Mahasiswa Terapapar Ekstremisme, Benarkah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

oleh: Riris Dwi (Aktivis Pergerakan Mahasiswa di Surabaya)

 

Belakangan ini isu radikalisme ramai diperbincangkan di negri ini. Ranah pendidikan pun menjadi salah satunya. Hari ini framing ekstrimis kerap juga dilekatkan pada mahasiswa. Hal ini juga turut didukung oleh pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi ekstrimisme yang mengarah pada terorisme. Pasaran ya banyak suara kritis dari mahasiswa yang bermunculan untuk mengkritisi kebijakan dari rezim hari ini.

Pemuda hari ini digiring untuk meniru lifestyle Barat dan berorientasi dalam setiap aktivitas yang matrealistik. Hari ini juga banyak tuduhan-tuduhan yang mengarahkan pada mahasiswa yang di stigma radikal. Namun sesungguhnya parameter apa yang digunakan untuk menilai sebuah tindakan radikal atau ekstremis pada mahasiswa? Pasalnya hingga saat ini definisi radikal semuanya hanya tuduhan semata, yang yang justru ada motif tuduhan tersebut di permintaan terhadap mahasiswa yang mempunyai tingkat kekritisan tinggi.

Jika dilihat lebih jauh, persoalan yang menyerang bangsa ini tentu perlu penyelesaian yang matang. Mulai dari persoalan covit-19 yang hingga kini tak kunjung selesai. Justru hal ini menunjukkan fakta bahwa bangsa ini tak ada permasalahan dengan radikalisme dan ekstrimisme. Begitu pula dengan dunia kampus, yang saat ini sedang dicengkeram oleh sebuah permasalahan besar. Berada dalam cengkraman korporasi dan juga peradaban sekuler. Maka wajar jika arah output dan pendidikan di negeri ini tidak digunakan untuk kepentingan masyarakat secara luas, tapi diperjualbelikan sesuai dengan kepentingan korporasi. Maka ilmu hari ini menjadi barang yang sangat mahal harganya. Karena pendidikan hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang berduit.

Sebagai seorang pemuda Muslim yang meyakini Islam dan agama rahmatan bagi seluruh alam, harusnya ajaran Islam yang menjadi rahmat dan menyelamatkan mahasiswa dan manusia dari kerusakan. Seharusnya sebagai seorang muslim hanya bergantung dan berharap pada aturan sang pencipta, yaitu syariat Allah. Karena syariat Allah yang akan memberhentikan propaganda buruk dan fitnah jahat, yang jelas-jelas anti Islam. Ketika mahasiswa mengaku dirinya sebagai seorang muslim yang mengimani Allah dan RasulNya, tentulah wajib untuk mengambil semua syariat Allah tanpa terkecuali. Tak patut jika menjauhi atau meninggalkan sebagian syariat Allah, diambil sebagian dan ditinggalkan sebagian.

Melainkan harus mengambil secara keseluruhan semua syariat Allah untuk diterapkan dalam bingkai kehidupan. Jadi, tentulah sebagai mahasiswa yang kritis, haruslah tidak ikut memuluskan aksi propaganda anti Islam, karena akibatnya umat Islam akan takut dengan agamanya sendiri. Sehingga sebagai umat Islam, harus menjauhkan tindakan framing dan pelabelan ekstrimis terhadap setiap muslim.
Wallahu’alam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *