Larangan Minol Penawar bagi Umat Muslim?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rosyati Mansur (Mahasiswa Bengkulu)

 

Kini wajah Demokrasi kembali menampakan sisi pragmatismenya. Nampak ketika ada  ada fakta yang menimbulkan masalah, mereka kemudian mencari solusi dengan kembali merancang undang-undang dapat dilihat bahwa fakta merupakan sumber munculnya sebuah peraturan.

Demikian pula halnya RUU Minol, yang sudah tampak keharamannya, merusak akal  bagi pengonsumsiannya. Tapi justru, solusi yang diusulkan, yaitu perlu penerbitan terhadap pendistribusian nya. Solusi parsial untuk menjawab masalah peredaran Minol. Ini, mengisyaratkan adanya syarat atas manfaat.. Sebagaimana yang disampaikan pada pembahasan  RUU tersebut larangan minuman berakohol tidak berkaitan langsung dengan Agama Islam, namun lebih berkaitan dengan aspek kesehatan dan moral generasi muda, bahkan salah satu fraksi Gerindra mengatakan bahwa usulannya tidak pernah mengharamkan Minol. (news.detik.com,17/11/2020)

Jelas bahwa dibahasnya kembali RUU Minuman berakohol tersebut bukan atas dasar Islam seperti yang dilansir dalam antarnews.com “ada yang menentang RUU ini karena kita bukan negara Islam saya katakan ini bukan soal negara Islam atau bukan, masa kita tidak boleh mengatur sesutu yang mendatangkan kerusakan bagi kesehatan dan moralitas anak bangsa, ujarnya (Selasa, 17/11/2020).

Timbul pertanyaan apakah dengan disahkannya RUU minuman beralkohol nanti mampu  menyelesaikan moral anak bangsa? mampu mewujudkan ketentraman dan kedamaian? mengingat industri Minol tetap ada, kemudian peredaran juga akan tetap berjalan hanya saja dibatasi dalam jumlah peredaran dan konsumennya. Pun walau ada sanksi yang diberikan yaitu mksimal sekitar 50 jt, itu tidak menutup kemungkinan akan tetap berlangsung ketika penggunanya mampu membayar denda tersebut. Tentu RUU Minol tidak akan mampu membuat jera pelakunya. Alhasil dengan disahkan nya RUU Minol ini tidak kemudian menyelesaikan persoalan yang ada.

Sudah menjadi tabi’at nya, dalam sistem Demokrasi ketika membuat peraturan maka yang akan menjadi pertimbangannya adalah manfaat. Andaikan dalam sistem demokrasi itu tidak memikirkan manfaat, maka tentu secara keseluruhan mereka akan menghapus segala sesuatu yang berhubungan dengan Minol tersebut. Namun karena asas manfaat tadi, mereka tidak peduli dengan hukum yang mengharamkan Minol. Tentu ketika mereka  menghapuskan peredaran  minol secara total, tidak ada income bagi negara. Karena pada kenyataan nya ketersediaan minol sangat menunjang eksistensi pariwisata dimata Dunia. Lagi dan lagi, yang menjadi pertimbangan ketika negara membuat kebijakan tentu semua itu akan mengacu kepada Manfaat dan kepentingan semata. Maka salah ketika kita mengharapkan sesutu yang muncul dari kebijakan Demokrasi- Liberal ini.

Lalu bagaimana Islam menuntaskan persoalan Minol? Tentu ketika Islam membuat kebijakan akan mengacu kepada halal- haram, Syariah Allah . Yang namanya Minol akan dihapuskan secara total dari akar hingga kedaunnya. Islam tidak akan membiarkan industri Minol berdiri ditengah- tengah masyrakat apalagi meredarkannya. Karena pada kenyataannya Minol sudah jelas keharamnnya. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah [Al-Baqarah: 219]

ۖ قُلْ فِيهِمَآ إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْـَٔلُونَكَ مَاذَا يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ

ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلْءَايَٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ يُنفِقُونَ قُلِ ٱلْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (QS. Al-Baqarah: 219).

Rasulullah pun dengan tegas melaknat dalam hal Minol sepuluh pihak: pemeras, yang meminta diperaskan, pembawa, peminum, yang minta dibawakan, penuangnya, pemakan harganya, penjualnya, pembelinya, dan yang minta dibelikan. (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Hadist tersebut menunjukan bahwa yang mendapatkan sanksi bukan hanya yang meminum khamarnya saja. tetapi kesepuluh orang diatas juga akan dikenai sanksi. Bagaimana sanksi nya dalam Islam? Tentu sanksi yang diberikan menimbulkan efek jera bagi pelakuknya. Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadist dikatakan:

“Nabi Muhammad SAW pernah mencambuk peminum khamar dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali.” (HR. al-Bukhairi, Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Sebagai seorang Muslim maka sudah tentu, sikap kita harus menjadikan syariah Allah sebaik-baiknya aturan dalam kehidupan. Tidak perlu lagi menimbang-nimbang manfaat. Pada dasarnya apa yang Allah perintahkan maka itu akan membawa kedamaian bagi seluruh alam. karena  Syariahlah tempat kita bersandar dari keruskan-kerusakan yang menerpa. Bukan sebalikya mengambil aturan yang sudah  jelas membawa kemudharatan dan kerusakan bagi manusia, menjauhkan kita dari Syariah-Nya.

Wallahu’alam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *