Marak Perkawinan Anak, Menggugat UU Perkawinan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Nadya Musmiatin (Aktivis Mahasiswa)

 

Isu perkawinan anak masih terus bergulir, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi perkawinan anak menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan dimana 1 dari 4 atau 23% anak perempuan di Indonesia menikah pada usia anak. Setiap tahun sekitar 340 ribu anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun. Pada 2017, persentase perkawinan anak sudah mencapai 25,17%. Jika dilihat dari sebaran wilayah, maka terdapat 23 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas angka nasional.

 

Dari catatan di atas mengingatkan bahwa negara harus hadir dengan upaya strategis dan lebih masif dalam merespon hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengujian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai batas usia anak dan memutuskan batas minimal usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya 16 tahun.

 

Direktur Eksekutif Plan Indonesia Dini Widiastuti memaparkan data bahwa pada Januari-Juni 2020 setidaknya terdapat 33.664 dispensasi usia menikah yang dikabulkan di seluruh wilayah Indonesia. Angka itu, kata dia, merujuk pada data yang dihimpun Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung.

 

Sedangkan, sekitar 64.000 anak perempuan Indonesia di bawah umur dikawinkan pada masa pandemi tahun 2020 lalu, menurut data Komnas Perempuan. UU Perkawinan telah direvisi, tapi masih ada ‘celah’ yang memungkinkan pernikahan warga di bawah 19 tahun. (cnnindonesia.com, 13/02/21).

 

Kampanye anti pernikahan anak sudah sejak lama dikampanyekan di negeri ini yang didukung oleh kelompok liberal, hal ini sejalan dengan agenda global PBB bahwa hak anak harus dijaga. Semua anggota PBB termasuk Indonesia, telah menyepakati konvensi hak anak yang mana anak di definisikan sebagai orang yang berusia dibawah 18 tahun, sehingga menikah di usia 16 tahun tidak diperbolehkan karena masih termasuk dalam usia anak-anak.

 

Berbagai alasan di ungkapkan untuk menyukseskan kampanye anti pernikahan anak ini, diantaranya karena melanggar hak anak, dianggap mendiskriminasi perempuan dan berbahaya bagi kesehatan reproduksi. Pernikahan anak ini juga dianggap menghasilkan keluarga yang tidak harmonis karena tidak adanya kesiapan mental bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia.

 

Padahal jika kita lihat faktanya ketidakharmonisan rumah tangga juga bisa terjadi pada pernikahan usia dewasa, sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa problem sebenarnya bukan terletak pada usia pernikahan. Karena itu revisi UU pernikahan anak yang mengatur batas usia minimal anak boleh menikah bukanlah solusi. Usia yang dewasa juga tidak menjamin kesiapan ilmu dan mental yang mana hal tersebut sangat dibutuhkan dalam berumahtangga.

 

Kita harus memahami isu sejenis ini sejatinya hanya untuk melegitimasi kebijakan sekuler yang terbukti bahkan menimbulkan beragam persoalan baru. Kita lihat saja, pada saat yang sama pemerintah bahkan masih membuka kran pergaulan bebas selebar-lebarnya. Padahal, pergaulan bebas inilah awal dari perzinahan dan perselingkuhan yang menyebabkan rusaknya keharmonisan rumah tangga. Hal ini terjadi tentu bukan tanpa alasan, sistem kapitalisme yang diterapkan bukan sebagai solusi tapi malah melahirkan persoalan-persoalan baru.

 

Jika hal tersebut terus berlangsung dan kampanye global anti pernikahan dini dibenarkan, sebenarnya sama saja dengan mengatakan bahwa hukum-hukum Allah tidak relevan dengan zaman. Oleh karena itu larangan untuk anak-anak menikah dini dan dispensasi nikah bukanlah solusi yang dibutuhkan oleh anak, akan tetapi yang dibutuhkan oleh anak adalah pemberlakuan sistem pendidikan islam agar generasi siap memasuki gerbang keluarga. Kesiapan ilmu dan mental hanya bisa didapatkan dalam sistem pendidikan Islam.  Hal tersebut bisa dicegah dengan diterapkannya sistem pergaulan islam.

 

Sistem pendidikan islam dan sistem pergaulan Islam saat ini hanya bisa diterapkan pada skala individu dan keluarga saja, sedangkan pada skala negara hanya bisa diterapkan jika sistem yang diterapkan adalah sistem Islam, bukan sistem kapitalisme seperti saat ini.

Wallahu ‘alam bish shawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *