Oleh: Aulia Rahmah (Kelompok Penulis Peduli Umat)
Sebuah masyarakat yang telah terjalin dengan kesamaan pemikiran, perasaan, dan aturan, meniscayakan kelanggengan interaksi di dalamnya. Mengambil aturan dari agama untuk menyelesaikan persoalan di antara mereka, adalah sebuah fitrah kemanusiaan. Harapannya, terwujud keharmonisan hubungan antara sesamanya. Lebih-lebih sebagai perwujudan ketundukan seorang hamba kepada Tuhan, penciptanya.
Telah viral di medsos sebuah unggahan yang berkonten penyesatan Fikih Islam. Larangan seorang perempuan yang sedang haid berpuasa, dengan alasan tak ada dalil larangan di dalam Al-Qur’an dan hadist, oleh ulama yang berinisial IN, dibolehkan. Unggahan ini disebarluaskan oleh akun Instagram Indonesiafeminis’s dan akun istagram mubadalah.id. Karena banyak pengecaman dan penolakan dari lembaga-lembaga Islam, akhirnya akun tersebut menghapus unggahannya, dilansir dari news.detik.com(3/5/2021).
Ketua PBNU, Masduki Baidlowi dan juga Ketua MUI, Anwar Abbas sependapat. Bahwa proses penetapan hukum Islam/Fikih tidak hanya diambil dari Al-Qur’an dan hadist saja, tetapi sekaligus dari ijma para ulama. Larangan perempuan haid berpuasa telah ditetapkan dalam Ijma ulama. Sehingga beliau menilai fikih baru ini adalah upaya penyesatan dan penyimpangan dari Syariah.
Munculnya pandangan’nyeleneh’yang mengatasnamakan Fikih Progresif sungguh meresahkan masyarakat. Fikih Islam yang selama ini diajarkan oleh ulama kita dan dilaksanakan secara turun-temurun oleh anak cucu, dirusak oleh kaum Sekuleris Liberalis. Mereka merancang fikih baru dengan dasar logika mereka.
Inilah buah dari abainya negara dalam melindungi Syariah. Demokrasi yang menjadi dasar bernegara justru mendorong Liberalisasi di berbagai lini kehidupan. Akibat dari Liberalisasi Syariah ini akan menumbuh suburkan pandangan menyimpang yang dapat menyesatkan pemikiran, melukai perasaan dan akhirnya bisa saja jalinan interaksi di antara masyarakat terkoyak.
Menutup arus Liberalisasi Syariah di butuhkan peran negara. Sebab, tren moderasi beragama saat ini, membuat mulut-mulut para pembenci Islam semakin keras bersuara. Mereka menebar fitnah dan tak malu-malu mencoreng para ulama sebagai tokoh masyarakat. Maha benar Allah yang telah berfirman di dalam Al-Qur’an Surat Attaubah ayat 32, yang artinya ” Mereka (orang-orang kafir) hendak menutup cahaya Allah, tetapi Allah menolaknya, bahkan Qllah akan menyempurnakan cahayaNya walau orang-orang kafir membencinya.
Adalah saat yang tepat di bulan Ramadhan ini, bulan di turunkanya Al Qur’an sebagai petunjuk dan pembeda antara kebenaran dan kebathilan. Sebuah bangsa haruslah sadar dan berupaya menjadikan Al Qur’an sebagai dasar konstitusi bernegara. Dengan upaya ini, Insyaallah akan dapat menegakkan keadilan, memperkokoh persatuan, sekaligus mewujudkan kesejahteraan. Segala bentuk pendangkalan aqidah, penyesatan dan penyimpangan beragama akan mudah diberantas. Sistem Demokrasi bukanlah harapan bagi masyarakat untuk dapat melindungi agama dari kegaduhan yang diciptakan kaum Sekuler Liberal.
Meraih kekuasaan untuk melindungi agama adalah kebaikan. Hanya negara dengan konsep khilafah lah yang berkompeten. Khilafah dengan mekanismenya akan melakukan klarifikasi terhadap segala bibit kerusakan. Negara khilafah akan mengeksplorasi, apa motif dibalik aksinya, siapa dalangnya, dan sebesar apa kekuatannya. Negara dengan dukungan masyarakat yang kuat, bersama-sama menunaikan tanggung jawabnya demi ibadah dan penyebaran agama yang rahmatan lil alamin. Wallahu a’lam bi ash-showab.