Lipstick Effect: Demi Eksistensi, Rela Pinjol

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Lipstick Effect: Demi Eksistensi, Rela Pinjol

Uswatun Khasanah

(Muslimah Brebes)

 

Di masa perekonomian yang sulit dan melemahnya daya beli, masyarakat terus “membakar uang” untuk membeli beberapa barang yang tidak sepenuhnya diperlukan dan bersifat tersier, seperti tiket konser, telepon seluler, bahkan pakaian bermerek. Dengan membeli barang tersebut, membuat mereka merasa normal dan bahagia, daripada menghentikan keinginan untuk membeli barang tersebut.

 

Di tengah ketidakpastian yang meluas, pilihan konsumsi kita mencerminkan harapan dan kebutuhan akan kebahagiaan dan koneksi. Ketika Indonesia mengalami deflasi (harga barang dan jasa turun selama lima bulan berturut-turut), masyarakat menghadapi tantangan baru. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan deflasi pada September 2024 sebesar 0,12% dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun menjadi 105,93 dari 106,06. Meskipun harga yang lebih rendah dapat memberikan sedikit kelegaan, deflasi juga menandakan permintaan yang lebih rendah dan dapat menyebabkan kegelisahan perekonomian. Namun, di balik statistik yang menggambarkan kesulitan ini terdapat fenomena menarik dan bermakna, yakni lipstick effect..

 

Muhammad Anwar, Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), mengatakan fenomena tersebut terjadi ketika konsumen mengalihkan pola belanjanya dari barang mewah atau mahal ke barang yang lebih terjangkau. Namun tetap bisa mendatangkan kepuasan, terutama di masa perekonomian sulit.

 

“Mereka beralih pada barang-barang yang lebih terjangkau, tetapi memberikan kepuasan tersendiri, semacam penghiburan kecil di tengah ketidakpastian” kata Anwar, “Masyarakat seolah ingin menunjukkan bahwa, jika tidak bisa memiliki barang dengan kemewahan besar, setidaknya mereka bisa merasakan kebahagiaan dari barang-barang sedikit mewah” lanjutnya, (tirto.id, 3 November 2024).

 

Menurut Celios, fenomena lipstick effect juga masuk dalam kategori doom spending. Fenomena doom spending yang dialami Generasi Z dan Milenial juga menjelaskan tren belanja berlebihan dengan alasan kondisi perekonomian akan semakin buruk di masa depan. Pada akhirnya, banyak anak muda yang putus asa dan tidak mampu membeli rumah, dan akhirnya menghabiskan seluruh pendapatan kerjanya untuk bersenang-senang.

 

Hasil survei Inventure 2024 di Indonesia Market Outlook 2025 mengungkapkan, 34% Gen Z pernah menggunakan pinjaman online (pinjol) dalam enam bulan terakhir pada September 2024. Sedangkan 66% Gen Z menyatakan belum pernah menggunakan layanan pinjaman online seperti Kredivo, Dana, Akulaku, Easy Cash dan lainnya.

 

Yuswohady mengatakan berdasarkan hasil survei, 61% Gen Z menggunakan dana pinjaman ini untuk membeli barang-barang konsumsi (gadget, peralatan rumah tangga, dll); 35% Gen Z menggunakannya untuk belanja (pakaian, sepatu, dll secara online atau offline), dari pinjaman online tersebut 27% untuk modal usaha; 23% Gen Z menggunakan pinjol untuk nongkrong dan berlibur (ngopi, transportasi, makan atau belanja saat liburan). Selain itu, 18% Gen Z mengambil pinjaman untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, 13% untuk membayar cicilan, dan 5% untuk membayar biaya pendidikan.

 

“Hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup Gen Z yang gemar mendokumentasikan aktivitas mereka saat menonton konser atau liburan, kemudian mengunggah ke media sosial,” kata Yuswohady (tempo.co, 22 Oktober 2024).

 

Keterpaparan generasi Z terhadap pinjol disebabkan oleh lipstick effect. Di tengah situasi perekonomian yang tidak menentu, fenomena lipstick effect semakin menonjol di kalangan Generasi Z.

 

Selain itu, fenomena FOMO (Fear Of Missing Out) dan YOLO (You Only Live Once) semakin memperkuat keinginan membeli. FOMO membuat masyarakat merasa harus segera membeli pengalaman atau produk terbaru agar tidak ketinggalan tren atau pengalaman sosial, sedangkan YOLO mendorong mereka untuk menikmati hidup meski kondisi keuangan terbatas. Meski daya beli masyarakat menurun, namun kita melihat fenomena menarik di Indonesia dimana produk tersier masih tetap laris manis. Misalnya, penjualan tiket konser artis lokal dan internasional terus meningkat, meski harga tiket secara umum tidak murah. Banyak orang memandang pengalaman ini sebagai investasi berharga yang tidak ingin mereka lewatkan. Selain itu, penjualan ponsel dan produk perawatan kulit terkini juga menunjukkan tren positif.

 

Kehidupan hedonis dan budaya konsumtif yang terlihat saat ini merupakan dampak dari penerapan sistem kapitalis. Hedonisme merupakan paham atau kepercayaan terhadap kehidupan yang dikembangkan dalam masyarakat modern untuk menghindari rasa sakit dan penderitaan. Hedonisme erat menjadi satu dengan kapitalisme, keduanya memiliki visi hidup yang sama, yaitu mencapai kesenangan duniawi dan kenikmatan materi. Kapitalisme percaya bahwa kebahagiaan dalam hidup dicapai dengan memperoleh sebanyak mungkin materi.

 

Di sisi lain, gaya hidup hedonis kapitalis dan gaya hidup 3F (Food, Fun, Fashion) sengaja disuntikkan kepada generasi muda muslim untuk melemahkan dan mengasingkan citranya dari generasi muslim yang sebenarnya. Tujuannya adalah untuk mencegah generasi muda Islam menghidupkan kembali Islam dan melemahkan hegemoni peradaban kapitalis global.

 

Visi hidup dalam Islam sangat kontras dengan sistem kapitalis. Visi hidup seorang Muslim adalah beribadah kepada Allah melalui ketaatan penuh terhadap aturan-aturan-Nya. Dengan pendangan ini, kehidupan manusia tetap berjalan sesuai syariat Islam dan perubahan gaya hidup.

 

Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan dasar adalah hak setiap individu dan tidak berdasarkan pada perhitungan atau rata-rata per kapita.

 

Dalam Islam, negara berkewajiban memberikan pelayanan terbaik untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Dalam hal kebutuhan dasar, pangan, perumahan dan transportasi, negara menyediakan berbagai mekanisme yang memudahkan masyarakat mencapainya, seperti rumah dan tanah yang terjangkau. Dari sisi pangan, negara memastikan seluruh lapisan masyarakat dapat membeli pangan dengan harga tertentu melalui mekanisme pasar yang sehat. Negara akan menindak pedagang curang dan nakal yang menimbun dan mematok harga serta membasmi mafia pangan.

 

Dalam hal kesehatan, pendidikan, keselamatan dan lain-lain, negara wajib menyediakannya secara cuma-cuma. Pendanaan untuk semua hal tersebut berasal dari baitulmal yang berasal dari pos pengelolaan sumber daya alam seperti pertambangan minyak, gas, mineral dan batubara serta hasil laut, hutan dan lain sebagainya. Negara memberikan lapangan kerja yang cukup bagi masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 

Melalui kebijakan ini, tekanan dan beban finansial akan berkurang sehingga masyarakat tidak merasa stres atau tertekan karena butuh pesta dan hiburan. Dalam Islam, stres atau kepenatan dihilangkan bukan melalui pesta dan hiburan, melainkan melalui peningkatan ibadah dan kedekatan dengan Allah SWT. Ketika Islam menjadi standar hidup manusia, maka kenikmatan hiburan hedonis akan menjelma menjadi kenikmatan aktivitas aktif yang terbenam dalam suasana keimanan. Semua itu hanya bisa tercapai jika negara menerapkan sistam Islam secara menyeluruh.

Wallahu’alam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *