Oleh : Shofiyyah Syaharani (Aktivis Dakwah Kampus)
Menjadi sebuah impian bagi semua orang untuk membangun bahtera rumah tangga yang sakinah mawadah dan warohmah. Akan tetapi, angka perceraian yang melonjak hingga tembus ribuan per Juni 2021 membuat impian itu semakin membuat takut banyak orang, banyak hal yang membuat risau sehingga memutuskan untuk tidak menikah bahkan mempunyai keinginan mengadopsi anak tanpa adanya pernikahan.
Banyak beredar di sosial media tentang curahan hati seorang istri atau suami yang mengatakan tentang adanya orang ketiga dan hilangnya tanggung jawab, di saat pernikahan telah menjadi kehidupan baru bagi mereka. Keharmonisan yang di dambakan sebelum pernikahan menjadi sebuah racun bagi kebahagiaan berkeluarga. Walaupun memang tidak semua orang yang mengalami hal ini memilih untuk berpisah, dampak dari perbuatan hilangnya tanggung jawab ini dapat meruntuhkan dinding kepercayaan dalam bahtera rumah tangga.
Akar dari segala kejadian dan perilaku yang dilakukan tidak lepas dari pemikiran yang di emban setiap orang. Ideologi saat ini yang diemban oleh dunia adalah ideologi demokrasi, demokrasi ini melahirkan sebuah pemahaman yaitu sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan dunia). Dari sekulerisme ini melahirkan kembali pemikiran liberalisme yang saat ini tanpa sadar diterapkan di kehidupan bermasyarakat bahkan tumbuh di dalam bahtera rumah tangga.
Kebebasan yang menghalalkan segala cara bahkan dalam penyimpangan naluri pada diri manusia di anggap biasa. Penanaman bibit liberal ini tidak lepas dari tayangan-tayangan yang di lihat setiap harinya. Akhir-akhir ini banyak sekali tontonan yang menggambarkan kisah rumah tangga yang hancur karena adanya orang ketiga. Hal ini membuat kesakralan dalam berkeluarga menjadi hilang bahkan disepelekan oleh beberapa orang, pernikahan hanya sebagai ajang untuk melepas status bukan untuk mengemban tanggung jawab.
Islam sebagai agama yang sempurna dan tidak hanya mengatur ibadah spiritual tetapi juga mengatur sampai urusan negara tidak bisa dipisahkan dari sendi-sendi kehidupan, berbeda dengan ideologi demokrasi yang melahirkan pemisahan agama dari kehidupan dunia.
Dalam Islam perselingkuhan itu tidak di perbolehkan karena termasuk perbuatan zina dan bagi siapa pun yang menyalahinya akan di berikan hukuman. Larangan zina ini tertera pada Qs. Al Isra’ ayat 32
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰۤى اِنَّهٗ كَا نَ فَا حِشَةً ۗ وَسَآءَ سَبِيْلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”
Dalam Islam siapa pun yang melakukan zina akan diberikan hukuman, keseluruhan sanksi hukuman dalam Islam berlaku sebagai “Jawabir” (penebus dosa) dan “zawajir” (membuat efek jera) bagi pelaku dan orang lain agar tidak melakukan pelanggaran serupa.
Ketika hukum Islam diterapkan maka akan memberikan efek jera bagi pelaku dan menjadi penebus dosa bagi pelaku, Islam menjaga penuh hak-hak setiap individu dan memberikan batasan-batasan yang jelas kepada manusia dalam bertindak. Karena sebagai seorang Muslim, memahami bahwa kehidupan itu tidak hanya berlaku di dunia tetapi juga sampai di akhirat. Jika Islam diterapkan maka pelaku-pelaku yang berselingkuh akan merasa takut ketika ingin melakukannya.
Dan hal ini tidak akan terealisasikan tanpa adanya Khilafah, sebuah institusi negara yang mengemban ideologi Islam yang berlandaskan pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena yang dapat memberikan sanksi atau hukuman hanya pemimpin dan tidak bisa dilakukan individu. Sistem hari ini tidak menjamin kesejahteraan bagi individu bahkan orang-orang yang sudah menikah dalam urusan perzinaan yang masih marak hingga saat ini.
Wallahu a’lam bishawab