Oleh : Farida Widiyanthi, S.P
Tahun lalu, tidak ada satu pun perantau yang pulang kampung. Bukan tidak mau, tapi peraturan pemerintah melarang mudik karena pandemik. Setahun lebih berlalu, namun pandemik belum juga usai, sulit untuk diatasi atau kepengurusannya yang abai.
Situasi pandemik covid-19 yang belum berangsur normal membuat pemerintah akhirnya menetapkan untuk melakukan pelarangan terkait mudik Idul Fitri 2021. Hal ini ditindaklanjuti oleh Kementrian Perhubungan yang telah merencanakan untuk menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan terkait larangan mudik tersebut. Peraturan terkait larangan mudik yang akan dibuat oleh Kementrian Perhubungan ini sekaligus menyambut instruksi dari Menko PMK, Muhadjir Effenady, untuk mencegah penyebaran virus corona di Indonesia. (Jakarta, liputan6.com)
DESKJABAR- Kebijakan pemerintah yang melarang mudik diakui akan menekan tingkat konsumsi masyarakat. Pelaku usaha di daerah dan kegiatan pariwisata diprediksi akan banyak mengalami dampak negatif akibat kebijakan tersebut. Kalangan dunia usaha berharap pencairan bantuan social (Bansos) yang dijanjikan pemerintah pada masa lebaran 2021/ Idul fitri 1442H akan mampu mendongkrak konsumsi dan permintaan pasar sehingga bisa tetap mendorong pemulihan ekonomi. (deskjabar.pikiran-rakyat.com/ekbis).
Larangan mudik untuk yang kedua kalinya bagi rakyat, sepertinya membuat gigit jari, bukan tidak patuh terhadap peraturan, namun bingung dengan kebijakan. Karena, sektor pariwisata saat ini juga telah dibuka. Jika larangan mudik bertujuan menghambat laju penularan covid-19, sementara pariwisata dibuka dengan tujuan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi negara. Sungguh kebijakan yang sangat bertolak belakang. Masalah seperti ini sering kali terjadi, maka tak heran jika masalah pandemik ini sulit untuk diatasi. Standar ganda pengambilan keputusan akan menyebabkan pengambilan keputusan yang berlawanan pula.
Dalam bidang kesehatan, alasan kesehatan masyarakat tentunya menjadi prioritas utama. Berbagai kebijakan pandemik pun telah dilakukan. Namun, kebijakan ini tidak bersinergi dengan kebijakan ekonomi. Adanya target pertumbuhan ekonomi yang harus naik membuat pemerintah mengambil kebijakan membuka pariwisata.
Fakta yang terjadi saat ini, pertumbuhan ekonomi negeri saat ini mengalami pukulan berat. Pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) terkait Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal III/2020 yang mengalami kontraksi 3,49 persen secara tahunan, resmi mengukuhkan Indonesia dalam kondisi REsesi Ekonomi. Memasuki tahun 2021 , Indonesia langsung menambah tumpukan utang baru, menurut kementrian keuangan, per Februari utang Indonesia, mencapai Rp. 6.361 triliun, jika dibanding bulan sebelumnya kenaikan utang naik sebesarRp.128 T atau sebesar2,05 persen. Sementara jika secara tahunan, jumlah utang bertambah Rp.1.412,82 triliun atau 28,55 persen disbanding Februari 2020 yang masih Rp.4.948,18 triliun. Peningkatan utang ini terjadi seiring dengan gencarnya penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dalam setahun terakhir.
Beberapa ekonom memprediksi ekonomi Indonesia pada tahun 2021 bakal mengalami krisis. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya krisis ekonomi, seperti Besarnya akumulasi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), rapuhnya ketahanan fiscal, dan daya beli masyarakat yang semakin rendah.
Pendeknya usaha membuat pemerintah mencari cara cepat agar pertumbuhan ekonomi cepat naik. Kenapa ekonomi sangat penting, karena salah satu penentu standar kesehatan sebuah negara adalah pertumbuhan ekonomi. Jika, pertumbuhan tidak baik, maka perekonomian masyarakat juga tidak baik. Tidak tahu bahwa pertumbuhan ekonomi itu merupakan sumbangan dari beberapa orang saja. Pengambilan kebijakan berdasarkan untung dan rugi pun akan diambil, jika menguntungkan maka diambil kebijakan, begitupun sebaliknya. Oleh saebab itu sector pariwisata dibuka karena dinilai akan menguntungkan dari sisi nilai pertumbuhan ekonomi. Sumber utama keuangan negara saat ini berasal dari sector swasta yaitu pajak. Karena tulang punggung ekonominya adalah sector swasta, maka posisi Negaea (pemerintah) saat ini bergantung pada swasta. Karena, kuat tidaknya keuangan Negara sangat bergantung kepada Pembayaran Pajak dari sektor swasta ini. Dengan demikian kondisi perekonomian sektor swasta mengalami kenaikan, maka perekonomian negara juga mengalami kenaikan, begitu pun sebaliknya
Lalu bagaimana nasib rakyat? Dalam situasi saat ini, rakyat digunakan hanya sebagai pelengkap dari suatu kebijakan. Dua sisi mata pisau, kebijakan dibuat untuk memihak rakyat, namun kebijakan yang lain menusuk mereka.
Bagaimana islam mengatur rakyat
Kebijakan yang memihak rakyat hanya terlihat pada masa islam selama 13 abad memimpin dunia dibawah naungan khilafah. Dengan aturan islam yang diterapkan dalam semua aspek kehidupan, hidup rakyat sejahtera. Tak peduli mereka beragama islam atau bukan. Jelasakan kesejahteraan yang hakiki dalam ekonomi islam.
Pajak dalam Islam dikenal dengan istilah dlaribah, yaitu harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaranyang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi Baitul Mal kaum muslimin tidak ada uang atau harta. Sehingga pajak itu bersifat temporal, jika kekurangan sudah diatasi, maka pungutan harus dihentikan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Sedekah yang paling Baik adalah yang berasal dari orang kaya” (HR. Bukhari). Ada tiga Pilar dasar yang menjadi sumber pendapatan negara yaitu pembagian kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara dimana sector kepemilikan negara diolah oleh negara dan hasilnya digunakan untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya untuk kesejahteraan Pangan, Sandang, Pendidikan, Kesehatan dan keamanan.
Seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab saat terjadi wabah. Beliau dengan sigap mengambil kebijakan, seperti karantina totalwilayah wabah, pemberian bantuan pangan, hingga kebijakan ekonomi di wilayah lain yang tidak terdampak. Semua itu dilakukan oleh Khalifah Umar, karena beliau memahami bahwa tugas pemimpin adalah mengurusi urusan rakyat. Sebagaimana sabda RAsulullah SAW, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas mengurus rakyatnya” (HR. al-Bukhari).
Sebagaimana Khalifah Umar, seharusnya pemimpin yang baik itu memperhatikan rakyat, sehingga kebijakan yang diambil adalah untuk mensejahterakan rakyat, bukan untuk menindas, apalagi hanya untuk membuka pariwisata hanya untuk menaikkan ekonomi tapia bai dengan keselamatan rakyat. Oleh karena itu, saat ini yang dibutuhkan saat ini adalah pemimpin yang memiliki iman dan taat syariat. Dengan keimanannya pemimpin tersebut hanya akan takut kepada Allah SWT., sehingga kebijakan yang diambil tidak akan mencederai rakyatnya. Sebab, pemimpin yang taat akan menyadari bahwa segala kebijakanyang diambil akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Wallahua’lam bishawab.