Oleh : Tri Cahya Arisnawati (Penulis dan Aktivis Dakwah)
Corona ‘mengamuk’ lagi, seiring dengan ditemukannya virus Corona varian baru yakni Delta. Organisasi Kesehatan Dunia memberi warning bahwa dunia kini berada dalam periode yang sangat berbahaya akibat virus Corona varian Delta. Varian B.1617.2 yang pertama kali ditemukan di India.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanahom Ghebreyesus mengatakan varian tersebut dilaporkan lebih berbahaya karena terus bermutasi dan berevolusi. Varian ini juga menyebar dengan sangat cepat di negara yang cakupan vaksinasinya rendah. (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5631268/alarm-who-terkait-corona-varian-delta-berbahaya-dan-terus-bermutasi)
Kepanikan dan ketakutan tentu saja semakin melanda masyarakat, apalagi virus varian Delta ini dikabarkan dapat mengelabui sistem imun manusia. Seperti yang diungkapkan oleh dokter spesialis paru, Dr Erlina Burhan, MSc SpP(K) bahwa varian Delta bisa mengelabui sistem imun tubuh dan mempengaruhi efektivitas vaksin sehingga perlu diwaspadai.
“Jadi, kalau ada virus masuk, biasanya otomatis sistem imun kita akan bereaksi melakukan perlawanan,” terangnya.
“Namun, virus (varian Delta) ini mengelabui sistem imun kita dan seseorang itu akan menjadi sakit,” lanjut dia. Menurutnya, orang yang sudah memakai masker pun akan mudah jatuh sakit jika menghirup udara yang mengandung virus dari varian Delta tersebut.
“Kalau bersin-bersin ini kan sebagian dari droplet itu yang keluar ukurannya sangat kecil (aerosol) seperti uap. Droplet itu bisa melayang-layang di udara,” jelasnya.
“Kalau ada yang lewat di lokasi tersebut tanpa pakai masker dan menghirup udara tersebut. Akhirnya, dengan mudahnya menjadi sakit, apalagi virus itu sangat pintar mengelabui sistem imun,” imbuh dia. (https://lifestyle.kompas.com/read/2021/07/07/154427920/benarkah-varian-delta-bisa-menular-hanya-dengan-berpapasan)
Dokter Erlina juga mengingatkan, untuk tetap menjalankan protokol kesehatan (prokes) secara tepat dan meningkatkan sistem imun guna mencegah penularan virus.
Walaupun Corona semakin mengganas, namun hingga saat ini tak ada perubahan yang signifikan dari kebijakan pemerintah. Kasus lonjakan pasien Corona tak membuat pemerintah introspeksi diri apalagi membuatnya sadar diri. Inkonsistensi pemerintah dalam penanggulangan wabah adalah permasalahan yang menyebabkan kondisi yang semakin carut marut. Kebijakan yang setengah hati telah membuat rakyat semakin bingung, contohnya saja kebijakan larangan mudik idul Fitri, namun tempat-tempat pariwisata dan rekreasi tetap dibuka. Sehingga terjadinya kerumunan di tempat-tempat wisata dan rekreasi tak bisa dihindarkan. Akhirnya munculah cluster Corona dari tempat pariwisata dan rekreasi.
Ditiadakannya belajar tatap muka di sekolah dan kampus, ditutupnya rumah ibadah. Namun, konstruksi infrastruktur tetap beroperasi hingga mengundang TKA asing dari China. Dari kebijakan pemerintah yang setengah hati ini, maka jangan salahkan masyarakat bila mereka tak lagi patuh dengan seruan pemerintah untuk taat protokol. Selain itu, masyarakat kerap dipertontonkan pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh pejabat, mulai dari kepala daerah, menteri hingga Presiden yang mengundang kerumunan, dengan alasan insidental tak ada satupun yang tersentuh hukum. Jadi wajar saja bila masyarakat menilai aturan protokol untuk menjauhi kerumunan dan menjaga jarak hanya berlaku untuk mereka. Tapi tak berlaku untuk orang-orang yang berkuasa.
PPKM, Narasi Baru Kebijakan Lama!
Sedari awal kemunculan virus Corona, sebenarnya segenap elemen masyarakat mendesak pemerintah untuk menerapkan lockdown atau kekarantinaan wilayah. Di sisi lain, sebenarnya masyarakat lebih terbiasa dengan istilah lockdown atau karantina. Namun, alih-alih menerapkan lockdown justru pemerintah memilih istilah lain yaitu PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Padahal terkait aturan lockdown atau karantina wilayah saat terjadinya wabah telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dalam langkah pencegahan penyebaran virus corona di Indonesia. Sesuai undang-undang ini, salah satu kewajiban pemerintah adalah memenuhi kebutuhan hidup dasar masyarakat, termasuk makanan bagi hewan-hewan ternak milik warga.
Dan sekarang saat Corona ‘mengamuk’ dan semakin mengganas, Pemerintah pun didesak untuk segera menetapkan karantina wilayah (lockdown) selama dua minggu demi menekan penularan virus. Alih-alih memutuskan lockdown, Presiden Joko Widodo resmi mengumumkan pelaksanaan PPKM darurat, Kamis (1/7/2021). Pelaksanaan PPKM darurat diberlakukan di Jawa dan Bali ini setelah mendengar berbagai saran menteri, ahli kesehatan, dan kepala daerah. Kebijakan ini berlaku sejak 3 hingga 20 Juli 2021.
Kebijakan PPKM darurat akan mengatur sejumlah pembatasan masyarakat yang lebih ketat. Jokowi lantas menyerahkan pelaksanaan PPKM darurat ini kepada Menko Maritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan. Selama PPKM darurat, sektor non esensial seluruhnya diwajibkan work from home (WFH), sementara di sektor esensial WFH dapat diberlakukan 50 persen dan sektor kritikal 100 persen work from office (WFO). Untuk kegiatan belajar mengajar, seluruhnya dilakukan secara online dan daring.
PPKM darurat juga mengharuskan pusat perbelanjaan, tempat ibadah, area publik, kegiatan sosial kebudayaan ditutup untuk sementara. Untuk usaha restoran hanya boleh menyediakan layanan pesan bawa (take away) dan pesan antar (delivery).
Kendati demikian, kegiatan konstruksi diperbolehkan tetap beroperasi 100 persen dengan menerapkan “protokol kesehatan”. Resepsi pernikahan juga masih diperbolehkan dengan membatasi tamu undangan maksimal 30 orang. Sementara itu syarat perjalanan dalam negeri kini harus menyertakan surat vaksin dan hasil skrining tes PCR/ antigen negatif. Genose tak lagi berlaku sebagai syarat perjalanan. (https://tirto.id/ri-pilih-ppkm-darurat-saat-negara-lain-lockdown-akibat-varian-delta-ghrv)
Pemerintah tetap pada keputusan awal yakni tidak menerapkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan wilayah. Dan lebih memilih sibuk mencari sana sini istilah lain, asalkan tidak menggunakan Nomenklatur lockdown atau karantina wilayah. Padahal negara-negara lain telah memberlakukan lockdown untuk menanggulangi badai wabah Covid-19 varian Delta.
Tak jauh berbeda dengan aturan PSBB, aturan PPKM juga melarang masyarakat berkerumun, pembatasan kegiatan masyarakat di tempat atau fasilitas umum, pembatasan aktivitas sosial budaya, memberlakukan kegiatan belajar mengajar secara daring, bekerja secara WFH, meniadakan peribadatan di rumah ibadah. Bedanya, PPKM memuat kebijakan membatasi kegiatan masyarakat pada tingkat yang bersifat mikro. PPKM dilaksanakan per daerah yang mengalami lonjakan tinggi kasus Covid-19. Tingkat penyebaran kasusnya dilihat pada tingkat RW/RT dari jumlah rumah yang terpapar pandemi virus corona.
Kini, pemerintah menetapkan PPKM mikro darurat seiring dengan Lonjakan kasus virus corona di Indonesia. Rencananya, pembatasan aktivitasnya diperluas ke zona oranye atau berisiko sedang dari sebelumnya hanya di zona merah saja. Jadi sebenarnya, hanya mengganti istilah saja dari PSBB menjadi PPKM. Tak ada perubahan kebijakan secara signifikan untuk menahan badai Covid-19 varian Delta.
Jelas sekali, pemerintah sangat berhati-hati untuk tidak menerapkan lockdown sebagaimana dalam UU Nomor 6 Tahun 2018, sebab dalam Undang-Undang tersebut dengan jelas disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar masyarakat, termasuk hewan ternaknya. Dengan dalih tak ada dana dalam APBN, lantas untuk menghindar dari tanggung jawabnya pemerintah beralih ke PSBB lalu ke PPKM. Asalkan tidak menggunakan Nomenklatur lockdown atau karantina wilayah.
Sistem Islam Tetap Memenuhi Kebutuhan Rakyat Walaupun Terjadi Pandemi
Begitulah sistem kapitalisme hari ini melahirkan pemimpin yang bermental tawar menawar, dan tak mau menanggung rugi. Telah terbentuk di pemahaman para pemimpin di sistem kapitalisme bahwa harus ada keuntungan atau timbal balik dari setiap kerja keras yang mereka lakukan untuk mengurus rakyatnya, hal ini disebabkan oleh tolok ukur perbuatan dalam sistem kapitalisme, dimana materi adalah tolok ukur dalam setiap melakukan perbuatan. Artinya mereka akan berusaha dengan gigih melakukan perbuatan asalkan ada keuntungan materi atau kemaslahatan yang akan didapatkan.
Jadi sangat wajar bila pemerintahan di sistem kapitalisme setengah hati mengurus rakyatnya. Sebab, mereka tak mendapatkan keuntungan dari mengurus rakyat, malah yang terjadi sebaliknya mereka merasa rugi telah mengeluarkan biaya yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya, apalagi saat ini tengah terjadi wabah yang menjadikan perekonomian lumpuh, banyak perusahaan yang bangkrut dan PHK besar-besaran, usaha yang gulung tikar sehingga banyak rakyat yang menjadi miskin. Disaat seperti inilah rakyat benar-benar membutuhkan peran pemerintah untuk meringankan beban mereka. Tetapi sayangnya, justru disaat sulit seperti ini pemerintah atau negara tidak hadir untuk meringankan beban rakyat, yang ada kondisi rakyat semakin dipersulit dengan hadirnya kebijakan-kebijakan yang zalim.
Berbeda dengan sistem Islam, walaupun keadaan sangat sulit seperti masa paceklik dan di tengah pandemi. Pemerintah atau negara tak pernah absen dari mengurus rakyat, justru sebaliknya negara lebih memperhatikan lagi kondisi rakyatnya. Seperti yang pernah dilakukan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab saat menghadapi wabah (‘Ta’un Amwas) dan musim paceklik. Para ulama pun sepakat menamakan kondisi saat itu sebagai ‘am ramadha atau tahun kekeringan.
Demi menanggulangi ‘Ta’un Amwās dan ‘am Ramadha, Umar bin Khattab pun mengeluarkan sejumlah kebijakan: 1) Meminta kepada rakyat agar senantiasa berdoa kepada Allah swt; 2) mengirimkan kebutuhan dasar pokok masyarakat; 3) menghimbau masyarakat agar bersikap hemat dalam mengonsumsi makanan yang tersedia dan; 4) penangguhan zakat peternakan.
Terkait hal pertama, Umar berkata: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dalam diri kalian, dan dalam urusan kalian yang tidak terlihat oleh manusia. Karena sesungguhnya aku diuji dengan kalian dan kalian diuji denganku. Aku tidak tahu apakah kemurkaan itu ditujukan kepada diriku dan bukan kepada kalian atau kemurkaan itu ditujukan kepada kalian dan bukan kepada diriku atau kemurkaan itu berlaku umum kepadaku dan juga kepada kalian. Karenanya, marilah marilah kita senantiasa berdo’a kepada Allah agar Dia memperbaiki hati-hati kita, merahmati kita, dan mengangkat bencana ini dari kita.”
Terkait hal kedua, Umar juga mengeluarkan sejumlah kebijakan ekonomi untuk meringankan beban masyarakat. Ia mengirimkan surat ke beberapa Gubernurnya di beberapa daerah seperti Abu Musa di Basrah, ’Amru bin Ash di Mesir, Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Syam dan Sa’ad bin Waqs di Iraq, untuk mengirimkan bantuan kebutuhan pokok ke Madinah. Solidaritas antar daerah ini diberikan masyarakat guna mendukung kehidupan warga Madinah selama ‘Am Ramadha.
Hal ketiga yang diusahakannya adalah dengan menghimbau masyarakat untuk hemat dalam konsumsi. Kalifah Umar melarang warganya di tahun itu untuk menyajikan minyak samin dan daging dalam satu hidangan. Sekalipun Umar yang dulu terbiasa menyantap susu, samin, dan daging dalam keadaan normal dan stabil namun, sejak musim paceklik hanya, menyantap minyak zaitun. Bahkan tak jarang pengganti Khalifah Abu Bakar As-Siddiq justru mengalami kelaparan.
Kebijakan keempat yang diberlakukan oleh Umar adalah penangguhkan zakat peternakan. Muhammad bin Umar menceritakan, Ṭalḥaḥ bin Muhammad meriwayatkan dari Hausyab bin Basyar al-Fazari, dari ayahnya, bahwa dia berkata, “Kami melihat pada tahun ramadha (kerusakan/ paceklik), paceklik menghanguskan ternak kami, sehingga tersisa pada banyak orang, sesuatu (harta) yang tidak ada artinya. Maka Umar pun tidak mengutus para petugas pengumpul zakat pada tahun itu.”
”Tahun setelahnya, dia mengutus para petugas untuk mengambil dua zakat dari pemilik hewan, lalu separuhnya diberikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka dan separuh lainnya dibawa kepada Umar. Lalu tidaklah diperoleh dari semua zakat yang berasal dari Bani Fazarah melainkan enam puluh kambing, lalu yang tiga puluh dibagikan, sedangkan tiga puluh yang lain dibawa kepada Umar. Dan Umar mengutus petugas zakat kemudian memerintahkan para petugas zakat untuk mendatangi manusia yang sekiranya masih ada.” (https://tazkia.ac.id › kebijakan-pena…Kebijakan Penanggulangan Wabah Umar bin Khattab – Institut Tazkia)
Itulah prestasi gemilang sistem Islam dalam menanggulangi wabah dan juga musim paceklik, sudah sepatutnya sebagai umat muslim yang diamanahi untuk mengurus rakyat untuk mencontohnya. Namun, karena saat ini para pemimpin muslim terbelenggu oleh sistem kapitalisme yang membuat mereka melupakan tanggung jawabnya sebagai pengurus umat, maka teladan yang ditunjukkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab akan sangat sulit diwujudkan. Sebab masalah utamanya bukan terletak pada siapa yang memimpin, namun pada sistem apa yang memimpin hari ini.
Wallahu ‘alam bishowab