Kurikulum Prototipe, Dapatkah Atasi Pendidikan Anak Negeri?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rina Tresna Sari,S.Pd.I (Praktisi Pendidikan dan Member Amk)

 

Gelombang pandemi yang menyerang negeri, meninggalkan banyak dampak diberbagai sektor kehidupan. Salah satu sektor yang terimbas, yaitu pendidikan. Tingginya angka putus sekolah, tidak meratanya fasilitas pendidikan, gaji guru yang tidak layak, dan sejuta masalah lain menjadi daftar panjang masalah pendidikan yang harus diselesaikan.

Salah satu upaya dalam menghadapi karut-marut pendidikan kala pandemi melanda, yaitu diterapkannya kebijakan kurikulum darurat. Kurikulum ini ditetapkan dengan memuat penyederhanaan kurikulum nasional, melalui konsep PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Bertahan hingga lebih dari 15 bulan dan disusul saat ini dengan metode hybrid, tapi tidak dapat menjadi solusi yang solutif walau hanya sementara. Sebab, kurikulum ini tidak dikemas dengan landasan yang tepat, benar, dan kuat. Ujungnya, terjadi loss learning atau berkurangnya pengetahuan dan keterampilan siswa.

Sejatinya, masalah pembelajaran yang muncul selama pandemi tidak bisa hanya sekadar dipahami. Namun, harus tepat dalam memberikan solusi. Karenanya Kemendikbud memberikan terobosan pergantian kurikulum di tengah ketidakstabilan yang ada dengan kurikulum prototipe. Kurikulum ini ditawarkan Kemendikbud Ristek sebagai pilihan bagi sekolah dalam mengatasi kehilangan pembelajaran atau learning loss dan mengakselerasi transformasi pendidikan nasional.

Diterangkan bahwa kurikulum ini memiliki 3 karakteristik, yaitu pengembangan karakter, berfokus pada materi esensial, serta fleksibilitas perancangan kurikulum sekolah. Pelaksanaan kurikulum ini difokuskan pada sekolah penggerak yang di dalamnya ada para guru penggerak.

Secara praktik, kurikulum prototipe memuat lebih sedikit materi, termuat dalam 7 tema pembelajaran, yaitu gaya hidup berkelanjutan, kearifan lokal, bhinneka tunggal ika, bangunlah jiwa dan raga, suara demokrasi, merekayasa dan berteknologi untuk membangun NKRI, dan kewirausahaan.

Selain itu, penerapan kurikulum prototipe 2022 akan berdampak pada sistem Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Sebab, kurikulum prototipe 2022 ini akan menghapus sekat antara jurusan IPA dan IPS bagi lulusan SMA.

Kurikulum prototipe diluncurkan dengan harapan besar sebagai sarana pemulihan pembelajaran pascapandemi. Namun, apakah ini akan menjadi solusi yang solutif, atau bahkan sebaliknya?

Faktanya, kurikulum prototipe ini menuntut adanya beban kerja guru dan linearitasi guru pada sekolah. Beban kerja guru pada satuan pendidikan pelaksana kurikulum prototipe tersebut dapat dicapai jika jumlah guru sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, pemenuhan penataan linearitas guru dalam pembelajaran harus sesuai dengan ketentuan yang telah tercantum dalam Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi Nomor 371/M/2021 Tentang Program Sekolah Penggerak.

Adanya fakta tersebut membuka masalah baru. Kesenjangan pendidikan akan semakin tercipta karena adanya terobosan ini. Karena, kesenjangan pendidikan antarwilayah dan kelompok sosial-ekonomi di Indonesia tampaknya begitu ketara dan diperparah dengan adanya pandemi.

Berdasarkan riset, learning loss yang tercipta akibat adanya pandemi dan penerapan kurikulum darurat sebelumnya tidak merata terjadi. Pada wilayah timur Indonesia, tertinggal sekitar 8 bulan belajar dibanding mereka yang tinggal di wilayah barat. Siswa yang tidak memiliki fasilitas belajar, seperti buku teks, tertinggal 14 bulan belajar dibanding mereka yang memilikinya.

Ini menunjukkan bahwa kurikulum prototipe hadir hanya mampu diterapkan oleh sekolah dengan kualitas yang sudah bagus sebelumnya, sarat dengan fasilitas pengajar yang mumpuni dan cukup. Namun, tidak dengan sekolah-sekolah yang berlatarbelakang seadanya. Padahal, yang demikian itu tidak sedikit jumlahnya.

Dari sini tampak keberadaan kurikulum prototipe justru berpotensi memperburuk kesenjangan yang telah ada. Selain itu, menunjukkan bahwa negara hanya berputar pada solusi yang menyentuh permukaan, bukan akar. Hal ini juga menunjukkan lepasnya negara dari penjaminan mutu pendidikan bagi seluruh anak Indonesia. Padahal, kemerdekaan belajar dengan fasilitas terjamin adalah hak seluruh rakyat Indonesia.

Hal ini sangat wajar terjadi jika pendidikan masih saja berlandaskan pada sistem buatan manusia, kapitalisme materialistis. Kurikulum darurat ataupun kurikulum prototipe sebagai ide sistem ini bukan merupakan solusi solutif karena tidak menyelesaikan permasalahan.

Berbeda dengan Islam. Dalam Islam, pendidikan dipandang sebagai hal pokok yang harus ditunaikan negara untuk seluruh rakyatnya. Pendidikan dipandang penting karena Islam adalah agama yang sangat menomorsatukan ilmu.

Karena itu dalam Islam, negara haruslah menjamin hak berpendidikan rakyatnya, tanpa kecuali. Karena, setiap individu berhak mendapat pendidikan dengan fasilitas yang terjamin, tanpa terbebani dengan syarat-syarat yang menyulitkan untuk mendapat layanan terbaik. Dari konsep ini, maka tak mustahil akan tercipta pemerataan pendidikan di setiap wilayah dengan kualitas dan layanan terbaik bagi setiap warga negaranya.

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *