Makin Buntung di Era Disrupsi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Linna Soraya

Disrupsi Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi problematika baru dibidang ketenagakerjaan dalam beberapa tahun terakhir. Bayang-bayang akan pemberhentian kerja seketika menghantui para tenaga kerja hampir diseluruh sektor usaha. Inilah bahaya laten yang dilahirkan dari revolusi industri 4.0 yang mau tidak mau harus dihadapi.

Menurut definisi World Economic Forum yang dilansir melalui CNN Indonesia, revolusi industri 4.0 adalah disrupsi teknologi internet ke dalam proses produksi agar proses pengolahan barang dan jasa bisa lebih efisien, cepat, dan massal. Hal ini ditandai dengan penggunaan teknologi robotik, rekayasa intelektual, Internet of Things (IoT), nanoteknologi, hingga sistem yang disebut sistem komputasi awan (cloud computing).

Perkembangan Industri ini memunculkan bahaya serius bagi status SDM sebagai salah satu subjek operasional industri saat ini, karena dengan berubahnya fokus model bisnis di masa depan yang serba digital dan robotik, maka artinya akan banyak lapangan pekerjaan yang hilang dan hal tersebut telah dirasakan dalam beberapa tahun terakhir.

Menghadapi era disrupsi dan trend digitalisasi ini, banyak perusahaan mengaku terpaksa melakukan efisiensi, salah satunya dengan memangkas jumlah karyawan. Tidak tanggung-tanggung, jumlah pemecatan massal yang dilakukan berbagai perusahaan mencapai ribuan karyawan. Seperti dilansir Media Indonesia (15/02/2020), Director & Chief of Human Resources Indosat Ooredo, Irsyad Sahroni telah mengakui bahwa PT Indosat Tbk telah melakukan PHK kepada 677 karyawannya. Selain Indosat, Krakatau Steel (KS), seperti diberitakan DetikFinance (17/2/2020), juga melakukan hal yang sama, 1300 karyawannya dikenakan PHK massal. Jumlah itu terdiri dari karyawan organik dan outsourcing. Langkah ini disebut sebagai upaya KS untuk restrukturisasi perusahaan. Beberapa pekerja outsourcing mulai mengadu ke Disnaker Kota Cilegon. Begitu juga yang terjadi pada startup unicorn kebanggan Indonesia yakni Bukalapak yang telah melakukan PHK kepada ratusan karyawannya. Seperti yang dikutip CNN Indonesia, Ahmad Zaky sebagai pendiri bukalapak mengatakan PHK massal ini dilakukan guna mewujudkan ambisi agar perusahaan balik modal (break even point/BEP) hingga mendapatkan keuntungan. Badai PHK tentunya tidak hanya terjadi di 3 perusahaan diatas saja, masih banyak perusahaan lain seperti NetTV, OLX, hingga beragam pabrik perusahaan manufaktur pun melakukan aksi pemangkasan karyawan.

Bila badai PHK sudah melanda dari sekarang, lantas bagaimana nasib para tenaga kerja di era otomasi beberapa tahun kedepan?. Berdasarkan hasil riset McKinsey Global Institute yang dipublikasikan pada September 2019 lalu, pada tahun 2030 Indonesia akan memasuki era otomasi 16 persen aktivitas pekerjaan, hal ini berimbas pada hilangnya pekerjaan bagi sekitar 23 juta pekerja. Meskipun begitu, menurut riset yang sama, era otomasi juga akan membuka puluhan juta jenis lapangan pekerjaan baru. (WartaKota 13/10/2019).

Permasalahannya, Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus lalu jumlah penduduk bekerja Indonesia berjumlah 88,43 juta. Hanya saja, 40,69 persen diantaranya hanyalah lulusan Sekolah Dasar (SD). Kemudian sebanyak 22,4 juta orang atau 18,09 persen penduduk bekerja merupakan lulusan SMP. Intinya hampir separuh tenaga kerja Indonesia bukanlah kaum akademisi yang tentunya tidak terpapar digitalisasi dan tidak memiliki daya saing untuk menghadapi perubahan kerja ke era otomasi.

Inilah pil pahit yang harus ditelan oleh masyarakat ketika pemerintah terlalu mengandalkan sektor swasta sebagai penyerap tenaga kerja. Faktanya, perusahaan swasta pastilah berorientasi profit sehingga jika perusahaan mengalami perlambatan ekonomi maka sudah pasti berbagai jalan akan ditempuh untuk menyelematkan diri, termasuk salah satunya dengan melakukan efisiensi karyawan. Sebagaimana prinsip dalam sistem kapitalis, yakni para pemilik perusahaan hanya akan mengeluarkan modal sekecil-kecilnya demi memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Maka jelas sudah, dengan konsep seperti ini rakyat akan selalu menjadi pihak yang dirugikan.

Seharusnya negara lah yang mempersiapkan lahan pekerjaan bagi para tenaga kerja di era digitalisasi ini dengan melakukan beragam inovasi dan mengeluarkan kebijakan yang bermanfaat untuk menyerap tenaga kerja.

Dalam Islam, pengaturan ketenagakerjaan menjadi salah satu sektor yang di-riayah oleh negara, karena bagaimanapun negara berkewajiban mengurus dan menjamin keberlangsungan hidup rakyatnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya.” (HR Bukhari-Muslim)

Maka dalam daulah Islamiyah, negara akan berperan aktif mengelola seluruh sumber daya alam sebagai pemenuh kepentingan umum, bukan diserahkan kepada korporasi seperti yang terjadi saat ini. Negara akan melakukan koordinasi terpusat dan menyelaraskan sektor pendidikan dengan potensi ekonomi di seluruh area negara sehingga lulusan akademisi akan disalurkan pada sektor-sektor pekerjaan yang dibutuhkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat dan menunjang pertumbuhan ekonomi negara.

Konsep baitulmal dalam Islam akan memungkas praktek ekonomi ribawi hingga ke akarnya, bantuan modal tanpa bunga untuk individu-individu produktif akan dijamin oleh negara, bahkan bisa juga dalam bentuk hibah atau hadiah. Intinya negara akan terjun secara penuh mengurus kesejahteraan rakyatnya.

Begitulah sempurnanya Islam dalam mengatur kehidupan manusia. Bagaimana tidak, Islam adalah satu-satunya aturan kehidupan yang Allah syariatkan untuk manusia. Hanya dengan menegakan kembali aturan Islam lah manusia bisa kembali meraskan kemuliaan. Bukankah semua penderitaan yang kita rasakan ini cukup membuktikan, betapa sengsaranya hidup jika dipisahkan dari aturan Islam.

Wallahu ‘alam bishowab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *