Lemahnya Mitigasi Bencana, Dimana Ria’yah Negara?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Juriah Zain

 

Gunung Semeru yang meletus pada Sabtu (4/12/2021). Terletak di Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang masih berada di status waspada. Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi melaporkan gunung Semeru masih mengeluarkan guguran lava pijar dan awan panas.

Proses evakuasi korban pasca erupsi Gunung Semeru telah memasuki waktu sepekan. Sementara untuk orang hilang tercatat ada 9 orang. Kemudian 19 korban mengalami luka berat dan 13 luka ringan serta korban meninggal dunia ada 45 orang.

Sementara pengungsi erupsi Gunung Semeru di Lumajang terus bertambah. Tim gabungan mencatat saat ini 6.573 jiwa mengungsi, tersebar di 126 titik pengungsian. Bantuanpun terus berdatangan bagi para pengungsi yang menjadi korban erupsi. (Detiknews.com, 11/12/2021)

Bantuan berasal dari berbagai instansi pemerintah dan lembaga sosial masyarakat. Seperti Palang Merah Indonesia (PMI) dan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang mengirimkan tim tanggap bencana dan menerjunkan tim medis, yang terdiri dari dokter, bidan, apoteker serta relawan untuk membantu korban letusan Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo juga menggelar doa bersama para santri untuk para masyarakat yang terdampak erupsi disekitar Gunung Semeru. Doa bersama digelar di MTQ Tahfizul Quran Isy Karima, Solo, Jawa Tengah.

Aksi tanggap darurat bencana bukan hanya terfokus kepada pemenuhan logistik dan pemulihan pasca bencana. Karena politik atau ri’ayah bencana adalah kebijakan penanggulangan bencana yang meliputi beberapa hal baik itu upaya pencegahan, tanggap darurat dan pemulihan pasca bencana. Kesemuanya harus diperhatikan sama pentingnya, tidak boleh lebih fokus pada satu atau dua hal, namun seluruhnya mesti dilakukan.

Terutama bagi penguasa hari ini, baik di level pusat dan daerah harus mempunyai kesadaran politik penanggulangan bencana. Namun sayangnya, politik penanggulangan bencana ini belum berjalan optimal. Seperti bencana erupsi Gunung Semeru dimana warga menyesalkan tidak adanya peringatan dini sehingga pada Sabtu lalu warga masih beraktivitas seperti biasa karena abainya peringatan dini dari pemerintah setempat.

Kepala Bidang Kedaruratan dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang mengatakan, selama ini tidak ada Early Warning System (EWS) di Desa Curah Kobokan. Padahal, alat tersebut penting untuk mendeteksi peringatan dini bencana. Hanya ada seismometer, itu pun di daerah Dusun Kamar A yang berfungsi sekadar memantau pergerakan air dari atas agar bisa sampai ke penambang di bawah. (Tribunnews.com, 5/12/2021).

Pentingnya mitigasi melalui pemanfaatan tekhnologi adalah poin utama agar bencana alam tidak lagi menimbulkan kemadharatan kepada manusia, maka mitigasi menjadi langkah yang harus diambil oleh Pemerintah.

Senada dengan yang dikatakan, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Azis Syamsuddin menekankan pentingnya mitigasi bencana melalui pemanfaatan teknologi.

“Mitigasi dan sistem peringatan dini yang mengedepankan teknologi digital sudah menjadi keharusan. Penerapan ini penting disosialisasi ke masyarakat,” kata Azis. (Merdeka.com, 11/04/21)

Namun tentunya Mitigasi berbasis teknologi memerlukan perbaikan, waktu dan anggaran pemulihan yang tidak sedikit. Negara harus mengerahkan seluruh kemampuan untuk mewujudkannya. Maka sungguh ini adalah hal yang berat bagi negara dengan sistem kapitalisme dimana negara hanya bertugas sebagai fasilotator bukan pe-riayah (pengurus).

Negara sebagai fasilitator hanya memfasilitasi kebutuhan lembaga-lembaga, baik lembaga luar negeri maupun dalam negeri. Bahkan kebijakan umumnya terlihat memihak lembaga tertentu atas pertimbangan untung dan rugi.

inti dari kegiatan mitigasi ialah untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya bencana alam, atau mengurangi efek dari bencana alam yang tidak dapat dihindari.

Khilafah, suatu negara yang menerapkan sistem Islam memiliki langkah konkrit untuk menangani masalah tersebut. Bahkan Negara mendukung penuh segala bentuk penelitian, bahkan memberikan bantuan dana, termasuk bidang mitigasi bencana.

Begitupun dalam pemanfaatan lahan, Khilafah bertindak tegas dalam aspek pembangunan infrastruktur maupun bangunan privat serta pengaturan tata guna lahan apakah area tersebut boleh dijadikan pemukiman atau tidak.

Selain itu, penjaminan atas kerusakan akibat bencana alam juga harus dipastikan. Khilafah tidak mengizinkan praktek asuransi dalam hal penjaminan ini. Penyediaan alokasi dana harus ditetapkan berdasarkan peniaian yang dilakukan oleh ahli mengenai potensi bahaya yang ada pada daerah tertentu dan potensi kerugian yang mungkin diderita ketika terjadi bencana alam.

Potensi bencana alam dapat dihindari dengan kebijakan negara Khilafah yang tidak saja didasarkan pada pertimbangan rasional, tetapi juga oleh nash Syariah. Langkah awal ketika terjadi suatu kejadian bencana alam, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam dalam sebuah hadist mursal yang diriwayatkan Ibn Abi al-Dunya.

Terjemahannya berbunyi, “Bumi pernah berguncang pada masa Rasulullah SAW.  Rasulullah SAW lalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan berkata, “Tenanglah … belum datang saatnya bagimu.”  Lalu, Nabi SAW menoleh ke arah para sahabat dan berkata, “Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian … maka jawablah (buatlah Allah ridha kepada kalian).

Maka langkah awal yang dilakukan ketika terjadi bencana alam ialah bertaubat sambil mengingat kemaksiatan apa yang dilakukan sehingga Allah menurunkan bencana alam tersebut kepada suatu kaum.Setelah itu barulah melakukan manajemen penanganan bencana alam yang disusun dan dijalankan dengan berpegang teguh pada prinsip syariat islam dimana seorang kepala negara wajib  melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *