah mencatat pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab yang membebaskan Al-Quds. Menjadikannya negeri yang aman dan damai walau di huni beragam agama.

Selanjutnya, dikisahkan ekspedisi Islam dilanjutkan ke wilayah sekitar Yerusalem. Panglima Yazid bin Abu Sufyan dengan mudah menaklukkan Gaza, Askalon, dan Caesarea (daerah-daerah yang berada di wilayah Palestina).

Palestina di bawah kekuasaan Islam saat itu, berkembang menjadi sebuah wilayah yang multikultur. Umat Islam, Nasrani, dan Yahudi yang berdiam di wilayah Palestina pada masa itu hidup berdampingan secara damai dan tertib.

Sejak awal menaklukkan wilayah Palestina, penguasa Islam tidak pernah memaksakan agamanya kepada penduduk setempat. Mereka tetap diperbolehkan menganut keyakinan lama mereka dan diberi kebebasan beribadah. (Republika.com)

Demikianlah telah jelas tertulis dalam sejarah, Palestina hanya bisa merasakan hidup damai di bawah kekuasaan Islam. Di bawah Panji Rasulullah Saw. Bukan dalam kerangkeng ‘solusi 2 negara’, Deal of Century, atau serentetan kesepakatan dan diplomasi lainnya yang berasal dari Barat.

Renungkanlah firman Allah Swt,:
“Allah lebih mengetahui (daripada kalian) tentang musuh-musuh kalian. Cukuplah Allah menjadi Pelindung kalian. Cukuplah Allah menjadi Penolong kalian.” (QS an-Nisa’ [4]: 45).

Wallahu’alam bishawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *