Loyonya Sang Pengemban Da’wah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Hanun

Godaan terberat bagi pengemban dakwah adalah ketika malas menyerang. Malas memulai, malas bergerak, malas belajar, atau malas mengasah kualitas diri.

Bagaimanapun, pengemban dakwah hanyalah manusia. Sama seperti manusia lainnya, ada fluktuasi iman, pasang surut semangat, letupan-letupan emosi, dinamika suasana hati.
Tak jarang, aktivitas sehari-hari dipengaruhi pernak-pernik masalah pribadi. Membuat pengemban dakwah menjadi loyo, bagai harimau habis dicabut gigi.

Sudah sunnatullah perjuangan dakwah bukanlah jalan bertabur bunga yang wangi. Bukan seperti jalan tol yang lurus, mulus tanpa hambatan nan geradakan.

Rasulullah saw beserta sahabat pun menghadapi banyak ujian, rintangan, hambatan, kesulitan baik dari dalam diri ataupun dari luar. Lantas bagaimana ketika seorang pengemban dakwah loyo?
Tarik napas panjanglah sejenak. Refresh. Pejamkan mata lalu fokuskan fikiran pada tujuan. Untuk apa kita bersedia menjadi pengemban dakwah? Renungi, lalu carilah jawabannya.

Generasi para sahabat adalah generasi paling gemilang sepanjang sejarah. Mari kita mengenang sejenak. Tinta sejarah mengukir kesetiaan Abu Bakar Ash Shiddiq, dipatuk ular ketika menemani perjalanan hijrah baginda Nabi. Patukan ular tak lantas membuat Abu Bakar letih, lemah, lesu, loyo, dan lunglai?
Bercerminlah lewat kisah Mush’ab bin Umair. Pernahkah ada cerita Mush’ab bin Umair mendadak migrain saat mandat untuk menyampaikan risalah dakwah ke Madinah jatuh di pundaknya?

Adakah terdengar Hudzaifah ibnul Yaman, sang Intel Rasulullah Saw, tiba-tiba terkena serangan jantung ketika diutus menyelinap di tengah pasukan musuh demi menggali informasi? Atau pernahkan terkisah Ali bin Abi Thalib rebahan berhari-hari karena kelaparan melanda?

Para Sahabat adalah generasi terbaik pengemban dakwah dibawah gemblengan langsung Rasulullah Saw.
Sejatinya, mereka pun manusia biasa. Mereka pun punya berbagai keperluan memenuhi hajat hidup. Mereka harus menuntut ilmu, mencari jodoh, mencari nafkah, dan sebagainya.

Tak urung, malas pun terkadang menyerang para sahabat. Lewat senjatanya yaitu was-was dan lalai yang dihembuskan dalam dada.

Dikisahkan pada perang Tabuk, tiga orang sahabat yaitu Ka’b bin Mâlik, Hilal bin Umayyah dan Murarah bin ar-Rabi’ Radhiyallahu anhum tidak ikut berperang. Setibanya Rasulullah Saw dari Tabuk, para sahabat berbondong-bondong menyatakan udzur yang menyebabkan mereka tidak ikut serta dalam peperangan beliau. Sebagian orang munafik pun berbohong dengan alasan. Tetapi Ka’b bin Mâlik, Hilal bin Umayyah dan Murarah bin ar-Rabi’ menyatakan sejujurnya bahwa memang mereka tak punya udzur apapun.

Sanksi pun dijatuhkan atas mereka dengan pemblokiran oleh kaum muslimin. Tak seorangpun diizinkan berbicara kepada ketiga sahabat tersebut selama 40 hari lamanya. Hingga turun perintah Rasulullah Saw agar Ka’ab bin Malik menjauhi istrinya. Ka’ab pun patuh, mengembalikan istrinya pada keluarganya sampai sepuluh hari lamanya, hingga turun ayat, bahwa Allah SWT menerima taubatnya di hari kelima puluh.
Allâh Azza wa Jalla telah menurunkan wahyu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Surat At Taubah Ayat 117-119 :

“Sesungguhnya Allâh telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allâh menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allâh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allâh, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allâh menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allâh-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”

Jika para sahabat yang dilanda malas dan loyo dalam perjuangan harus menanggung konsekuensi dikucilkan selama lima puluh hari, tidakkah kita bisa mengambil pelajaran?

Mencoba memposisikan diri kita pada hari ini, seandainya dalam perjuangan dakwah Islam merasa malas, lemah, dan loyo. Apakah ada rasa penyesalan yang sangat pada diri kita sebagaimana sesalnya sahabat Ka’ab? Apakah sanggup kita menanggung sesak dan sempitnya hati saat dijauhi dan dikucilkan selama lima puluh hari oleh orang-orang tersayang?

Loyonya seorang pengemban da’wah berbanding lurus dengan naik turunnya kondisi keimanannya. Sebagaimana dikatakan Sahabat Abu ad Darda’RA,
يَنْقُصُ وَ يَزْدَادُ الإِيْمَانُ

Artinya: “Iman itu bertambah dan berkurang”

Para ulama mengidentifikasi beberapa penyebab naiknya keimanan seseorang antara lain adalah: membaca, Al Qur’an, mengkaji ilmu agama, mentafakuri ayat qauniyah maupun qauliyah, mengerjaiakan amal shalih dengan ikhlash. Adapun beberapa penyebab berkurangnya keimanan seseorang adalah: melakukan maksiat dan dosa, lalai (berpaling dari kebenaran), serta memperturutkan nafsu keburukan.
Pada kesempatan lain, Allah memberitahukan kepada kita indikasi sederhana apakah diri kita masih dalam kondisi keimanan atau tidak. Yakni seperti digambarkan di Surat Al-Anfal Ayat 2:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”

Maka, ketika seorang pengemban da’wah merasakan penurunan keimanan, sebaiknya ia segera melaksanakan amalan-amalan dan perbuatan yang akan meningkatkan keimanannya. Dan jangan lupa, untuk menyertakan selalu doa sebagai senjata ampuh untuk mengisi hari-hari kita agar terhindar keloyoan hati.

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami menyimpang kepada kesesatan, setelah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (Karunia).”
Wallahu a’lam bish shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *