Oleh : Gien Rizuka (Komunitas Pena Islam)
Pandemi belum jua mereda. Tetapi, kita dikejutkan dengan pemberitaan di dunia perpolitikan mancanegara. Pasalnya, AS yang telah lama menetap di Afghanistan, hengkang dari negara tersebut. Itu terjadi setelah Gerilyawan Taliban disahkan menguasai istana kepresidenan dan menduduki Ibukota Kabul (CNN Indonesia, 15/8/21).
Padahal pasukan AS sedari 2001, telah bercokol di Afghanistan dengan alasan mengawal proses demokratisasi dan menghalangi penguasaan oleh Taliban. Namun akhirnya AS dapat ditaklukkan, setelah Taliban memberontak dan merebut kota kedua dan ketiga di Afghanistan. Meskipun sejak awal Taliban sendiri mengalami kontra dari pihak publik Afghan dan dunia, tapi kontra tersebut tak bisa memendam kembalinya kekuasaan Taliban untuk beranjak menaklukkan Afghanistan setelah 18 tahun lebih vakum. Kini Taliban dengan cepat dan mudah bisa lagi menduduki istana kepresidenan.
Sejarah mencatat di 1996, Taliban pernah menguasai pemerintahan Afghanistan. Namun pada 2001, kekuasaannya ditumbangkan oleh Amerika Serikat setelah ditelaah alasan Taliban dengan mudahnya merebut Pul-el-Alam tanpa perlawanan (Tempo.com, 15/8/21). Sebab ternyata ada fakta perjanjian yang telah disepakati Taliban dan AS di 29 Februari 2020 lalu. Hal ini diperkuat dengan penjelasan Ustaz Ismail Yusanto dalam tayangan di rayah tv channel.
Ustaz Is menjelaskan ada 4 poin utama yang mereka tandatangani. Isinya berupa tawaran yang menggiurkan bagi keselamatan AS. Pertama, Taliban menjamin mekanisme AS untuk menarik semua pasukannya dari Afghanistan. Kedua, Taliban berjanji akan menghapus bibit-bibit terorisme atau kelompok yang akan menumbuhkan perlawanan Afghanistan terhadap AS. Ketiga, AS melepas tahanan perang pada 10 Maret. Keempat, sanksi AS untuk anggota Taliban dihapus.
Kompas mengabarkan (1/3/2021) bahwa AS sendiri tak ingin mengulangi kejadian di 2001 saat menginvasi Taliban. Kejadian ini memakan puluhan ribu korban dan AS disinyalir mengalami kerugian materi yang ditaksir mencapai 2 triliun dolar AS (Rp28,6 kuadriliun).
Ada yang harus dikritisi dari perjuangan Taliban yang ingin menerapkan Islam dalam negara, yakni perjuangan yang semestinya mengikuti jalan (thariqah) Rasulullah saw. kala Rasul belum menjadi pemimpin negara. Taliban sendiri merupakan kelompok dakwah, tapi secara metode harus kembali dikaji apakah telah sesuai dengan jalan dakwah Rasul. Dakwah yang Rasulullah contohkan dan disyariatkan mencakup pada pembentukan pola pikir dan pola sikap sesuai Islam. Hingga dakwahnya mampu menumbuhkan kesadaran umat akan wajibnya penerapan Islam kafah melalui negara.
Negara yang berhasil dibangun Rasulullah kala itu berdasarkan tiang syariat Islam. Negara seperti ini tidak akan tergiur dengan embel-embel kompromi dari pihak asing karena negara Islam mempertahankan prinsip Islam. Dimana negara tak akan sewenang-wenang menerima bantuan dari Barat yang dapat menjauhkan syariat Islam dari pemikiran kaum muslimin.
Fakta Afghan telah membuktikan bahwa pola pikir dan pola sikap publik dunia muslim masih diintervensi AS, sehingga mereka terpengaruh opini-opini pihak asing. Hal ini yang mengakibatkan mereka sendiri takut ketika ajaran agamanya diterapkan di negaranya.
Sama halnya ketika mendakwahi penguasa, saat ini kaum muslimin hanya bisa sebatas mengkritisi kebijakan yang tak sesuai Islam (Muhasabah lil Hukam) dan memberi solusi dari Islam. Sampai para penguasa sendiri mau menerapkan sistem Islam atau menyerahkan kekuasaan pada yang memiliki potensi ilmu syariat Islam. Sehinggga terbentuklah negara yang berlandaskan syariat Islam. Dengan kebijakannya, akan semakin memantapkan umat Islam atau pun menyadarkan non muslim bahwa Islam satu-satunya yang mampu menjadi solusi bagi permasalahan-permasalahan umat.
Wallahua’lam bishawab.