Maraknya Judi, Akibat Aturan Santai Ala Sekuler

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rumaisha 1453 (Aktivis BMI Kota Kupang)

Tidak berhasil orang-orang yang telah berhasil kecuali dengan adanya adab. Dan tidak gagal orang yang gagal kecuali karena buruknya adab. Begitulah urgennya seseorang harus memiliki adab sebelum berilmu. Dalam hal memangku sebuah jabatan juga diperlukannya adab. Menjadi beradab harus dilakukan dengan dua ketentuan yaitu niat yang lurus, dan sesuai dengan hukum syara’.

Melihat realita hari ini, banyak orang yang berilmu hingga mendapat gelar yang tinggi, akan tetapi tidak memiliki yang namanya adab. Hal tersebut banyak dijumpai di Negeri yang dijuluki sebagai “Macan Asia Yang Tertidur”. Bagaimana mau bangun, jika yang mengelolah negeri ini banyak yang tidak beradab. Lagi-lagi ASN di Manggarai Timur terlibat judi. Kali ini enam tersangka diserahkan ke Polsek Borong, dengan barang bukti berupa uang senilai Rp. 1.250.000, 2 pak kartu berwarna merah, dan biru yang masing-masing berjumlah 32 lembar. (https://voxntt.com, 16/07/2020).

Pada tahun 2019 lalu, 3 Aparatur Sipil Negara (ASN) telah diberhentikan karena kasus yang sama yaitu perjudian. Hal ini disampaikan langsung oleh Kepala BKD Manggarai Timur, Yustina Ngidu bahwa surat pemberhentian sudah ditandatangani Bupati Manggarai Timur. Pemberhentian ini karena sesuai dengan ketentuan Pasal 88 ayat (1) huruf c UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, dan beberapa pasal lainnya. (https://florespos.co.id, 30/10/2019).

Mangapa semua ini bisa terjadi, bahkan berulang? Lagi-lagi karena ini adalah salah satu bagian dari cacat bawaannya sistem kapitalis-sekuler. Sistem hari ini memberikan peluang bahkan kemudahan masyarakat untuk melakukan pelanggaran hukum syara’. Dengan aturannya yang dibuat oleh manusia, dan bisa berubah kapan saja. Sehingga masyarakat hari ini tidak lagi memikirkan apakah perbuatan tersebut tercela ataukah tidak? Tetapi yang dipikirkan adalah materi dan manfaat belaka.

Bukan hanya itu yang menjadi landasan masyarakat atau ASN sekalipun bisa berjudi. Karena mungkin kebutuhannya hari ini tidak terpenuhi dengan baik. Mereka berjudi untuk menambah pemasukan untuk kebutuhan-kebutuhan dirinya dan orang yang dibawah tanggungannya. Karena ditengah pandemi seperti ini masyarakat kesulitan dalam mendapatkan pemasukan tambahan. Akan tetapi jika dikembalikan pada Islam, hukum berjudi tetaplah haram. Semua ini menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat terjadi wabah.

Sebelum terjadinya wabah saja, penguasa sudah melepas tangan untuk mengurusi hajat hidup masyarakat, apalagi saat wabah. Karena dalam keadaan negara yang tidak normal seperti ini yang dipikirkan adalah bagaimana caranya memulihkan kembali perekonomian yang kian rusak diakibatkan wabah. Hal ini berbeda jauh dengan penguasa yang ada didalam negara Islam. Islam mengusahkan agar setiap individu terpenuhi kebutuhan pokonya dengan berbagai cara, seperti menyediakan lapangan pekerjaan, dll. Serta hajat hidup masyarakat ditengah wabah ditanggung oleh pemerintah. Bukan hanya itu saja, akan tetapi dalam negara Islam kebutuhan untuk pendidikan, kesehatan, dan keamanan tidak dipungut biaya.

Dalam Islam juga terdapat juga hukum pidana yang sangat mengikat masyarakat. Sehingga hukum pidana Islam ini akan menjauhkan masyarakat dari perbuatan tercela seperti berjudi. Dalil hukum yang mengatur tentang sanksi hukum berjudi diungkapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an secara bertahap tentang status hukumnya yaitu didalam surah al-Baqarah ayat 219, dan surah al-Maa’idah ayat 90-91. Dari ketiga ayat ini dapat dilihat bahwasannya judi adalah perbuatan keji yang diharamkan Islam. Judi juga bisa membuat orang-orang menjadi malas berusaha, dan tentunya perbuatan maksiat ini akan menjauhkan seorang hamba dari Sang Pencipta.

Ketentuan-ketentuan pidana perjudian menurut Islam adalah bentuk jarimah ta’zir. Pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah ta’zir sebab setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban kafarat harus di ta’zir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak Allah atau hak manusia. Hakim diberikan kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman yang sesuai dengan jenis tindak pidana ta’zir, serta keadaan si pelaku. Meskipun demikian, hukum Islam tidak memberi wewenang kepada penguasa atau hakim untuk menentukan tindak pidana yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat, dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash, serta prinsip umum hukum Islam.

Dari uraian diatas terlihat bahwa tidak ada satu kejahatan pun yang tidak dikenakan sanksi atau hukuman. Akan tetapi hukuman yang berdasarkan perintah syara’ tidak lain dan tidak bukan untuk kemaslahatannya manusia. Seperti halnya hukuman ta’zir yaitu hukuman yang ringan atas pelanggaran yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadist. Akan tetapi disyariatkan oleh Rasulullah yang artinya: Dari Abu Burdah Al-Anshari r.a., katanya dia mendengar Rosulullah SAW bersabda: “seseorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina, dan sebagainya.” (HR Muslim).

Demikianlah kesempurnaan dari hukum dan aturan Islam jika diterapkan. Hukum yang berasal dari sang Pencipta yang akan menjaga akal, harta, jiwanya manusia. Semua aturan Islam memuaskan akal, menentramkan jiwa, dan pastinya sesuai dengan fitrahnya manusia. Mari berjuang bersama menyadarkan umat, untuk mau mengembalikan aturan Islam agar bisa diterapkan dalam semua lini kehidupan. Sehingga semua problematika hari ini akan dikembalikan kepada Allah dan Rosul, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “…Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya…” (TQS. An-Nisa:59).

WalLahu a’lam bi ash-shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *