Oleh : Arumi Nasha Razeta
Penggunaan ganja untuk tujuan medis belakangan kembali ramai diperdebatkan. Sebagian negara telah melegalkannya, tetapi tak sedikit pula yang masih menggolongkannya sebagai narkoba. Hal ini rupanya ikut menjadi perhatian PBB (persatuan Bangsa-Bangsa). Pada rabu (2/12), komisi PBB untuk obat-obatan narkotika (CND) menggelar pemungutan suara untuk menentukan ‘status’ ganja secara internasional. Termasuk klasifikasi ulang dari kategori obat yang paling berbahaya (Wartakotalive.com 3/12/2020).
Pelegalan status ganja
Voting dilakukan komisi narkotika PBB (CND) yang melibatkan 53 negara sebagai anggotanya. Hasilnya, 27 negara Eropa dan Amerika setuju, sisanya 25 negara lainnya menentang dan satu negara abstain. Setelah 59 tahun ganja masuk dalam daftar obat terlarang dan berbahaya, kini statusnya berubah menjadi legal. Dengan direstuinya rekomendasi Badan Kesehatan (WHO) yang menjadikan tanaman ganja untuk keperluan medis oleh PBB (CNBC Indonesia 5/12/2020).
Keputusan PBB ini membuka kesempatan untuk penelitian dan penggunaan ganja untuk kepentingan medis. Dengan menghapus ganja dan resin ganja dari agenda IV Konvensi 1961 tentang Narkotika (Tirto.id 3/12/2020). Tentu saja hal ini akan berimbas pada kebijakan medis diseluruh dunia termasuk Indonesia. Inilah satu bukti rusaknya sistem kapitalisme yang dianut negara-negara barat dan diekspor ke negeri-negeri kaum muslim.
Anggota komisi IV DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) – Rafli, mengusulkan untuk melegalkan ganja sebagai komoditas ekspor. Dia meminta pemerintah untuk melihat potensi yang ada dan dicari pasar luar negeri (cnnindonesia.com 30/01/2020). Menteri pertanian Syahrul Yasin Limpo pun sempat menetapkan tanaman ganja sebagai salah satu tanaman obat komoditas binaan Kementrian Pertanian. Ketetapan itu termaktub dalam keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 104/KPTS/HK.140/N/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementrian Pertanian. Namun tak lama berselang dicabutlah aturan itu, dia menyatakan bahwa pihaknya akan mengkaji dengan berkoordinasi dengan BNN, Kemenkes dan LIPI (antaranews.com 29/08/2020).
Padahal fenomenanya adalah Indonesia menduduki peringkat tertinggi dalam hal transaksi narkotika di Asia Tenggara. Dari 100 persen transaksi di wilayah ASEAN, 40 persennya berada di Indonesia (antaranews.com 16/01/2015). Hal ini diutarakan oleh Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BNN – Kombes Pol Sumirat Dwiyanto. Hasil survey penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika pada 13 ibukota provinsi pada kelompok pelajar sebanyak 3.21% setara dengan 2.297.492 orang. Sementara di kalangan pekerja sebesar 2.1% setara dengan 1.514.037 orang (bnn.go.id 26/06/19).
Pandangan Kapitalisme terhadap penggunaan ganja untuk keperluan medis
Dalam sistem kapitalisme, Kesehatan hanya dijadikan sebagai ladang bisnis dan sama sekali tidak peduli apakah dapat membahayakan manusia atau tidak. Selama sesuatu itu dapat mendatangkan keuntungan yang besar, maka apapun boleh diperjualbelikan apalagi bila permintaan pasar sangat besar.
Dilansir dari Bloomberg.com (9/11/2018) legalisasi ganja di Amerika mampu menghasilkan perputaran uang sebanyak $11 miliar pada 2018. Angka tersebut diperhitungkan akan melonjak menjadi $75 miliar pada 2030 atau setara dengan Rp. 1.059,791 triliun. Angka fantastis ini tentu tidak akan dilewatkan oleh kapitalis, sehingga menggunakan berbagai cara untuk membuka bisnis ganja dengan alasan medis.
Para penguasa kapitalis tidak akan pernah berfikir untuk membiayai riset guna menemukan obat-obatan terbaru dari bahan halal dan baik. Karena pastinya akan membutuhkan dana yang besar dan hal ini dipandang akan merugikan negara. Sistem kapitalisme yang berasaskan sekulerisme yakni pemisahan agama dari kehidupan meniscayakan pemisahan aturan agama islam dalam mengurusi negara. Sehingga halal dan haram tidak akan pernah menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Sistem demokrasi sebagai turunan dari ideologi kapitalisme yang diusung Indonesia, telah meletakkan kedaulatan menetapkan hukum berada ditangan manusia. Yang diwakilkan kepada segelintir orang di parlemen. Hal ini menjadikan aturan-aturan yang berlaku bersumber dari akal manusia yang duduk dikursi parlemen. Padahal manusia memiliki keterbatasan akal dan senantiasa diliputi hawa nafsu dan kepentingan. Tak heran jika mereka yang berkuasa akan menetapkan aturan yang menguntungkan segelintir elit.
Ganja yang mempunyai nama lain mariyuana adalah psikotropika mengandung tetrahidrokanabinol dan kanabidiol yang membuat pemakainya mengalami euphoria. Efek ganja memiliki dampak yang luas bagi tubuh, dapat mempengaruhi kesehatan tubuh dan pikiran jika terus-terusan dikonsumsi dalam jangka panjang. Penggunaan ganja yang berlebihan dapat mengganggu kemampuan dalam berpikir dan bisa menyebabkan kehilangan memori. Juga bisa mengganggu kesehatan mental seperti menyebabkan kambuhnya gejala psikosis pada mereka yang mengidap skizofrenia. Tidak hanya itu, ganja membuat seseorang mengalami halusinasi, delusi, meningkatkan rasa cemas dan serangan panik.
Ketika ganja dilegalkan menjadi komoditas obat, akan didapati kehancuran pada masyarakat, sebab dengan alasan obat, masyarakat dapat dengan mudah mengkonsumsi. Ditambah lagi dengan kesulitan ekonomi yang dihadapi, ganja bisa menjadi pelarian bagi mereka yang membutuhkan ketenangan hidup, stress dan depresi. Akhirnya masyarakat akan mulai tergantung pada obat-obatan hingga kehilangan independensi, bahkan tak mengerti ketika akal dan nuraninya dimanipulasi. Inilah kerusakan sistem kapitalis sekuler yang tidak layak untuk dipertahankan.
Penggunaan ganja dalam sistem Islam
Berbeda dengan islam sebagai sistem yang berasal dari wahyu Allah, sang penguasa langit dan bumi. Islam telah menetapkan bahwa sang pemimpin (khalifah) adalah pengurus urusan rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. al-Bukhari).
Khalifah adalah penguasa yang dipilih umat untuk menerapkan aturan-aturan islam saja, bukan yang lain. Maka dalam setiap kebijakan yang diambil, seorang khalifah wajib bersandar kepada halal – haram.
Syaikh Sa’aduddin Mus’id Hilali mendefinisikan narkoba sebagai materi atau zat yang menyebabkan hilangnya atau lemahnya kesadaran dan penginderaan. Deputi Pencegahan BNN mengatakan bahwa ganja mengandung lebih dari 500 zat kimia. Termasuk 100 komponen yang terkait dengan delta-9-tetrahydrocannabinol (THC) yang disebut dengan cannabinoids. THC adalah psikotropika yang merupakan senyawa utama dari ganja yang bertanggungjawab atas Sebagian besar efek psikologis ganja. Euphoria dan halusinasi yang ditimbulkan dengan penggunan ganja dapat merusak cara kerja syaraf pusat manusia sehingga menyebabkan gangguan jiwa (Halodoc.com 29/01/20)
Jumhur ulamapun telah mengharamkan narkoba dalam berbagai jenis baik itu ganja, opium, morfin, kokain, ekstasi dll. Haramnya narkobapun diterangkan dalam kaidah fiqih tentang bahaya (dharar) : hukum asal benda yang berbahaya (mudarat) adalah haram (Taqiyuddin An-Nabhani, Al Syakhsiyah Al Islamiyah, 3/456). Islam pun mengharamkan barang dan jasa yang haram untuk diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan ditengah masyarakat, termasuk dalam hal ini-ganja. Mengambil keuntungan dari barang haram tentu haram pula hukumnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan diadakan-Nya bagi tiap-tiap penyakit obatnya, maka berobatlah kamu, tetapi janganlah berobat dengan yang haram” (HR. Abu Daud)
Dengan begitu khilafah telah melakukan penjagaan terhadap individu dan masyarakatnya untuk hidup sehat sesuai syariat. Khalifah juga akan mendorong riset-riset terbaru didunia Kesehatan, untuk menjamin pelayanan kesehatan terbaik dan berkualitas bagi rakyatnya. Termasuk riset untuk menemukan obat-obatan terbaru yang aman dan tidak menimbulkan mudarat guna memenuhi kebutuhan pengobatan. Kesehatan dalam islam adalah kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi tanggung jawab Khilafah.
Wallahu ‘alam bissawab.