Oleh: Muji Budi Lestari, S.Pd. (Aktivis muslimah)
Sebagai rakyat jelata, tentu kita patut bertanya-tanya. Kapan wabah Corona ini akan berakhir? Sampai kapan kita harus belajar dan mengajar daring yang tak hanya membuat anak pusing tapi para guru dan orang tua pun darting. Hingga hari ini kasus Covid19 kian bertambah. Di Makassar, tribun-timur.com (12/08) melaporkan bahwa ibukota provinsi Sulawesi Selatan ini masuk 9 daerah dengan kasus aktif Covid19 lebih dari 1.000. Penjelasannya menurut Tim Pakar Satgas Penanganan Covid19, Dewi Nur Aisyah bahwa mayoritas daerah tersebut adalah kawasan perkotaan dengan mobilitas masyarakat yang tinggi. Sehingga protokol kesehatan wajib untuk tetap dijaga, karena itulah pemerintah membuat berbagai kebijakan guna menangkal penyebaran corona. Dalam hal pendanaan, anggaran pun telah dipersiapkan begitu berlimpah. Mediaindonesia.com (16/06) melaporkan bahwa Pemerintah Kota Makassar mengalokasikan anggaran sebesar Rp236 miliar untuk penanganan virus corona. Namun itu belum dimanfaatkan 100%.
Salah satu kebijakan yang menuai kontroversi itu ialah saat bepergian diharuskan mengantongi surat keterangan bebas Covid19. Pemerintahpun mengadakan pemeriksaan surat keterangan itu di batas kota Makassar. Hal ini dilakukan oleh pemerintah kota sejak 14 Juli hingga 3 Agustus 2020. Namun kebijakan tsb tak luput dari kontroversi. Beberapa anggota dewan kota Makassar menilai surat bebas Corona itu hanya membebani masyarakat. Seperti ucapan Kasrudi anggota Fraksi Gerindra yang dikutip kabar.news (28/07) mengatakan, dari awal ia tidak pernah sepakat dengan adanya pemeriksaan surat keterangan itu. Menurutnya tidak semua warga diperiksa. Waktunya pun hanya pagi dan sore. Anggota dewan yang lain menyebutkan pemeriksaan tsb hanya akan memperpanjang beban warga secara psikologis dan materi.
Tak lama kebijakan tsb dicabut oleh pemerintah kota. Hal ini didasari oleh dua alasan. Dalam wawancara oleh makassartoday.com (03/08) Asisten I Pemkot Makassar, M Sabri yang merupakan ketua Satgas Penegakan Disiplin Gugus Tugas Covid19 Kota Makassar, mengatakan alasan pertama dihentikannya pemeriksaan suket di batas kota karena warga telah patuh. Sebelum masuk Makassar, warga yang berasal dari daerah lain telah mengantongi surat keterangan yang menjadi syarat. Alasan kedua adalah masalah kemacetan.
Pada alasan kedua memang cukup logis. Akan tetapi jika melihat pada alasan pertama, hal ini perlu dicermati seksama. Sindonews.com (23/06) menuliskan hasil survei yang dilakukan tim Gugus Tugas Covid19 Sulsel untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat. Hasilnya ternyata masyarakat di Makassar, Lutim, Maros, dan Gowa tingkat kesadaran dan keinginan untuk menjalankan protokol kesehatan hanya sekitar 65-70%. Artinya alasan pemerintah menghentikan pemeriksaan suket ini bukan semata-mata karena kepatuhan tetapi karena faktor lain. Dan hanya pemerintah kota Makassar lah yang mengetahuinya.
Di sisi yang lain, kita juga menyaksikan, masyarakat belum siap hidup lebih sehat, lebih bersih, lebih taat dan lebih disiplin. Berita tentang pembangkangan masyarakat terjadi dimana-mana. Kita sering dapati, masyarakat dengan santainya mengabaikan protokol kesehatan. Ramai-ramai menolak rapidtest gratis dari pemerintah. Ketika dalam dirinya terasa gejala, mereka pun menolak untuk memeriksakan diri ke layanan kesehatan. Adapula sebagian yang menolak anggota keluarganya dimakamkan dengan protokol Covid19, bahkan perampasan jenazah secara paksa juga terjadi.
Apakah ini pertanda bahwa Makassar telah nyaman dalam dekapan Corona? Ataukah memang karena lalainya kita atas teguran Sang Maha Kuasa sehingga Corona tak jua pergi meninggalkan kita. Maka perlu kiranya setiap individu, masyarakat, serta pejabat dan seluruh elemen negara ini muhasabah. Telah banyak kritik, masukan, dan nasehat dari berbagai pihak untuk para penguasa. Mulai dari kritik atas kecerobohan terhadap sumber wabah, dengan tidak melakukan lockdown total atas alasan ekonomi. Juga ketergantungan pada WHO yang merupakan arahan pemerintah pusat. Juga kelabilan dalam menetapkan kebijakan untuk pencegahan dan penyembuhan pasien.
Semua kritik itu telah disampaikan oleh para ahli dengan harapan agar semuanya bersinergi demi rakyat. Sayangnya berbagai kritik dan masukan itu justru membuat penguasa bingung menentukan sikap. Tak heran, karena memang dalam sistem pemerintahan demokrasi kapitalistik tidak ada aturan baku untuk menghadapi berbagai situasi, apalagi ketika mengalami wabah yang sebelumnya tidak pernah diprediksi. Faktor ekonomilah yang menjadi patokan utama dalam menetapkan kebijakan. Dan rakyat yang tercekik secara ekonomi pun tak luput dari sikap demikian. Seolah hanya ekonomi yang membuat mereka bertahan hidup. Padahal kita semua adalah orang yang beriman. Kita yakin bahwa rezeki sudah ditentukan Allah SWT. Mencari Rezki bukan berarti menomorduakan kesehatan. Apalagi sampai meninggalkan aturan agama. Agama memerintahkan kita untuk menghindarkan diri dan orang lain dalam bahaya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah yang berbunyi: “laa dhoror walaa dhiror”. Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain. Juga firman Allah SWT dalam Al-Qur’an: “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya.” (TQS Al-Baqarah: 233)
Maka inilah saatnya Makassar, Indonesia dan dunia seluruhnya segera berlepas diri dari sistem demokrasi kapitalistik ini. Saatnya kita beralih kepada syariat Islam. Sebab Islam memiliki kekayaan konsep dan solusi atas masalah kehidupan yang cemerlang dan bersifat praktis. Terpancar dari akidah Islam yang sahih dan mengalir dari telaga kebenaran Al-Quran dan Sunnah. Bahkan pelaksanaan syariat Islam dalam tataran kenegaraan telah teruji di seluruh penjuru dunia selama ratusan tahun. Rahmat/kesejahteraan bagi seluruh makhluk, adalah janji yang pasti dari Allah subhanahu wa ta’ala, bagi siapa saja yang mengikuti syariat Islam. Sebagaimana firmanNya: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (TQS Al An-Anbiyaa: 107).
Dalam Islam, ada empat pilar yang menjadikan kebijakan pemerintah tidak labil dan betul-betul mensejahterkan. Pertama, kedaulatan hukum hanya ada pada pembuat syariat, yakni Allah SWT. Artinya, negara hanya boleh menerapkan hukum-hukum berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah Inilah wujud menjadikan kedaulatan hanya pada Allah SWT. Sebagimana firmanNya: “Katakanlah: “Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”. (TQS Al an’am: 57)
Kedua, kekuasaan adalah milik rakyat. Rakyatlah yang berhak dengan ikhtiarnya memilih penguasa yang akan memimpin mereka dengan aturan-aturan Allah SWT. Adapun jika ada konflik antara penguasa dan rakyat maka harus dikembalikan kepada syariat Islam. Sebagimana firmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (TQS An-Nisa: 59)
Ketiga, hanya pemerintah pusat yang berhak mentabbani/mengadopsi hukum. Ia wajib berijtihad untuk keseragaman hukum. Pemerintah pusat dalam konteks fiqih Islam ini disebut dengan istilah Imam atau Khalifah atau Amirul mukminin. Ia berhak mengadopsi salah satu pendapat sebagai hukum yang berlaku umum, di luar dari aturan ibadah atau ritual. Sebab aturan ibadah dan ritual dikembalikan kepada mazhab masing-masing. Dalilnya adalah kesepakatan para sahabat serta kaidah syariah yang digali dari sumber-sumber syariat, seperti: “Perintah Imam menghilangkan perbedaan pendapat.”
Keempat, wajib adanya satu kepemimpinan untuk semua. Berdasarkan hadits Rasulullah saw. melalui penuturan Nafi’ dari Abdullah bin Umar ra. yang berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan (kepada imam/Khalifah/amirul mukminin), maka ia pasti menjumpai Allah pada Hari Kiamat nanti tanpa memiliki hujjah. Siapa saja yang meninggal, sementara di pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati seperti mati dalam keadaan jahiliah (berdosa).” (HR Muslim).
Inilah yang menjadi rahasia di balik kekuatan dan kokohnya sistem pemerintahan Islam. Insyaallah ini tidak lama lagi akan tegak kembali. Dengan izin Allah, negara yang melaksanakan syariat Islam kaffah ini akan segera menggantikan sistem pemerintahan berbasis ideologi Kapitalisme yang telah sekarat, yang akhir-akhir ini marak dikecam rakyat. Terlebih dengan adanya Corona ini semakin menunjukkan bahwa sistem demokrasi kapitalistik telah gagal memanusiakan dan mensejahterakan manusia. Corona telah menjadi bukti betapa lemahnya manusia di hadapan makhluk Allah yang bahkan tak kasat mata. Corona telah meluluhlantakkan kehidupan demokrasi kapitalistik yang kini telah berada di jurang resesi global. Marilah masyarakat Makassar segera kita lepaskan dekapan Corona dengan kembali kepada syari’at Islam kaffah dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara.(*)