Lagi-lagi Banjir, Apa yang Salah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Siti Ma’rufah, S.Pd. (Guru)

 

Setiap tahun , Indonesia tidak pernah absen dari bencana banjir. Justru semakin kesini bencana banjir semakin meluas bahkan ke wilayah yang seharusnya aman dari banjir.  Sebut saja Kalimantan, salah satu pulau yang merupakan paru-paru dunia karena luas hutannya sekitar 40,8 juta hektar. Namun justru saat ini sering terjadi bencana banjir.

Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), jumlah luas kawasan hutan produksi untuk investasi di Kalimantan Barat (Kalbar) mencapai 12 juta hektare, dari total wilayah 14,7 juta hektare, meningkat lebih dari 100% dibandingkan rencana tata ruang hutan produksi sebesar 6,4 juta hektare. Inilah yang menjadi faktor terbesar penyebab terjadinya banjir.

Selain itu, baru-baru ini telah terjadi banjir bandang di Sukaresmi Garut. Menurut Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Garut, Nurdin Yana, bencana banjir bandang yang terjadi di wilayah Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, salah satu pemicunya adalah kerusakan kawasan hutan. Dengan kondisi tersebut, menurutnya perlu dilakukan reboisasi.

Dari beberapa fakta tersebut, dapat dikomentari beberapa hal :

Pertama, jelas bahwa bencana banjir yang terjadi disebabkan oleh ulah tangan manusia. Artinya, manusialah yang mengundang datangnya bencana. Sangat tidak relevan jika datangnya banjir tersebut disimpulkan karena faktor alam. Karena faktanya, pohon yang akarnya berfungsi menyerap air telah ditebangi untuk dirauk keuntungannya.

Kedua, Maraknya banjir khususnya di wilayah yang memiliki banyak hutan, mengingatkan kita pada lolosnya sebuah RUU pada tahun 2020. Sebut saja RUU Minerba yang pasal-pasalnya sempat mendapatkan kritikan keras dari banyak pihak khususnya masyarakat. Pasalnya 90% isi dan komposisi RUU ini hanya mengakomodasi kepentingan pelaku industri batubara. Selain itu tak ada pasal yang mengatur batasan operasi pertambangan di seluruh tubuh kepulauan yang sudah dipenuhi perizinan, tumpang tindih dengan kawasan pangan, di hulu dan daerah aliran sungai, menghancurkan kawasan hutan dan tumpang tindih dengan kawasan berisiko bencana. Alhasil saat ini mulai terasa dampak dari disahkannya regulasi tersebut.

Ketiga, alasan disusunnya RUU Minerba ini bahwa untuk memberi solusi terkait permasalahan negeri justru mendatangkan masalah baru yang semakin pelik. Banyak masyarakat yang kehilangan nyawa, kehilangan rumah dan lainnya. Hal ini semakin menunjukkan bahwa negeri ini memang berpihak kepada para kapital bukan kepada masyarakat. Sungguh berbeda dengan aturan Islam. Dalam Islam melarang adanya eksploitasi.  Islam memberi panduan jelas kepada manusia agar alam yang telah Allah SWT berikan dimanfaatkan dengan baik. Sebagaimana dalam QS. An-Nahl ayat 69,

“kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”.

Selain itu, Allah juga memberi rambu-rambu untuk manusia agar tidak melakukan kerusakan alam. Sebagaimana di sebutkan dalam QS. Ar-Rum ayat 41,

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Ayat tersebut, mengingatkan kepada manusia agar segera kembali kepada aturan Allah. Terjadinya banjir ini merupakan wujud dari ketidakpatuhan manusia terhadap aturannya Allah karena telah merusak alam yang telah Allah berikan untuk manusia.

Wallahu a’lam bish-Showaab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *