Oleh: Ummu Azka (Aktivis Muslimah Banten)
Seperti menjilat ludah sendiri. Inkonsistensi kembali terjadi di negeri ini. Setelah pada masa kampanye berkoar akan menindak tegas pelaku korupsi, namun kini apa yang terjadi, salah satu jabatan strategis di BUMN malah diberikan kepada mantan napi.
Pemerintah melalui menteri BUMN Erick Thohir resmi mengangkat Ahok sebagai komisaris Pertamina, sebuah BUMN strategis milik negara. Ahok dinilai mampu membereskan permasalahan “mafia” yang kini melilit lembaga tersebut (cnninfonesia.com)
Reaksi keras pun muncul dari berbagai kalangan. Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai sosok Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tak akan mampu memberantas mafia di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebab, menurut Marwan, untuk memberantas mafia di BUMN diperlukan sosok yang bersih. Sedangkan Ahok, lanjut dia, mempunyai rekam jejak yang buruk.
Selain karena sosok Ahok adalah mantan narapidana kasus korupsi, Marwan juga mengatakan bahwa masih ada kasus dugaan korupsi yang menyandung Ahok saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Salah satu kasusnya, yakni kasus pembelian lahan RS Sumber Waras.
Protes keras tersebut wajar adanya. Program pemerintah terkait bersih-bersih BUMN nampaknya dinodai sendiri dengan penunjukan Ahok. Seperti delusi, ingin membersihkan namun justeru memasang orang yang tersangkut banyak permasalahan hukum. Ibaratnya seperti menyapu dengan sapu kotor.
Selain karena terlibat dengan banyak kasus korupsi, Ahok pun dinilai tak mumpuni dari segi kemampuan memimpin BUMN yang membidani produksi aneka produk dari minyak mentah tersebut.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai Ahok dipilih bukan untuk memperbaiki kinerja bisnis perusahaan BUMN. Dalam penilaiannya, jabatan tinggi di Pertamina harus diserahkan pada orang yang sebelumnya pernah terlibat langsung dalam jajaran direksi BUMN tersebut.
Pendapat kontra yang datang , setidaknya menguatkan bahwa terpilihnya Ahok cenderung karena alasan politik penguasa. Seperti yang publik ketahui bahwa Ahok dan pengusaha di belakangnya adalah salah satu tim sukses presiden yang saat ini terpilih. Sejalan dengan semangat menebar kekuasaan pada pihak yang berjasa inilah yang menjadi indikasi kuat sosok kontroversial ini melenggang ringan menuju kursi empuk Pertamina.
Keputusan ini sukses mencoreng wajah penguasa yang baru saja terpilih. Harapan demi harapan yang mewujud dalam benak masyarakat akan terciptanya iklim kehidupan yang lebih baik, serasa dihempaskan begitu saja. Menyakitkan, pastinya. Terlebih, dana untuk menyelenggarakan pesta demokrasi bukanlah angka yang kecil.
Korupsi sebagai buah dari kehidupan sekuler kapitalis, menyebar rata ke dalam banyak instansi pemerintah. Banyak pejabat negeri terjerat di dalamnya. Pemerintah yang diharapkan akan tegas terhadap hal ini, nyatanya masih kompromi terhadap banyak kasus dan terlihat belum serius.
Revisi RUU KPK dan RUU Permasyarakatan adalah diantara bukti bahwa pemerintah menodai semangat serta upaya nyata dalam penindakan kasus korupsi. Wewenang KPK dikebiri, narapidana korupsi diberikan grasi. Ironis akut sedang melanda negeri.
Semua keinginan untuk membersihkan negara dan lembaga di dalamnya dari kasus mafia korupsi, akan terjegal dari aturan legal formal yang tak mendukungnya. Itu semua karena sekulerisme kapitalis telah mewarnai pemerintahan kita. Nafsu berkuasa dan mengeruk keuntungan menjadikan negeri ini tak ubahnya barang dagangan. Sementara rakyat diposisikan sebagai pembelinya.
Kedzaliman ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Korupsi sebagai sebuah kejahatan terstruktur harus segera diselesaikan dengan tindakan yang tepat. Dalam Islam, pemberantasan korupsi dilakukan dengan cara yang integratif. Yakni
1. Menyelenggarakan pemerintahan yang bersih berlandaskan pada Syariat. Hal ini dimulai dengan memilih penyelenggara negara. Orang yang menduduki jabatan , harus dipastikan adalah orang yang taat dan memahami betul bahwa amanah jabatan bukan untuk mencari keuntungan.
2. Mengembalikan fungsi negara sebagai pelindung bagi rakyat. Memenuhi hak hidup warganegara dengan jaminan kebutuhan pokok bagi mereka, sehingga tak ada alasan untuk korupsi karena alasan ekonomi.
3. Menerapkan sistem sanksi yang tegas. Setiap pelanggaran hukum yang terjadi akan diberikan sanksi hukuman yang tegas sesuai dengan jenis kesalahannya, dengan penerapan merata tanpa membedakan kedudukan sosial.
Hal demikian bisa sempurna dilakukan ketika Islam diterapkan dalam lingkup negara. Peran tertinggi negara dalam kehidupan bermasyarakat, menjadikan negara memiliki kewenangan tinggi agar korupsi yang hilang tak lantas berganti. []