Melawan Skandal Omnibus Law, Rezim dan Sistem: Pembangkangan Sipil dan Revolusi Politik

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Taofik Andi Rachman, M.Pd.

(Pengisi Tetap Channel Youtube Majelis Baitul Ummah)

 

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) resmi disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada hari Senin tanggal 5 Oktober kemaren. RUU ini membutuhkan waktu singkat sekitar hanya delapan bulan untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Padahal di dalamnya terdapat tujuh puluhan undang-undang yang dipengaruhinya.

Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) pun menilai pengesahan Omnibus Law UU Cipta kerja telah menjadi skandal legislasi terbesar dalam sejarah Indonesia. Naskah mana yang disahkan, rakyat pun masih mencarinya. Saat pengesahan saja, anggota DPR tidak memegang naskah yang disahkan. Setelah enam hari disahkan muncul beberapa 3 versi naskah ada yang 1028 halaman, ada yang 1052 halaman dan yang 905 halaman. Lebih aneh dan mengejutkan lagi, DPR mengklarifikasi bahwa UU masih diperbaiki. Padahal, harusnya saat disahkan, naskah harus sudah final dan fix per pasal. (alinea.id, 12/10/2020)

Sehingga, pengesahan ini menuai gelombang protes banyak kalangan, seperti mahasiswa, buruh, aktivis, siswa SMK, petani juga yang lainnya. Mereka berulang kali mengkritisi pengesahan ini dan meminta untuk dibatalkan. Terakhir, Front Pembela Islam (FPI) bergerak bersama dua ormas Islam lain yakni Persaudaraan Alumni 212 dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama melakukan aksi besar.

Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM memiliki penilaian juga atas Omnibus Law UU Ciptaker ini yang memiliki kecacatan baik secara formil maupun materiil dan tidak berpihak kepada buruh. Pukat UGM menyoroti tiga permasalahan UU Ciptaker, baik secara proses, metode pembentukan, dan substansinya. (ugm.ac.id, 06/10/2020)

Pertama, perancangan RUU Ciptaker tidak transparan, kurangnya keterbukaan dan minim partisipasi rakyat. Lebih lagi, dalam proses penyusunan rakyat tidak bisa mengakses draft RUU ini. Rakyat pun tidak bisa memberi masukan. Pada saat pembahasan dilangsungkan dalam rapat tertutup, dan tidak ada informasi perkembangan draf pembahasan RUU Ciptaker untuk rakyat.

Kedua, Pukat UGM menyatakan, “teknik Omnibus Law tidak dikenal dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini mengakibatkan ketidakjelasan apakah RUU Cipta Kerja merupakan penyusunan UU Baru, UU Perubahan, ataupun UU Pencabutan.” Lagi pula RUU Ciptaker bukan solusi mempermudah dalam problem regulasi di Indonesia. Banyaknya  pendelegasian wewenang di dalamnya justru tidak menunjukkan simplifikasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan.

Ketiga, Secara substansi, RUU Ciptaker condong pada sentralisasi kekuasaan, sehingga rentan akan potensi korupsi. Salah satu penyebabnya yaitu makin minimnya pengawasan karena pemerintah pusat mendapat kewenangan dan kekuasaan yang besar. (jogja.suara.com, 6/10/2020)

Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pun telah melakukan kritik, dan rekomendasi kepada pemerintah dan DPR RI terkait Omnibus Law Ciptaker. Kajian dari LBH Jakarta tersebut mengkritik dua hal yaitu metode legislasi dan substansi dalam Omnibus Law Ciptaker. (tirto.id, 26/08/2020)

Pada metode legislasi metode Omnibus Law ini tidak dikenal di perudangan Indonesia dan dianggap sebagai cara yang tidak-demokratis (undemocratic) bahkan despotis (despotic).

Secar Subtansial, menurut LBH, Omnibus Law Ciptaker justru malah melahirkan banyak peraturan pelaksanaan yang baru. Tercatat setidaknya akan diperlukan 493 peraturan pemerintah, 19 peraturan presiden, dan 4 peraturan daerah baru demi RUU ini bisa berjalan. Sehingga totalnya diperlukan 516 peraturan pelaksana.

LBH juga mensoroti isu Ketenagakerjaan, serta Perkotaan dan Masyarakat Urban. Menurut LBH, Omnibus Law hanya akan melahirkan ketidakadilan berupa pengorbanan hak-hak pekerja demi akumulasi kapital, penghilangan hak-hak pekerja perempuan, menghapus hak-hak cuti pekerja, mendukung politik upah murah, membuka ruang PHK massal, hingga penghapusan pidana perburuhan.

Banyak sekali alasan kuat sehingga skandal UU ini harus digagalkan. Bahkan pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar mengajukan sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk membatalkan RUU Ciptaker yang sudah disahkan oleh DPR baik dari sisi politik, hukum, atau pun sosial masyarakat. (cnnIndonesia.com, 6/10/2020)

 

  1. MENGGAGALKAN UNDANG-UNDANG DARI ASPEK POLITIK

RUU apapun meski sudah disetujui pada tingkat paripurna, dalam praktiknya ada tahapan penyesuaian yang harus dilalui. Pada tahap ini, anggota DPR yang menolak atau menerima harus terus memantau UU ini hingga resmi diundangkan. Ternyata bisa saja terjadi penyelipan dan tambahan pasal-pasal di tahap penyesuaian itu.

Praktiknya pada UU yang disahkan ada perbaikan typo dan sebagainya. Harus waspada di sini karena sangat mungkin ada penambahan dan keanehan lainnya seperti pada UU Pemilu. Padahal setiap pasal dan kata pada UU harusnya sudah fiks tidak diubah setelah disahkan. Setiap kata dalam UU jika diubah maka akan terjadi perubahan yang signifikan. Jika kata ‘tidak’ dihilangkan maka sudah berubah sama sekali. Parahnya pada skandal UU Cipataker ini, naskah yang disahkannya saja sudah tidak jelas yang mana.

Setiap UU menunggu tanda tangan Presiden untuk proses pengesahan. Sehingga jika adanya aksi masyarakat yang ramai menolak UU tertentu, maka ada kemungkinan Presiden tidak menandatanginya. Tentunya jika presiden melihat pentingnya aspirasi masyarakat. Memang setelah 30 hari jika tidak ditandatangani presiden masih tetap menjadi UU. Namun kehilangan legitimasi jika presiden tidak tanda tangan. Sehingga akan menjadi sarana kuat untuk pengujian di MK. Namun, masalahnya justru presiden yang mendorong segera pengesahan UU ini. (cnnIndonesia.com, 6/10/2020)

Sedangkan dengan cara mengeluarkan Perppu, kemungkinannya juga tidak ada karena presiden tidak mungkin mengeluarkannya. Sehingga cara jenis ini sudah tidak mungkin dilakukan, kegagalannya sangat tinggi.

 

  1. MENGGAGALKAN UNDANG-UNDANG DARI ASPEK HUKUM

Pada aspek ini ada cara menggugatnya melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Penggugatan baik secara materiil dan formil, atau terhadap pasal dan metode pembentukannya. Cara ini bisa saja dilakukan, apalagi presiden menggiring ke arah cara ini kepada siapa pun yang ingin menggugat UU Ciptaker.

Namun Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar meminta rakyat tidak mengandalkan MK melalui judicial review. Ini karena, cara tersebut dianggap sia-sia dan tidak membuahkan hasil.

Dengan judicial review di MK memberikan legitimasi lebih dalam pada UU. Lalu pemerintah akan mengatakan sudah diuji dan sudah ada keputusan MK. Ini karena MK lebih berpihak kepada kepentingan DPR dan Presiden. MK adalah alat rezim sebab mereka dipilih oleh DPR dan Presiden dengan komposisi hakim, 3 ditunjuk DPR, 3 ditunjuk Presiden. (jawapos.com, 9/10/2020)

Begitu juga Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai pengajuan gugatan ke MK oleh rakyat kemungkinan akan berakhir dengan hampa. Ini disebabkan ada permintaan dukungan dari Presiden Jokowi kepada MK terkait regulasi tersebut saat acara “Penyampaian Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi Tahun 2019”. (republika.co.id, 11/10/2020)

Sehingga cara jenis ini kemungkinan gagalnya tinggi, sebagaimana hasil dari dari gugatan kecurangan pada saat pemilu presiden kemarin. Bahkan bisa menjadikan legitimasi rezim semakin kuat.

 

  1. MENGGAGALKAN UNDANG-UNDANG DARI ASPEK SOSIAL MASYARAKAT

Sementara dari aspek sosial masyarakat, cara pembangkangan sipil sangat memungkinkan. Penyebabnya, selama rezim berkuasa proses legislasi yang dilakukan DPR dan Pemerintah telah membelakangi aspirasi publik.

Permasalahan proses legislasi sudah berkali-kali dari dari UU MK, UU KPK, dan UU Minerba dan UU PKS. Semuanya berbeda dengan apa yang diinginkan rakyat, rakyat tidak dianggap. Sehingga perlawanan sipil memang harus. Rakyat harus memperlihatkan bahwa merekalah pemilik kekuasaan negeri ini. UUD sudah jelas menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD.

Istilah civil disobedience atau pembangkangan sipil sudah lama dipopulerkan oleh Henry David Thoreau ketika memprotes perbudakan dan menolak Perang Amerika-Meksiko pada tahun 1846-1848. (jernih.co, 8/10/2020)

Pembangkangan sipil merupakan satu bentuk protes warga negara terhadap pemerintahnya, secara sengaja warga melanggar hukum atau aturan dan menolak perintah. Namun memang bukan hukum yang berat. Pembangkangan yang paling lunak seperti menolak membayar pajak. Pajak adalah penghasilan terbesar di APBN sampai 75%. Jika semua rakyat tidak membayar pajak maka rezim akan kehilangan dana dalam berkuasa. Sedangkan pembangkangan yang keras dilakukan dengan mogok kerja, memboikot program-program pemerintah dan lainnya.

Pembangkangan sipil Ini bentuk perlawanan tanpa kekerasan (non-violence), warga menerima konsekuensi untuk ditahan ketika melanggar hukum tertentu dan tidak melawan ketika ditangkap. Kalau pembangkangan dilakukan secara luas oleh rakyat, rezim dihadapkan pada pilihan menuruti keinginan rakyat atau memenjarakan sebanyak mungkin rakyat.

Di sisi pemerintah pasti akan selalu mengatakan bahwa pembangkangan adalah pelanggaran hukum. Pernyataan ini memang tidak perlu diambil pusing karena pembangkangan pasti merugikan rezim. Pada aksi atau demo sudah umum jika para peserta memenuhi jalan dan trotoar lalu menyebabkan macet. Ini memang jelas-jelas pelanggaran hukum.

Akan tetapi banyak ahli hukum menyatakan pelanggaran ini bisa diabaikan, jika demo berlangsung tanpa kekerasan, damai dan tujuannya memperjuangkan keadilan. Bahkan ahli berpendapat harus ada justifikasi atas pembangkangan sipil untuk mendahulukan penegakan keadilan dari pada mematuhi hukum teknis seperti aturan lalu lintas atau keramaian.

Aksi pembangkangan sipil pernah beberapa kali dilakukan di dunia dan berhasil. Perjuangan Gandhi dengan prinsip Satyagraha (memegang teguh kebenaran) dan Ahimsa (perlawanan tanpa kekerasan) sangat dipengaruhi gagasan Civil Disobedience. Gandhi akhirnya bisa memerdekakan negerinya.

Gandhi melakukan gerakan puasa dan boikot ekonomi. Protes paling keras dari Gandhi diarahkan pada pengaturan pajak yang diberlakukan Inggris di India. Pemerintah Kolonial Inggris menyerah dan gagal meraup cukup uang dari pajak. Perlawanan besar seperti ini juga muncul pada gerakan sipil di Amerika yang dipimpin oleh Martin Luther King Jr. dan gerakan Nelson Mandela atas politik aparteid di Afrika Selatan. (tirto.id, 14/10/2020)

Pembangkangan sipil juga sering terjadi di dunia Islam apalagi jika terkait Aqidah Islam. Seperti KH. Zainal Mustafa seorang pahlawan nasional membangkang tidak melakukan kyujo yohai (penghormatan kepada istana kaisar Jepang) dengan cara ruku sebagaimana shalat ke arah Jepang setiap pagi.

Gerakan pembangkangan sipil harus dilakukan oleh rakyat Indonesia tentunya dengan tanpa kekerasan. Gerakan ini akan menjadi senjata paling ampuh untuk melawan kezhaliman dan otoriterisme rezim. Sehingga mereka tidak seenaknya berkuasa dan menindas rakyat.

 

  1. REVOLUSI POLITIK

Jika cara di atas sudah tidak berhasil maka revolusi akan menjadi sebagai tumpuan perubahan yang lebih ekstrim sebagaimana arab spring dan reformasi yang penah terjadi. Revolusi sendiri merupakan sebuah proses perubahan sosial-politik dimana nilai-nilai sosial masyarakat diubah secara cepat dan radikal. Perubahan ini akan menciptakan tatanan sosial-politik baru dan mengubah tatanan politik lama bersamaan dengan perubahan elit kekuasaan politik.

Arab Spring 2010 merupakan contoh revolusi yang terjadi di timur tengah. Pergerakan dimulai dari pemuda Bouazizi pedagang buah yang membakar diri karena frustasi setelah grobaknya tidak diizinkan berdagang karena tidak mampu memberikan sogokan tinggi. Dari pemuda ini, selama 12 bulan empat pemimpin tumbang yang sudah berkuasa puluhan tahun di Mesir, Tunisia, Yaman dan Libya. Sementara Suriah Masih bergolak.

Pergerakan pro perubahan di Mesir, pada saat itu berhadapan secara langsung dengan pro Hosni Mubarak, presiden Mesir. Dengan tekad kuat, pergerakan perubahan meneriakkan mantra Tunisia yang terkenal yaitu Asy-Sya’b yurid isqath An-Nizham! (Rakyat menuntut lengsernya rezim!).  Gerakan massa melawan rezim otoriter korup terjadi di negara-negara Timur Tengah dan berhasil menggulingkannya. Namun, gagal dalam perubahan sistem.

Menarik kitab yang berjudul Fiqh ats-Tsaurah: Muraja’at fi al-Fiqh as-Siyasiy al-Islamiy (Fikih Revolusi: Telaah atas Fikih-Politik-Islam) karya Syeikh Dr. Ahmad Ar-Raisuni, Beliau Ketua Kesatuan Ulama Islam Sedunia (KUIS) atau International Union of Muslim Scholars (IUMS) yang berbasis di Doha. Syeikh Ar-Raisuni memimpin lembaga ini setelah Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. Di dalam bukunya tersebut, Syeikh menjelaskan tentang revolusi dan hal-hal yang melingkupinya, baik dari segi hukumnya, dan apa saja yang perlu diperhatikan sebelum revolusi dimulai sampai apa yang harus dilakukan setelah revolusi terjadi.

Syeikh Ar-Raisuni menyatakan dasar utama wajibnya revolusi adalah tidak ada alasan untuk mempertahankan pemimpin otoriter yang zhalim. Dan dasar kedua wajibnya revolusi adalah menghilangkan fitnah di sebuah negeri. Fitnah ini sebagaimana merebaknya kejahatan dan kezaliman. Inilah pentingnya revolusi atas pergantian rezim dan perubahan sistem.

Syeikh menyatakan dengan tegas bahwa jika revolusi sudah selesai, yang harus dilakukan adalah menerapkan syariat Islam. Jadi memang dari awal revolusi di dalam kitab beliau merupakan revolusi untuk menyiapkan pengganti rezim dengan pemimpin Islami dan mengubah sistem menjadi Islam.

Ahli Maqashid Asy-Syariah  ini juga menulis risalah mengenai kewajiban menurunkan pemimpin zhalim penindas rakyat dan fitnah sistem walaupun hal ini dilarang oleh ulama yang mengekor tirani rezim.

Revolusi yang hakiki memang tidak hanya revolusi atas simbol, pilar dan lembaga tetapi merupakan sebuah revolusi komprehensif yang juga terhadap seluruh nilai-nilai, moral, ide-ide, sistem dan hukum. Apalagi Indonesia sudah mengalami reformasi di mana rezim sudah berganti dengan sistem yang justru semakin buruk dengan semakin liberalnya kapitalisme di Indonesia. Hari ini, rezim juga semakin memburuk dengan fakta-fakta yang sudah terkuak ditambah kebobrokan demokrasi yang telah berubah ke format sistem oligarki dan korporatokrasi.

Revolusi Islam merupakan revolusi tanpa kekerasan, tanpa teror dan tanpa penggunaan senjata. Rasulullah saw telah mencontohkan revolusi tanpa darah setelah mendapatkan nushrah dari penduduk Madinah. Di sini perlunya Revolusi Islam yang matang saat rayah dan liwa Islam tersebar di penjuru negeri, dan masyarakat berjalan dengan kesadaran Islam berulang-ulang meneriakkan : “Al-Ummah turid Khilafah min jadid” kemudian menyerahkan bait kepada seorang Khalifah untuk menerapkan sistem Islam. InsyaAllah.

 

Selesai, Wa Allahu a’lam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *