Mau Dibawa Kemana Output Pendidikan Kini?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Pani Wulansary (Pemerhati Sosial dan Politik)

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencanangkan dua kompetensi baru dalam sistem pembelajaran anak Indonesia.

Dua kompetensi tambahan itu adalah Computational Thinking dan Compassion.

Kurikulum 2013 pun akan dikaji kembali, hal ini disampaikan langsung oleh Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Awaluddin Tjalla, bahwa kedua kompetensi tersebut dianggapnya diperlukan untuk anak bangsa, pengkajian juga dilakukan dengan memformulasikan metode yang bisa mendekatkan dunia pendidikan dengan dunia kerja.

“Pak Nadiem menambahkan compassion dan computational thinking. Kami mencoba melakukan kajian pada kurikulum kita ketika Pak Presiden dilantik yaitu pembangunan SDM dan pendidikan salah satu core,” ujar Awaluddin, di acara Grow with Google di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (18/2/2020).

Perlu diketahui bahwa Computational Thinking merupakan aktivitas ektra kulikuler yang mengedukasi anak untuk memiliki kemampuan problem solving dalam era digital.

Hal ini dirasa mampu untuk meningkatkan kualitas SDM yang dibutuhkan di era digital.

Tak dapat dipungkiri bahwa suatu negara membutuhkan output yang mampu mencetak SDM yang dapat berguna bagi kemajuan pembangunan negara, namun kita juga tak dapat menutup mata bahwa masih banyak pekerjaan untuk membenahi pendidikan dari segi sistem pendidikan negara kita.

Pendidikan kini hanya difokuskan untuk mencetak kesuksesan SDM hanya sebagai para pekerja.

Ini sejalan dengan kondisi Indonesia yang menganut manajemen korporatokrasi yakni perselingkuhan paling haram yang terjadi antara birokrasi dan korporasi atau pengusaha, baik swasta atau individu bahkan bisa juga asing.

Ini adalah model negara dalam ideologi rusak kapitalisme yang saat ini di terapkan, termasuk dalam pendidikannya.

Pendidikan suatu negara membutuhkan biaya, para korporat memberikan modal kepada pemerintah, sebagai timbal baliknya program-program pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan korporasi.

Keuntungan jadi orientasi pendidikannya, membuat semua kebijakan pendidikan yang seharusnya mensejahterakan siswa dan mencetaknya menjadi generasi yang mampu berkarya ditengah umat malah semata untuk menguntungkan korporat.

Siswa yang harusnya mendapatkan ilmu yang dapat merubah hidupnya menjadi lebih baik, malah justru banyak yang berorientasi untuk mengejar pundi-pundi dengan menjadi bawahan asing yang memiliki perusahaan-perusahaan elit di negara ini.

Outputnya menjadi pekerja dan membuat para korporat semakin kaya.

Disatu sisi moral anak bangsa menjadi sorotan, sebab banyak penyimpangan, dan disisi lain pendidikan tak mumpuni membekali dan membentengi mereka dari jeratan pergaulan bebas.

Beginilah jadinya apabila mempertahankan manajemen korporatokrasi buatan manusia.

Dalam Islam menuntut ilmu itu wajib, seperti halnya dalam hadits riwayat Ibnu Abdil Barr: ” Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan.”

Kewajiban ini sekaligus menjadi hak bagi semua warga negara Khilafah Islam untuk mendapatkannya dengan mudah dan berkualitas, dengan standar tinggi Islam yang menempatkan Ilmu adalah cahaya “Al Ilmu An-Nur” yang berarti setiap orang yang berilmu akan semakin terang jalanNya untuk taat kepada Allah SWT.

Al hasil tujuan dari pendidikan itu sendiri adalah untuk semakin berprestasi dunia akhirat, seperti hal nya output yang dihasilkan oleh pendidikan di era Khilafah.

Sebutlah ia Ibnu Sina, seorang bapak kedokteran juga seorang sastrawan dan seorang yang ahli ilmu agama, atau seorang muslimah jenius seperti Maryam Al-Asturlabi penemu kompas, selain menghasilkan karya, mereka juga taat pada RabbNya.

Tujuan akhirnya adalah mendapat ridha Allah SWT.

Hal ini sangat berbeda dengan pendidikan yang ada pada sistem yang menganut manajemen korporatokrasi saat ini.

Kini hanya menempatkan tujuan pendidikan sebagai sarana untuk melanggengkan cengkraman para penjajah semata dan mengabaikan ibadah kepada Allah SWT.

Hal ini sangat berbahaya apabila tak di tuntaskan, sebab masa depan negara ini tergantung pada generasi penerus.

Apabila generasi penerus di cetak menjadi para pelayan para korporat, lalu mau sampai kapan negeri ini akan terus terjajah dan bergantung pada asing yang mencengkram negeri ini?

Tentu hal ini tidak akan pernah usai tatkala sistem yang diterapkan masih sistem demokrasi kapitalis, sebab hanya dengan sistem Islam dalam naungan Khilafahlah yang mampu mecetak generasi penerus yang mampu memajukan suatu negeri agar menjadi negara yang kuat dan mandiri.

[Wallahu’alam Bishawab]

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *