Logika Terbalik Sang ‘Profesor’

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Chusnatul Jannah

Gelar profesor ternyata tak menjamin seseorang memiliki nalar berpikir yang lurus. Sepandai-pandsi profesor bila sudah mengutak-atik hukum yang sudah digariskan Allah, tak berarti apa-apa. Sebagaimana padi, makin berisi makin merunduk. Seorang intelektual tinggi semestinya makin berilmu makin menunduk pada Dzat Pemilik Ilmu. Karena ilmu yang dimiliki hanyalah setitik dari luasnya ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adalah Mahfud MD, Menteri Menkopolhukam kembali memberi pandangan ngawur bin ngelantur. Dalam Diskusi Panel Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia di Gedung PBNU Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (25/01), ia mengatakan haram meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad saw. Dengan alasan negara yang didirikan Nabi saw adalah negara teokrasi. Nabi saw memiliki tiga kekuasaan sekaligus yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Beberapa hal yang patut dikritisi dari pandangan Mahfud MD, diantaranya:
Pertama, cara berpikir liberal. Pemikiran ini selalu didasari dengan logika meski harus memlintir dalil. Selama dapat diterima logika, semua bisa berubah menjadi kebenaran. Sayangnya, pemikiran ini justru menghasilkan logika terbalik yang tak dapat diterima akal sehat. Mahfud menganggap negara yang didirikan Nabi saw adalah wujud otoritas Rasulullah saw sebagai utusan Allah. Jadi menurutnya, kita umatnya tak boleh meniru sistem pemerintahan Nabi saw karena hanya Nabi saja yang berhak menjalankannya. Jika demikian, apakah syariat yang dibawa Nabi saw itu basi dan kadaluarsa? Sehingga tak boleh mencontoh sistem pemerintahannya?

Nabi saw diutus sebagai teladan untuk umat. Perilaku, ucapan, bahkan diamnya Nabi saw adalah hukum syara’ bagi kita. Tak terkecuali dalam hal pemerintahan. Posisi Nabi saw dalam sistem pemerintahan yang dibangunnya di Madinah adalah sebagai kepala negara. Karena posisi kenabiannya sudah final dan sempurna sejak beliau diutus menjadi Nabi dan Rasul. Artinya, negara yang dibangun Nabi di Madinah adalah indikator bahwa umat Islam sudah seharusnya mencontoh perilaku beliau dalam membangun negara. Bagi siapapun yang menelusuri perjalanan politik Rasulullah saw pasti memahami ini.

Kedua, Mahfud menyebut bahwa negara yang didirikan Rasulullah saw adalah berbentuk teokrasi. Dalam negara teokrasi, kepala negaranya dianggap sebagai wakil Tuhan. Karena wakil Tuhan, ia dianggap suci dan tak pernah salah. Intinya, kepala negara teokrasi adalah maha benar dengan segala titahnya. Hal ini berbeda dengan negara Rasulullah saw. Rasulullah bukan wakil Tuhan. Beliau adalah utusan yang membawa risalah Allah agar disampaikan kepada hamba-hambaNya. Wakil berbeda dengan utusan. Wakil memiliki kekuasaan yang serupa dengan yang diwakilkan. Sementara utusan, hanya penyampai risalah, pembawa kabar gembira, pembimbing umat agar taat kepada RabbNya. Jadi, salah besar bila Mahfud MD menganggap negara Islam Rasulullah saw sama dengan teokrasi. Lagipula, Mahfud menyebut istilah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Istilah itu tidak dikenal dalam Islam. Pembagian tiga kekuasaan itu hanya berlaku dalam negara yang menganut demokrasi. Ini jelas bertentangan dengan prinsip pemerintahan Islam yang dibangun Nabi saw. Dengan ini menjadi semakin jelas bahwa pemahaman negara teokrasi Mahfud terpengaruh cara berpikir sistem kapitalisme yang menganut pemerintahan demokrasi. Mencampur-campur pemahaman sistem Islam dengan demokrasi tentu sangat fatal.

Ketiga, Bila sistem pemerintahan Nabi saw haram, lantas bagaimana dengan demokrasi? Sistem pemerintahan Nabi saw memiliki sanad dan landasan dalil yang pasti dan sahih. Sementara demokrasi? Sanadnya merujuk pada filsuf-filsuf Yunani kuno seperti Cleisthenes, Socrates, atau Abraham Lincoln. Perbedaanya terlalu jauh dan sangat mencolok. Islam dituntun wahyu, sementara demokrasi dituntun pemikiran manusia yang serba terbatas. Apa yang disampaikannya sejatinya lemah dalil dan cacat nalar. Memahami sistem pemerintahan Nabi saw tidak bisa dianalogi menggunakan dalil logika. Harus berdasar nash yang kuat hingga menghasilkan hukum yang berlaku atasnya. Jangan serampangan dan mudah mengatakan ini haram, itu halal. Karena pandangan ini bisa menyesatkan umat. Terlebih dengan gelar keprofesorannya, tentu bahayanya lebih dahsyat

Keempat, tak berhenti dengan pernyataan, ‘Khilafah bukan dari alquran, Khilafah ciptaan ulama’ atau ‘Islam tidak kenal sistem Khilafah’, ia justru menambah kata ‘haram meniru sistem pemerintahan Nabi saw’. Sungguh berani bagi ukuran seorang muslim. Apakah Mahfud mau menolak semua kitab-kitab para ulama yang membahas sistem pemerintahan Islam? Seakan lebih pintar menafsiri dalil alquran dan as sunnah dari para ulama salaf yang telah mensyarahnya dalam kitab-kitab mereka. Terus menerus menyerang Khilafah hanya akan menegaskan jati dirinya yang sebenarnya. Sejak berada di lingkaran pemerintahan, ia getol memberi pernyataan yang menyudutkan Khilafah. Memonsterisasinya begitu rupa. Persis seperti yang sudah-sudah. Khilafah dianggap ancaman bagi NKRI dan Pancasila. Padahal ‘serangan’ bertubi-tubi terhadap Khilafah justru membuat publik makin penasaran dengan konsep bakunya. Menjelek-jelekkan Khilafah takkan mengurangi kemurniannya sebagai ajaran Islam.

Ketahuilah, usaha memojokkan Khilafah sebagai sistem warisan Nabi saw tak mengurangi ketinggiannya. Upaya memisahkan Khilafah dari ajaran Islam juga tak akan mengurangi simpati dan pembelaan umat atasnya. Makin ditekan, makin menarik perhatian. Makin dimonsterisasi, makin santer dibahas dalam diskusi politik dan pemerintahan. Sebab, sudah fitrahnya umat kembali pada habitat mereka. Yakni, hidup dalam naungan sistem pemerintahan warisan Nabi saw, Khilafah yang berdiri diatas metode kenabian. Wallahu a’lam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *