Lintah Ditengah Wabah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ayla Ghania (Pemerhati Sosial)

Dampak wabah covid-19 telah membalikkan roda kehidupan masyarakat Indonesia, utamanya sektor ekonomi. Deretan kisah pilu imbas covid-19 tak terhitung jumlahnya. Kisah bagaimana ojol, asisten rumah tangga dan pemulung yang bertahan hidup ditengah covid-19. Berita tukang becak dan tukang parkir yang pingsan karena kelaparan. Berita warga yang harus menjual HP, TV dan alat rumah tangga lain untuk ditukar dengan beras. Husnul Khatimah (57), warga Gresik dan putrinya Husna Faiqoh (14) harus tidur di masjid akibat tak mampu membayar kontrakan, padahal putrinya sementara sakit. Kisah Yuli (42) warga Banten yang meninggal dunia setelah menahan lapar selama dua hari hanya minum air putih. Suami Yuli yang hanya berkerja sebagai pengangkut sampah, keadaan ekonominya semakin terpuruk hingga tak mampu menafkahi istri dan ke empat anaknya.

Bagi kaum buruh, tanggal 1 Mei 2020 menjadi hari raya yang teramat pahit. Belumlah hilang bayang-bayang RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, kaum buruh harus menelan getirnya PHK massal. Data dari Kementrian Ketenagakerjaan menyebut per tanggal 2 Juni 2020, tenaga kerja terdampak covid-19 yang kena PHK dan dirumahkan sekitar 3,05 juta orang.

Disebutkan, jika pandemi ini terus berlanjut maka pengangguran bisa mencapai 5,23 juta orang. (3/6/2020, www.cnbcindonesia.com). Nampak terasa begitu berat proses adaptasi warga ekonomi kelas menengah ke bawah untuk bertahan hidup di masa pandemi. Akhirnya menjadi maklum jika masih ada warga yang “keluyuran” demi mencari pengganjal perut di masa PSBB. Disinilah letak urgensinya campur tangan Pemerintah dalam menjamin kebutuhan pokok warga saat wabah melanda.

Namun harapan adanya jaminan pemerintah atas kebutuhan pokok serasa hampa. Riuh keluhan warga atas melonjaknya beberapa komoditas pangan justru dijawab dengan kenaikan tagihan listrik yang sangat signifikan. Pun harapan BBM turun dikala harga minyak dunia anjlok, kandas. Di sektor kesehatan kita dipertontonkan dengan sebuah drama, kenaikan iuran BPJS yang semula dibatalkan oleh Mahkamah Agung, akhirnya kembali dinaikan melalui Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan.

Disusul penandatanganan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera pada tanggal 20 Mei 2020. Kewajiban ikut serta Tapera termuat pada pasal 5 yang berbunyi “Setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta. Pekerja mandiri yang berpenghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi peserta,”. Adapun besaran iuran Tapera adalah sebesar 3% dari total gaji atau penghasilan.

Di sektor pendidikan, solusi belajar Daring – disaat New Normal Life masih beresiko bagi anak – bagi siswa dan mahasiswa harus berhadapan dengan kebijakan pajak 10% untuk Netflix, Sportify dan Zoom. Pajak 10% juga akan diberlakukan bagi pelaku jual beli online di bulan Juli nanti. Tak cukup sampai disitu, imbas wabah corona juga berpengaruh pada kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan ibadah. Kementrian Agama resmi memutuskan Pemberangkatan Jamaah Haji Indonesia Tahun 2020 ditiadakan.

Tentu, penundaan pemberangkatan ibadah haji masih bisa ditolerir, meski berasa janggal karena mendahului kebijakan dari Pemeritnah Arab Saudi.

Namun santernya perbincangan Dana Haji yang akan dipakai untuk membantu Bank Indonesia demi memperkuat rupiah, semakin membuat rakyat jengah. Pemerintah seharusnya peka melihat upaya para calon jamaah haji yang bersusah payah mengumpulkan lembaran rupiah, sambil menanti daftar tunggu keberangkatan haji selama bertahun-tahun.

Serasa peredaran darah ini terhenti. Tak seharusnya pemerintah berlaku seperti lintah apalagi saat terjadi wabah. Sebagaimana karakter lintah – parasit yang haus darah – ketika terjadi kontak dengan kulit akan langsung menghisap darah korban sepuasnya sampai terguling sendiri. Kondisi rakyat yang sedang sulit disempurnakan dengan kebijakan pemerintah yang melilit. Segala peluang untuk mendapatkan uang dari rakyat serasa diintai dan langsung dikuras. Rakyat diperas hingga tidak ada ruang untuk bernafas, sesak. Teori demokrasi, “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” semakin nampak ilusi. Kontrak kerja antara “Penguasa-Rakyat” dalam demokrasi yang diibaratkan “Pelayan-Raja” telah lama terbalik. Indonesia yang dulu terkenal dengan “Gemah Ripah Loh Jinawi” yang berarti “tenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya” serasa tinggal slogan usang. Kemanakah semua Sumber Daya Alam rakyat Indonesia sehingga kebijakan demi kebijakan justru ‘mematikan’ rakyat?

Kebijakan New Normal Life disaat grafik pasien covid-19 merangkak naik menguatkan kesan kepada rakyat bahwa Pemerintah saat ini berlepas tangan terhadap urusan rakyat. Bahkan Perppu corona yang sudah disahkan menjadi undang-undang – meski menuai kontroversi – tidak menunjukan adanya jaminan terhadap seluruh kebutuhan rakyat saat pandemi. Nampaknya pemerintah kita sedang bingung, mencari sumber pendapatan untuk mengelola negeri ini. Hutang Luar Negeri Indonesia pada bulan Februari 2020 berada pada posisi US$ 407,5 miliar atau tembus pada angka Rp 6.376 triliun dengan kurs Rp 15.600 (Kompas.com, 15/04/2020). Mengingat Sumber utama Pendapatan Negara Indonesia berasal dari pajak, non pajak (termasuk pengelolaan BUMN) dan hibah. Puluhan BUMN yang terancam bangkrut tentu tak lagi bisa diandalkan untuk menutup defisit Negara. Sepertinya tidak ada sumber penghasilan lain kecuali genjot pajak dan membuat kebijakan yang mengatasnamakan rakyat meski aslinya memeras rakyat. Idnu Khaldun telah mengingatkan kita :

“Tanda-tanda sebuah Pemerintahan (Negara) akan hancur maka akan semakin bertambah besarnya pajak yang dipungut”

Lain halnya dengan Daulah Khilafah yang memiliki sumber utama Pendapatan Negara, yang berasal dari:

(a) Sektor kepemilikan individu, seperti: sedekah, hibah, zakat, dsb. (b) Sektor kepemilikan umum, seperti pertambangan, minyak bumi, gas, batubara, kehutanan, dsb dan (c) Sektor kepemilikan negara, seperti jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, ‘usyur, dsb. Selain adanya pemisahan kepemilikan baik kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan Negara, Syariat Islam juga memiliki aturan yang komprehensif terkait pengelolaan sumber ekonomi primer yaitu Pertanian, Perindustrian, Perdagangan dan Jasa.

Rosulullah saw bersabda :

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ

Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Pengelolaan dan pemanfaatan kepemilikan umum – berupa Sumber Daya Alam milik rakyat Indonesia – secara benar sesuai aturan Pencipta Alam Semesta akan menjamin terpenuhinya kebutuhan primer rakyat baik pangan, sandang, papan, kesehatan juga pendidikan. Terutama saat terjadi situasi dan kondisi sulit, tanpa harus menguras kepemilikan individu rakyat. Wallahu a’lam bish showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *