Oleh: Ririn Hidayati (Praktisi Pendidikan)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran tentang pelarangan mahasiswa untuk tidak ikut aksi demo Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja resmi. Menanggapi hal tersebut, Satriawan Salim selaku Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) mengatakan, seharusnya Nadiem Makarim memberikan apresiasi kepada para mahasiswa. (https://tasikmalaya.pikiran-rakyat.com/11102020)
Dari berita diatas sangat jelas, berbagai upaya dilakukan untuk membungkam suara mahasiswa yang hendak berteriak keadilan. Suara yang mencoba mewakili para buruh di negeri ini yang sedang menerima ketidakadilan melalui disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja (UU Ciptaker) ini. Omnibus Law ini sebagai bentuk payung hukum atas tindakan para kapitalis serakah. Melalui pasal-pasal dalam UU Ciptaker ini banyak yang menuai kontroversi. Salah satunya tentang tidak adanya kejelasan waktu dalam kontrak kerja, yang ini membuka peluang licik menjadikan nasib para buruh yang terikat kontrak bisa saja selamanya menjadi kontrak. Akhirnya disini sebelah pihak saja yang diuntungkan. Yaitu para kapitalis penghisap keringat buruh. Buruh mati-matian bekerja, namun tidak ada kejelasan status sebagai pegawai tetap, sehingga korporasi kapitalis hanya mengupah rendah dengan alasan bukan pegawai tetap.
Fakta inilah yang menggerakkan para mahasiswa untuk membawa jeritan buruh, yang tidak lain buruh itu berasal dari masyarakat pada umumnya, sanak keluarga, bahkan orang tuanya sendiri. Sehingga hal ini membakar jiwa mahasiswa untuk menyuarakan dan turun ke jalan berorasi menyampaikan jeritan para buruh kepada penguasa. Namun sayang, penguasa sekaligus pengusaha, justru melihat perbuatan perjuangan itu tidak sevisi dengan mereka. Memang di alam demokrasi kapitalisme jika mahasiswa berpihak kepada rakyat pasti akan bergesekan dan berhadapan dengan penguasa sekaligus pengusaha (baca:kapitalis). Karena sedari awal, memang orientasi sistem demokrasi kapitalisme bukan kesejahteraan rakyat tapi keuntungan materi sebanyak-banyaknya.
Maka jalan perjuangan membela keadilan rakyat bukanlah jalan yang mulus. Berbagai ancaman, tantangan bahkan iming-iming diberikan untuk membungkam mahasiswa. Mahasiswa jangan gusar. Suarakan keadilan. Karena sejatinya masa depan negara dan bangsa ditentukan seperti apa kualitas pemudanya yakni khususnya mahasiswa. Berbagai ancama dan tekanan seperti drop out, skorsing, jangan menghentikan langkah perjuangan membela kebenaran dan keadilan. Dan jangan silau dengan iming-iming materi atas nama penelitian internasional yang menyita banyak fikiran dan energi mahasiswa hanya untuk mengalihkan mahasiswa terhadap memikirkan kondisi rakyat.
Berikan nafas keimanan pada perjuangan, sejatinya seorang ulama besar Imam Syafi’i berpesan sesungguhnya keberadaan pemuda hanya ditentukan oleh dua hal saja yaitu ilmu (intelektual) dan ketaqwaannya, jika salah satu atau keduanya tidak ada maka bertakbirlah empat kali. Eksistensi dan peran pemuda itu pasti dipertanyakan. Jangan sampai mahasiswa mengalami kondisi demikian. Mereka selain membawa amanah ilmu juga membawa amanah masyarakat sebagai agen perubahan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Perubahan yang seperti apa ? perubahan yang sesungguhnya tidak hanya sesaat. Yaitu perubahan kepada hidup yang menjadikan kita lebih bertaqwa. Meninggalkan aturan kehidupan ala demokrasi kapitalisme yang jauh dari kata manusiawi. Menjajah dengan aturan buatan para kapitalis serakah. Membawa hidup dalam kekacauan dan kesengsaraan. Padahal sesungguhnya aturan hidup itu selayaknya dikembalikan kepada Allah Sang pemilik kehidupan. Aturan syariat Islam dengan seperangkat aturannya mampu mencetak para intelektual muslim yang tidak hanya ahli dalam bidang keilmuan namun ilmunya juga tersalurkan untuk kemanfaatan kesejahteraan manusia pada umumnya. Tidak berorientasi materi atas ilmunya. Karena negara dalam pemerintahan Islam (khilafah) pada masanya terbukti memberikan apresiasi luar biasa bagi intelektual muslim dengan menghadiahkan emas batang seberat buku yang dituliskannya. Dan memberikan upah yang diatas kata layak untuk keringat dan jasanya para pekerja. Sebut saja pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab menggaji 31 juta rupiah perbulan untuk para tenaga pendidik (guru). Wallhu a’lam bi ash-shawwab