Masa Depan Suram Gen Z Terancam Pengangguran
Oleh: Tini
(Aktivis Mahasiswa)
Sungguh memprihatinkan, mayoritas penganggur di Indonesia ternyata kebanyakan dari kalangan generasi muda. Berdasarkan survei angkatan kerja nasional (Sakernas) pada Agustus 2023, jumllah pengangur di Indonesia berjumlah 7,86 juta orang dari total angkatan kerja sebanyak 147,71 juta orang. Mirisnya, mayoritas penganggur tersebut adalah penduduk usia 15-24 tahun atau bisa yang di kenal dengan generasi Z (Gen Z). Dengan jumlah pengangguran tersebut, tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Agustus 2023 adalah sebesar 5,32%. Dan pada tahun April 2024 ini Dana Moneter Internasional (IMF) pada World Economic Outlook merilis data tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 5,2% tertinggi dibandingkan 6 negara lain di Asean.
Tingginya jumlah pemuda yang menganggur merupakan hal yang berbahaya bagi perekonomian, bahkan bisa menjadi bom waktu secara demografi pada masa depan. Seharusnya para pemuda tersebut merupakan orang yang produktif sehingga bisa menanggung kalangan tua yang sudah tidak produktif. Namun nyatanya, para pemuda banyak yang menganggur yang justru menjadi beban bagi perekonomian. Baru- baru ini juga diperlihatkan video viral bedurasi 29 detik dimana ratusan pelamar kerja rela antre untuk melamar pekerjaan di sebuah warung seblak di sebuah kompleks pertokoan di Pasar Sindangkasih, Ciamis.
Ternyata video tersebut menunjukan kegiatan wawancara yang digelar oleh Warung Seblak Bangsat (Bang Satria) pada Jumas (17-5-2024). Warung seblak tersebut membutuhkan 20 krayawan, tetapi yang melamar sampai 200 orang. (Detik, 22-5-2024). Dari video tersebut jelas “menampar” pemerintah karena menggambarkan secara rill sulitnya mencari pekerjaan saat ini. Bahkan bagi generasi muda atau Gen Z, mencari pekerjaan amat sangat sulit. Jangankan pekerjaan “papan atas”, untuk bekerja di warung seblak saja sulit. Bisa dibayangkan, dari 200 pelamar, hanya 20 orang yang diterima. Artinya, 180 orang lainnya tentu harus memutar otak lagi untuk mencari pekerjaan. Setelah melamar ke sana ke mari tanpa hasil, banyak Gen Z akhirnya patah arang dan memilih menganggur saja.
Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan bahwa banyak Gen Z menjadi pengangguran karena lelah lamaran kerjanya terus ditolak. Faktor penolakan ini menjadi salah satu penyebab banyaknya anak muda Indonesia masuk dalam golongan tanpa kegiatan pendidikan, bekerja, dan pelatihan atau youth not in education, employment, and training (NEET).
Ada beberapa alasan yang membuat anak muda masuk ke kelompok NEET, seperti putus sekolah, disabilitas, kurangnya akses transportasi dan pendidikan, keterbatasan finansial, kewajiban rumah tangga, dan lainnya. Pemerintah menilai masih tingginya pengangguran di kalangan pemuda membuat daya saing pemuda belum mencapai posisi yang optimal. Salah satu penyebab tingginya tingkat pengangguran terbuka (TPT) pemuda adalah rendahnya daya saing pemuda di pasar kerja. (CNBC Indonesia, 15-5-2024).
Generasi muda tanpa kegiatan itu dikategori Gen Z, yaitu generasi yang lahir pada rentang 1997-2012, kini mereka berusia 12-27 tahun. Persentase generasi muda Indoensia usia 15-24 tahun yang berstatus NEET mencapai 22,25% dari total penduduk usia 15-24 tahun secara nasional. Artinya, dari 100 orang penduduk muda, ada 22 orang yang tanpa kegiatan. Generasi muda ini merasa putus asa karena berbagai penolakan yang mereka terima. Lantas mereka tidak percaya diri untuk lanjut melamar kerja sehingga tergolong NEET. (CNBC Indonesia, 21-5-2024).
Banyaknya pemuda yang menganggur tentu memprihatinkan. Mereka sedang berada pada puncak produktivitas sehingga seharusnya mendayagunakan seluruh potensinya untuk memenuhi kebutuhan dirinya, membantu orang tua, dan lebih-lebih adalah untuk memberi manfaat kebaikan bagi umat. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt
“Allahlah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudia dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan berubha.”
(QS Ar-Rum:54).
Sayangnya, kini potensi tersebut seolah terbuang percuma karena Gen Z tidak memiliki kesempatan untuk bekerja. Dampaknya tidak hanya pada kesejahteraan dirinya, tetapi juga pada para orang tua yang masih harus terus menanggung nafkah yang sebenarnya sudah dewasa dan bisa hidup mandiri. Banyak pemuda yang menganggur juga akan menjadi masalah bagi masyarakat karena berpotensi memicu maraknya kriminalitas.
Namun demikian, banyaknya pemuda tanpa kegiatan bukan semata disebabkan faktor diri Gen Z yang kurang tangguh sehingga mudah menyerah ketika mengalami penolakan demi penolakan. Faktor yang lebih dominan adalah kegagalan pemerintah dalam mencegah tingginya angka NEET. Kegagalan ini mewujud pada tiga hal, yakni
Pertama, negara gagal menyiapkan para pemuda untuk menjadi sosok yang berkualitas melalui sistem pendidikan. Seharusnya sistem pendidikan mampu membentuk para pemuda menjadi orang-orang yang memiliki keahlian tertentu untuk bekal mereka hidup. Selain itu, sistem pendidikan juga harusnya mampu membentuk mentalpara pemuda sehingga tidak mudah menyerah meskipun menghadapi berbagai tantangan dan hambatan.
Kedua, negara gagal menyediakan pendidikan tinggi yang terjangkau oleh setiap rakyat. Saat ini, tingginya UKT menjadi sorotan banyak pihak. UKT di kampus negeri naik secara gila-gilaan sehingga banyak pemuda yang gagal kuliah karena tidak mampu membayarnya.
Ketiga, negara gagal menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Pemerintah selama ini membanggakan proyek strategis nasional (PSN) bernilai triliun rupiah dengan klaim akan menyerap tanaga kerja, tetapi hasilnya ternyata minim. Nilai investasi tidak sebanding dengan lapangan kerja, padahal berbagai regulasi sudah dikepras melalui UU Cipta Kerja demi memuluskan investasi. Begitu juga dengan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ternyata juga gagal menjamin tersedianya lapangan kerja untuk anak negeri.
Sistem yang diterapkan di negeri ini ialah sekuler kapitalisme yang membolehkan penguasaan SDA untuk dikelola dan dikuasai oleh perusahaan, baik lokal, swasta, maupun luar negeri. Kondisi ini otomatis berakibat tenaga kerja tidak akan terserap karena penyediaan tenaga kerja diserahkan kepada mekanisme pasar. Selain itu, investasi yang dilakukan perusahaan-perusahaan ialah investasi padat modal, bukan padat karya. Imbasnya, masyarakat akan sulit mendapatkan lapangan pekerjaan.
Kemudian, faktor kemalasan individu, cacat atau uzur, serta rendahnya pendidikan menyumbang penyebab pengangguran. Sekitar 74% tenaga kerja Indonesia adalah mereka yang berpendidikan rendah, yakni SD dan SMP. Pada akhirnya, publik mengetahui jutaan Gen Z menganggur adalah buah dari sistem kapitalisme.
Terlebih lagi, saat ini terjadi polemik di tengah masyarakat terkait uang kuliah tunggal (UKT) yang makin melangit hingga anak bangsa sulit mengenyam pendidikan tinggi. Harapan dan mimpi anak bangsa harus tersandung UKT. Kampus yang semestinya menjadi tempat terbuka bagi setiap warga negara mendapatkan pendidikan, kini hanya bisa diperoleh yang berduit banyak saja.
Dari 3,7 juta pelajar lulusan SMA/SMK/MA, hanya 1,8 juta yang melanjutkan ke PTN/PTS. Hal ini karena biaya untuk masuk PTN tercatat mencapai Rp14,47 juta. Data ini didapatkan dari Agus Sartono selaku Deputi Menteri Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK. Masa depan generasi kian terkubur selama diurusi sistem kapitalisme.
Islam (Khilafah) sungguh-sungguh mempersiapkan pemuda menjadi generasi unggul, bukan generasi menganggur. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan negara. Pertama, Departemen Pendidikan menyelenggarakan pendidikan yang mampu menghasilkan para teknokrat dan saintis yang bersyahsiah Islam dan mampu mengelola SDA menjadi senjata canggih ataupun pesawat tempur yang modern. Biaya pendidikan dijamin oleh negara sehingga bisa rakyat nikmati dengan cuma-cuma.
Kedua, mendirikan sejumlah industri yang berhubungan dengan harta kekayaan milik umum. Banyak dari kalangan masyarakat, termasuk pemuda, yang diserap untuk bekerja di sejumlah industri tersebut. SDM unggul akan mengelola kekayaan milik umum sesuai aturan Islam dan kemaslahatan umum.
Ketiga, mencetak generasi sebagai pemimpin atau negarawan, bukan pengangguran. Departemen Pendidikan akan menyelenggarakan pendidikan di perguruan tinggi yang mampu mencetak para ulama, mujtahid, pemikir, pakar, pemimpin, kadi (hakim), dan fukaha.
Peran dan posisi pemuda dalam Islam sungguh sangat luar biasa. Pemuda merupakan tulang punggung yang membentuk komponen pergerakan. Mereka memiliki kekuatan yang produktif serta kontribusi tanpa limit. Suatu umat tidak akan runtuh selama ada pundak para pemuda yang memiliki kepedulian dan semangat membara. Peran inilah yang sekarang “dimandulkan” oleh sistem kapitalisme.
Sejatinya, pemuda Islam harus siap tampil di mana saja ketika tenaga dan kekuatannya dibutuhkan untuk berkorban pada Rabb-nya. Jika peradaban tidak memiliki pemuda, niscaya peradaban itu akan mati. Jika pemudanya lurus, peradaban pun akan lurus.
Umat membutuhkan sistem Islam dan kepemimpinan Islam (Khilafah) untuk menyelamatkan generasi dari kerusakan dan menganggur (tidak berdaya) akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme. Untuk itu mari kita bersama-sama untuk kembali menegekan Khilafah. Allahu Akbar. Wallahu a’lam bishaswab.