Listrik Disubdisi, Disubsidi Negara apa Rakyat?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Layli Hawa (pemerhati remaja, sosial)

Memasuki bulan Mei 2020, masyarakat Indonesia ramai-ramai mengeluhkan kenaikan tagihan listrik pascabayar. Kenaikan ini dialami saat melakukan pembayaran konsumsi listrik untuk bulan April 2020, saat banyak aktivitas belajar dan bekerja dari rumah dilakukan.

Isu liar menyebut bahwa PLN sengaja menaikkan diam-diam tarif dasar listrik. Bahkan ada pendapat, BUMN itu sengaja menaikkan listrik untuk mensubsidi pelanggan yang menggunakan daya rendah, yaitu 900VA dan 450VA.

Pihak PT PLN (Persero) sendiri pernah menegaskan tidak menaikkan tarif listrik. Mereka bilang, kenaikan tagihan tarif listrik bisa jadi karena adanya peningkatan pemakaian Kilowatt Jam (kWh) para pelanggan tersebut.

Tetapi, beberapa masyarakat yang masih bekerja di luar rumah atau tidak work from home (WFH) mengaku tagihan listriknya tetap naik. Padahal tidak terjadi peningkatan pemakaian listrik, dan anehnya, catatan tagihan listrik pemakaian kWh pelanggan yang tidak WFH itu juga ikut-ikutan naik.

Seperti viralnya tukang las di Malang dan taguhan listriknya membengkak mencapai 20 juta pemakaian dalam satu setengah bulan.

Dikutip dari Surya.co.id, Teguh Wuryanto, warga Malang mengeluhkan tagihan listrik usaha bengkel las miliknya mencapai Rp 20.158.686 juta. Teguh mengeluhkan hal tersebut dan mengunggahnya melalui Facebook, Selasa (9/6/2020) lalu.

“Padahal selama saya 23 tahun menjadi pelanggan PLN, selalu taat membayar.

Lalu tagihannya hanya Rp 985.000 hingga sampai Rp 2.200.000,” ujar Teguh yang merupakan warga Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur (Jatim) ketika dikonfirmasi, Selasa (9/6/2020).
Hingga pada bulan Mei 2020, tagihan listriknya melonjak menjadi sebesar Rp 20.158.686.

Jelas, kenaikan tarif dasar listrik ini mengejutkan berbagai pihak, terutama masyarakat menengah kebawah. Ditambah masyarakat saat ini sedang mengalami dampak serius pula akibat wabah pandemi covid-19. Tidak jarang yang mereka tetap bekerja diluar rumah demi mendapatkan penghasilan bagi keluarganya. Seperti para driver ojol, kurir, pedagang, dan beberapa warung makanan yang tidak bisa wfh. Meski mereka tahu bahwa konsumen akan sangat berkurang daripada saat kondisi normal.

Pendapatan tak seberapa untuk makanpun kurang, namun harus terbebani dengan TDL (tarif dasar listrik) yang semakin mencekik. Membuktikan negara tidak peduli dengan nasib rakyat dan hanya mementingkan perut penguasa.
Dan seperti inilah siklus yang akan terus terjadi jika kapitalis masih mengkungkung negara. Tidak hanya listrik, bahkan di segala bidang aturan untung rugi menurut kapitalis ujung-ujungnya hanya menguntungkan bagi mereka dan merugikan rakyat.

Dan ini berbeda dengan konsep sejahtera dalam pandangan Islam. Masyarakat dikatakan sejahtera bila terpenuhi dua kriteria:
Pertama, terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat; baik pangan, sandang, papan, pendidikan, maupun kesehatannya.

Kedua, terjaga dan terlidunginya agama, harta, jiwa, akal, dan kehormatan manusia. Dengan demikian, kesejahteraan tidak hanya buah sistem ekonomi semata; melainkan juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya, dan sistem sosial.

Islam tegas mengamanahkan, bahwa pemimpin adalah pengurus sekaligus pelindung umat. Haram bagi mereka, melakukan kezaliman dengan menarik keuntungan dalam melakukan pelayanan. Termasuk dalam hal ini kebutuhan listrik rakyat. Terlebih Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam menegaskan, bahwasannya :
“Al-muslimûna syurakâ`un fî tsalâtsin: fî al-kalâ`i wa al-mâ`i wa an-nâri”

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad)”.

Padang rumput yang dimaksud adalah lahan kosong yang hanya dibiarkan saja dengan jumlah yang luas, air adalah segala sumber mata air, dan api yaitu semua energi yang berasal dari bumi termasuk disini adalah listrik tidak boleh dikuasai sekelompok orang/individu. Sebab itu semua adalah konsumsu publik yang harus dinikmati oleh kaum muslim ataupun non-muslim.

Maka tidak ada alasan untuk tidak kembali pada sistem Islam, aturannya yang komprehensif menjadikan Islam agama yang sempurna tanpa cacat. Dalam mengatur akidah individu umat, mengatur sendi kehidupan baik politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dll. Serta keteraturan kehidupan masyarakat yang dinaungi sistem Islam.

Kesempurnaan aturan Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunah dalam mengatur politik dan ekonomi negara, membuat seorang kepala negara (Khalifah) tidak gamang dalam mengambil keputusan. Keunggulan sistem keuangan negara baitulmal tidak diragukan lagi dalam menyediakan pembiayaan negara.

Begitu pula keunggulan sistem politik Khilafah. Dengan kewenangan penuh Khalifah kala mengambil keputusan, terbukti efektif dan efisien menyelesaikan persoalan di masyarakat. Terutama dalam situasi extraordinary (kejadian luar biasa) seperti dalam kondisi pandemi. []LH

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *