Luka Palestina Dapatkah Dihapus Hanya dengan Kecaman?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim

 

Hingga hari ini, Jumlah penduduk di Jalur Gaza yang tewas dalam serangan Israel ke Palestina yang berlangsung selama sebelas hari mencapai 232 orang, 65 di antaranya anak-anak. Sementara penduduk Gaza yang luka-luka mencapai 1.900 orang. Saat Dewan Keamanan PBB bersidang untuk membahas agresi Israel ke Palestina, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan kampanye di Gaza terus berlanjut dengan kekuatan penuh (detik.com).

Sementara itu, pertemuan luar biasa secara virtual oleh Komite Eksekutif Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada tingkat menteri luar negeri (menlu) dilaksanakan pada Ahad 16 Mei yang lalu. Pertemuan pada 4 syawal 1442 H ini diketuai oleh Arab Saudi yang mengumpulkan negara-negara Islam dan lainnya dalam mengecam agresi Israel terhadap Palestina. Pertemuan ini menghasilkan resolusi yang diadopsi oleh sesi biasa dan luar biasa KTT Islam dan Dewan Menlu. Secara historis, OKI melihat tanggung jawab, moral dan hukum umat Islam terhadap perjuangan Palestina dan Al Quds (republika.co.id).

Salah satu resolusi yang dihasilkan ialah mengutuk sekuat tenaga serangan biadab yang diluncurkan oleh Israel yang melawan rakyat Palestina dan tanah mereka dan situs suci, serta menuntut penghentian lengkap dan segera dari serangan yang mempengaruhi warga sipil yang tidak bersalah dan harta benda mereka.

Serangan brutal Israel ini jelas mengiris-iris rasa kemanusiaan kita terlebih dilalukan saat momentum bulan suci Ramadhan bahkan masih berlanjut hingga bulan syawal ini. Lantas apakah resolusi di atas membuahkan hasil yang maksimal? Melihat kejamnya perbuatan sang penjajah tentu menggerakkan nurani kita, apakah langkah yang diambil sudah tepat? Mengapa penjajahan tak kunjung usai walaupun seluruh dunia terlihat “melakukan pengecekan”?

Yang pertama, problem yang terjadi di tanah suci milik ummat Islam ini tak akan kunjung reda jika yang dilakukan hanya kecaman, terlebih di level para kepala negara. Kekuatan Israel yang di back up negara adidaya Amerika Serikat, tidak pantas hanya dihadapi dengan kecaman dan beragam resolusi.

Termasuk apa yang dilakukan negara Arab dan dunia Islam lewat OKI hanya menunjukkan pembelaan setengah hati. Biarlah kecaman demi kecaman kami lakukan dalam level masyarakat. Setingkat kepala negara harusnya bisa melakukan aksi nyata yang benar-benar mampu menghentikan serangan agresi militer Israel. Bukan malah mencari posisi aman dengan berdiri di atas politik dua kaki.

Kedua, umpatan dan kecaman terhadap Israel selama bertahun-tahun terbukti tidak menghentikan kebrutalan Israel. Sebaliknya, Israel justru semakin mendongakkan kepala dan yakin dunia internasional tak akan mampu melakukan tindakan konkret apapun untuk melawan mereka.

Ketidakberdayaan PBB dalam mengambil tindakan tegas terhadap Israel semakin mencoreng kredibiltas institusi global yang tidak mampu menghapuskan penjajahan di muka bumi.

Ketiga, problem krisis Palestina tak hanya bisa diselesaikan dengan menghapus eksistensi entitas Israel zionis dari tanah Palestina, melainkan membutuhkan kesatuan kekuatan politik dan militer. Namun seperti yang kita ketahui bersama, hingga saat ini, belum tampak keberanian dari para pemimpin negeri mayoritas muslim untuk memerintahkan armada militernya terjun langsung membela Palestina. Dan satu-satunya yang mampu mewujudkan hal ini hanyalah komando di bawah kepemimpinan Islam.

Kemudian yang keeempat, untuk benar-benar menghapuskan penjajahan di muka bumi ini, ummat dan dunia butuh tegaknya perisai yang mampu melindungi secara universal jiwa, darah, agama, maupun kehormatan kaum muslim, baik di Palestina maupun di negeri lain yang masih belum merasakan kemerdekaan. Perisai ini ialah Khilafah.

Tegaknya khilafah selama 1300 tahun pada periode sebelumnya, mampu memberikan keamanan dan ketentraman pada seluruh ummat, bukan hanya kaum Muslim tapi juga non Muslim. Hanya sistem yang berasal dari Sang Maha Pencipta lah satu-satunya obat sakitnya ummat saat ini.

Di bawah naungan perisai ummat yakni khilafah, seluruh Muslim menjadi satu tanpa perlu khawatir dengan adanya sekat wilayah di bawah bayang-bayang imperialisme. Sesuai sabda Rasulullah SAW, “Imam/Khalifah itu tak lain laksana perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Menjadi perisai bagi umat Islam, khususnya, dan rakyat umumnya, meniscayakan Imam harus kuat, berani dan terdepan. Bukan orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya, tetapi pada institusi negaranya. Kekuatan ini dibangun karena pondasi pribadi dan negaranya sama, yaitu akidah Islam. Inilah yang ada pada diri Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama dan para Khalifah setelahnya.

Umat Islam, Khilafah dan Khalifahnya sangat ditakuti oleh kaum Kafir, karena akidahnya. Karena akidah Islam inilah, mereka siap menang dan mati syahid. Mereka berperang bukan karena materi, tetapi karena dorongan iman. Karena iman inilah, rasa takut di dalam hati mereka pun tak ada lagi. Karena itu, musuh-musuh mereka pun ketakutan luar biasa, ketika berhadapan dengan pasukan kaum Muslim. Kata Raja Romawi, “Lebih baik ditelan bumi ketimbang berhadapan dengan mereka.” Sampai terpatri di benak musuh-musuh mereka, bahwa kaum Muslim tak bisa dikalahkan. Inilah generasi umat Islam yang luar biasa. Generasi ini hanya ada dalam sistem Khilafah.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *