Legislasi Investasi Miras Niscaya dalam Demokrasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Mesi Tri Jayanti (Aktivis Dakwah Kampus)

 

Konsep pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) yang menjadi landasan dalam negara demokrasi berulang kali telah melahirkan produk-produk hukum yang cacat fatal. Ketika tolok ukur kebijakan yang diambil hanya berasaskan pada kemanfaatan dan keuntungan belaka, maka  halal-haram tidaklah menjadi pertimbangan

Dengan dalih memperhatikan budaya serta kearifan lokal, pemerintah telah melegislasi minuman keras (miras) pada 2 Februari 2021 dengan ditanda tanganinya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal oleh  Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Sontak kebijakan ini manuai penolakan dari berbagai kalangan

Diketahui bahwa Perpres Nomor 10 Tahun 2021 merupakan turunan dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebelumnya, telah berlaku Perpres Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, sebagai penjabaran Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, menetapkan bahwa industri minuman beralkohol merupakan bidang usaha tertutup

Tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 terdapat ketentuan yang mengubah Pasal 12 UU Penanaman Modal tersebut dengan menetapkan minuman beralkohol tidak merupakan bidang usaha tertutup penanaman modal

Dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 itu, ditetapkan bahwa bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat

Berbicara tentang kearifan lokal, publik tentu tidak lupa bahwa baru saja bulan lalu aturan tentang seragam jilbab pada sekolah di Sumatera Barat sebagai penjelmaan budaya yang bernafaskan Islami justru dipermasalahkan hingga sengaja dibuat kebijakan khusus untuk mendapat penindakan secara tegas dari pemerintah pusat. Perlakuan yang berbanding terbalik jika memang alasannya memberikan perhatian terhadap kearifan lokal

Kearifan lokal tidak bisa pula dijadikan sebagai dalih untuk melegalkan minuman keras (miras). Melalui peraturan tersebut pemerintah justru akan membuat peredaran miras menjadi semakin terbuka. Na’udzubillahi mindzalik!

Regulasi miras ini pun nampak lebih mengedepankan pertimbangan dan kepentingan pengusaha daripada kepentingan rakyat. Sehingga fungsi negara sebagai pelindung rakyat tidak terlaksana. Selain itu jika mengacu pada  dengan nilai Pancasila dan tujuan bernegara, legalitas miras justru bertentangan dengan tujuan melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa

Kita bukan bangsa pemabuk. Tapi kenapa masyarakat khususnya untuk generasi justru dibuka keran yang mempermudah mereka mendapatkan miras. Bukankah kita bangsa yang berketuhanan? Miras adalah jalan setan, dan akan lebih besar kerusakannya daripada manfaatnya

Saat keberadaan miras dilarang dan dicegah saja masih tetap bisa beredar dan lolos. Apalagi dengan dilegalkan sampai eceran dengan dalih empat provinsi tertentu saja. Lantas pertanyaannya apakah nanti miras tersebut tidak didistribusikan ke provinsi lain. Ketika perdagangan miras sangat banyak ditemukan di masyarakat tentu  dengan Perpres tersebut peredaran miras menjadi lebih merajalela lagi

Ketika kemaksiatan telah nyata di depan mata apalagi sudah mendapatkan legalitas dari negara, maka bukankah ini hanya menunggu murka Allah SWT. Sebab Rasulullah SAW telah mengingatkan bahwa:

“Khamr adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling besar.” (HR. Al-Thabrani)

Sangat miris ketika menyadari bahwa kaum muslim saat ini hidup dalam kepemimpinan dengan sistem sekuler demokrasi yang justru mengabaikan aturan Ilahi. Menjadi suatu hal yang niscaya jika kita lihat perkara yang haram justru perlahan satu persatu menjadi legal oleh negara ini. Sehingga Indonesia yang notabene nya sebagai negara mayoritas muslim justru tidak menjamin terlaksana terjaganya syariat IslamIslam

Sungguh, umat butuh negara yang menjadi tameng dalam penerapan syariat Islam secara kaffah. Negara yang sentiasa menggerakkan segala fasilitasnya untuk melaksanakan amar makruf nahi munkar, bukan justru sebaliknya. Itulah negara dengan sistem Khilafah yang menjadikan akidah Islam sebagai pondasi dalam semua aspek kehidupan. Sehingga semua kebijakan maupun regulasi yang dibentuk mustahil bertentangan dengan hukum syara’. Semoga Allah SWT menyegerakan janjiNya dengan tegaknya Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah dan mencatat kita sebagai pejuang agamaNya. Wallahua’lam bish-shawwab[]

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *