May Day, Apa Hanya Jadi Seremoni?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim

 

Setiap memasuki bulan Mei, selain berbicara tentang hari pendidikan nasional, tentu kita juga tak pernah lupa pada perayaan 1 Mei yang juga ditetapkan sebagai hari libur nasional. Ya, peringatan Hari Buruh Internasional atau yang biasa disebut sebagai May Day. Jika sejarah Hardiknas dilatarbelakangi oleh seorang Bapak Pendidikan Nasional, maka May Day sebagai hari besar internasional pun memiliki latar belakang tersendiri. Mengutip dari situs Britannica, gerakan persatuan buruh saat May Day bermula pada abad ke-19 di Amerika Serikat. Dalam hal ini, para buruh menuntut hak-hak pekerja, salah satunya menuntut jam kerja menjadi maksimal hanya 8 jam per hari.

Tak jauh berbeda dengan kondisi yang ada di Amerika, di Indonesia khususnya pun demikian. Hari buruh di Indonesia dimulai pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Peringatan ini dimulai pada tanggal 1 Mei 1918 oleh Serikat Buruh Kung Tang Hwee. Adolf Baars, seorang tokoh sosialis Belanda yang mengkritik harga sewa tanah milik kaum buruh terlalu murah untuk dijadikan perkebunan. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa kaum buruh bekerja keras tanpa upah yang layak.

Lantas timbul pertanyaan, 1 Mei yang selalu diperingati sebagai Hari Buruh dan diwarnai dengan sejumlah aksi demonstrasi baik di dalam maupun luar negeri, apakah hanya jadi seremoni semata? Berlepas dari tuntutan yang disuarakan oleh saudara-saudara kita, adakah tuntutan-tuntutan itu kian terpenuhi ataukah terbang begitu saja kemudian digaungkan lagi pada tahun berikutnya?

Waktu terus bergulir, diikuti pula dengan janji-janji para calon pemimpin dalam mensejahterakan dan memenuhi hak-hak tenaga kerja khususnya buruh di negeri ini. Janji bak angin segar yang selalu muncul tiap 5 tahun sekali atau paling tidak ketika mendekati masa-masa pencarian elektabilitas. Hal ini kembali membuat kita melihat antara data dan fakta.

Data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Agustus 2020) yang dirils BPS, menyebutkan bahwa rata-rata upah buruh turun 5,20% menjadi Rp2,76 juta per bulan. Besar kecilnya perubahan upah buruh ini bervariasi, tergantung kebijakan daerah, namun dapat dipastikan bahwa hampir setiap provinsi di negeri ini mengalami penurunan upah. Provinsi dengan penurunan upah buruh tertinggi adalah Bali sebesar 17,91%, disusul Kepulauan Bangka Belitung sebesar 16,98% dan Nusa Tenggara Barat sebesar 8,95% (sindonews.com). Lantas di mana letak kesejahteraan yang selama ini di klaim berhasil terwujud? Jika memang telah sejahtera, maka mengapa tiap 1 Mei selalu diisi dengan tuntutan?

Maka hal ini mengindikasikan bahwa kehidupan rakyat masih di bawah garis sejahtera, atau bahkan bertambah dalam kepayahan dan kesusahan. Tahun ini misalnya, ada 18 tuntutan yang coba untuk disuarakan. Tak hanya itu, omnibus law juga turut melanggengkan perbudakan modern, outsourcing dibebaskan untuk semua jenis pekerjaan, tidak ada batas waktu, dan upah yang murah. Tuntutan lainnya yaitu mendesak pemerintah menurunkan harga bahan pokok termasuk minyak goreng; mendesak RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) disahkan, menolak revisi UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) dan menolak revisi UU Serikat Kerja/Serikat Buruh (cnnindonesia.com)

Faktanya berbagai tuntutan tersebut tiap tahun terus berulang walaupun dengan redaksi dan isi yang berbeda, tak bisa dipenuhi karena sistem yg ada saat ini hanya melanggengkan perbudakan modern. Lantas pertanyaan selanjutnya yang mungkin akan terbersit ialah, ada apa dengan sistem saat ini? Bukankah sistem saat ini sistem yang sering disebut telah final dan sesuai zaman?

Untuk menjawab hal ini, kita perlu mengetahui dulu dasar alias pondasi pijakan sistem yang ada saat ini, yakni sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme mungkin sudah sering kita dengar di buku pelajaran waktu sekolah atau kuliah. Kapitalisme merupakan paham yang meyakini bahwa pemilik modal dapat melaksanakan usahanya dan meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang serendah-rendahnya.

Awal lahirnya dasar teori ini  banyak yang mengagungkannya, tapi pada akhirnya seiring berjalannya waktu ketenarannya memudar. Terlebih setelah terjadi inflasi besar-besaran di Amerika dan negara eropa lainnya. Sistem ekonomi kapitalis dianggap telah gagal dalam menciptakan kesejahteraan karena hanya para pemilik modal yang merasa diuntungkan, sehingga ada ungkapan yang menjadi tren di masyarakat dunia bahwa yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme ini juga mengakibatkan banyak PHK, pengangguran, dan yang paling parah adalah timbulnya krisis ekonomi besar-besaran yang berdampak global.

Seolah terjebak dalam gulungan benang kusut yang tak tau ujungnya dimana, kita seringkali lebih banyak pasrah pada kondisi. Padahal di sisi lain, ada solusi dari sebuah sistem yang jauh lebih baik dalam mengatasi permasalahan ini termasuk kesejahteraan para pekerja. Solusi dari mana? Tentu saja tidak lain dan tidak bukan solusi yang telah diturunkan oleh Dzat Yang Maha Mengetahui kebutuhan ciptaanNya. Solusi yang telah jauh hari terbukti dalam memanusiakan manusia.

Apakah itu? Tentu saja Islam. Namun kita seringkali skeptis dan memandang takut seolah solusi ini adalah ilusi. Padahal, faktanya, kita lebih sering mengkonsumsi asupan dan janji manis berisi ilusi dari sistem kapitalis.

Berkebalikan dengan kapitalis, sistem Islam menjamin kesejahteraan warga nya dengan peran penting pemimpin (khalifah) sebagai regulator dalam bidang ekonomi. Salah satunya yakni melakukan perubahan terhadap sistem ekonomi itu sendiri melalui pendidikan terhadap rakyat tentang mengaplikasikan sistem ekonomi yang benar sesuai dengan pedoman yang telah diwariskan langsung kepada Rasulullah SAW.

Kesejahteraan rakyat adalalah prioritas utama dalam penerapan sistem ekonomi Islam yang salah satunya ialah mengumpulkan zakat yang merupakan sumber utama pendapatan negara, serta harus didistribusikan kembali dengan tepat sasaran atau yang berhak menerimanya. Konsep zakat dalam islam merupakan solusi terbaik karena akan menolong orang yang tidak mampu yang ada di negeri tersebut baik muslim maunpun non muslim. Kesejahteraan sosial juga akan tercipta antar umat beragama. Hal ini dikarenakan Islam tidak mencampuri urusan akidah umat lain, tapi tetap memperhatikan kepentingan umum mereka.

Sistem Ekonomi Islam juga sangat menentang eksploitasi dari pemilik modal terhadap buruh, pekerja, atau orang yang miskin dan melarang penimbunan harta kekayaan oleh para penguasa. Sistem ekonomi ini bertujuan agar masyarakat bisa tetap melakukan kegiatan ekonomi dengan baik serta terhindar dari semua keburukan seperti riba, dzalim, ikhtikar, haram, dan lain sebagainya.

Inilah yang disebut sistem ekonomi terbaik di dunia karena telah terbukti mampu selama 13 abad membawa perubahan dan kesejahteraan pada masyarakat yang bernaung di bawahnya. Karena Islam pada hakikatnya adalah ideologi sekaligus agama yang rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi alam semesta ini tanpa terkecuali.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *