Lemahnya Sanksi Hukum dalam Sistem Kapitalis- Sekuler: Hukum Jaksa Bisa “Disunat”

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Faiha Hasna (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

Membincangkan korupsi di negeri ini memang tidak ada habisnya. Pasalnya, hingga hari ini belum ada tanda-tanda negeri ini bebas dari korupsi. Para pelaku korupsi tidak memberi efek jera sama sekali seperti apa yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta baru- baru ini. Pengadilan Tinggi ( PT) DKI Jakarta memotong hukumannya “disunat” dari sebelumnya 10 tahun menjadi empat tahun penjara dalam kasus penerimaan suap, permufakatan jahat dan pencucian uang, pada Jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Pertimbangan Majelis Hakim diungkapkan bahwa terdakwa mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesi sebagai jaksa. Tidak tanggung-tanggung potongan lebih dari setengah dari hukuman awal.

“Bahwa terdakwa mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesi sebagai Jaksa. Oleh karena itu, ia masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik. Bahkan terdakwa adalah seorang ibu dari anak yang masih balita (berusia empat tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan,” kata hakim.
( CNN Indonesia, selasa,15/06/21)

Lagi-lagi keputusan ini membuktikan kepada halayak, betapa lemahnya sanksi hukum dalam sistem kapitalisme sekuler dalam menindak perilaku kriminal di negeri Ini. Kasus jaksa Pinangki benar – benar mencederai rasa keadilan masyarakat dan menunjukkan makin kuatnya mafia peradilan di Indonesia.

Tak dapat dipungkiri di Indonesia berlaku pluralisme sistem hukum.

Pluralisme sistem hukum adalah warisan kafir penjajah bukan inisiatif asli bangsa indonesia yang mayoritas muslim. Dalam sistem hukum plural, terdapat 3 sistem hukum.
1. Sistem Hukum Islam (Namely the Islamic legal System)
2. Sistem Hukum Adat (The Customary Law System)
3. Sistem Hukum Barat (The Western Legal System)

Secara normatif sistem hukum Barat ini haram diterapkan menurut aqidah islam.

Dalam Alquran Allah berfirman : “Wala yusriku fii hukmihi ahadan” yang artinya “Allah tidak memgambil seorang pun sebagai sekutu-Nya dalam menetapkan hukum.” ( Q.S Al Kahfi ayat 26)

Maka, sistem hukum plural yang syirik dan warisan kafir penjajah ini sudah semestinya dihapuskan dari muka bumi. Melaksanakan sistem kufur ini maka sama saja dengan melanggengkan penjajahan di negeri ini. Karena itu, pada dasarnya ideologi kapitalisme yang menetapkan hukum di tangan manusia bukan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Satu-satunya lah biang kerusakan di negeri ini termasuk maraknya kasus korupsi.

Sistem hukum buatan manusia mengandung banyak kelemahan, rentan dipermainkan dan selalu digunakan sesuai kepentingan sehingga tak mungkin diharapkan bisa mencegah kejahatan dan menciptakan rasa keadilan.

Ini berarti langkah paling utama paling penting yang paling wajib dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan ideologi kapitalis itu sendiri. Ideologi kapitalisme sejatinya dibangun atas dasar kompromi. Mereka mengakui keberadaan agama tapi yang muncul agama tidak diperbolehkan mengatur dalam ranah kehidupan, mencampurkan antara haq dan bathil sehingga menjauhkan umat dari kebenaran. Oleh karenanya kapitalisme ini ide rusak yang tidak berdasarkan akal yang paling wajib dihapuskan. Selanjutnya diterapkan syariat Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yang semestinya diberlakukan di negeri ini.

Bentuk sanksinya dalam sistem Islam baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif) bisa berupa sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir) hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati. Teknisnya hukuman bisa digantung atau dipancung. Hukuman tegas ini menjadi efek jera /zawajir kepada si pelaku atau sekaligus menjadi penghapus dosa. Sebagai langkah kuratif maka akan diberlakukan sanksi yang disebut ta’zir yaitu sanksi yang jenis kadarnya ditentukan oleh hakim. Berat ringannya ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya perbuatan. (lihat Nidzhamul Uqubat karya Abdurrahman Al Maliki)

Setidaknya ada 7 langkah kuratif mencegah korupsi menurut syariat Islam yang pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas.

“Jika urusan diserahkan kepada bukan ahlinya,maka tunggulah hari kiamat.” ( HR. Bukhari)

Umar Bin Khaththab pernah berkata, “Barangsiapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat , berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin.” Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya.

Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok,kalau kamu menundanya, pekerjaan akan menumpuk.

Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya.

“Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah, kalau rak punya istri, hendaklah dia menikah, kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” ( H.R Ahmad)

yang keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara.

Nabi sallallahu’alaihi wasallaam bersabda :

“Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji,maka apa saja ia ambil diluar itu adalah harta yang curang.” ( H.R. Abu Dawud)

Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi saw berkata :

“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (H.R. Ahmad)

Yang kelima, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara, keenam, adanya teladan dari pimpinan, dan ketujuh, pengawasan oleh negara dan masyarakat.

Penerapan syariat Islam dalam mencegah tindak korupsi ini tentu hanya bisa diterapkan dalam negara Islam satu-satunya aturan bernegara yakni syariat Islam yang sesuai dengan fitrah manusia dan tentunya dibangun dengan akal sekaligus menjadi penguat keimanan orang yang membuat ragu itu karena tidak bisa memandang secara menyeluruh.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *