Oleh: Widya Amidyas Fillah (Pendidik Generasi)
Diskusi yang dilaksanakan secara hybrid dengan narasumber yang pusparagam, mulai dari lintas keilmuan, lintas generasi hingga lintas agama, dalam rangka membahas tentang buku zakat untuk korban kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditulis oleh Yulianti Muthmainnah, sekaligus ketua PSIPP ITBAD Jakarta. Dalam perspektifnya, korban kekerasan terhadap perempuan dan anak berhak menerima zakat dengan mendorong Lembaga-lembaga keagamaan, Lembaga-lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa, agar bisa membahas dan mengeluarkan fatwa agar zakat dapat dialokasikan, dapat diberikan kepada korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dalam sambutannya, Yuliani Muthmainnah menyampaikan “Bila fatwa Majelis Tarjih telah berpihak, pasti terus kita publikasikan dan terus kita kampanyekan. Misalnya, pada tahun 2019 kita fokus pada isu penghapusan perkawinan anak, bagian dari sosialisasi Fikih Perlindungan Anak tahun 2018 yang disahkan oleh Majelis Tarjih di mana usia pernikahan minimal 21 tahun dan fatwa Keluarga Sakinah, 2015. Lalu tahun 2020, kita fokus kepada isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak”, (Republika co.id, Selasa, 16/11/21).
Pendapat senada dan mendukung tema diskusi ini, Nevey V. Ariani, secara konseptual mengatakan bahwa korban kekerasan bisa menjadi penerima zakat karena termasuk kategori riqab atau orang-orang teranianya. Ia mengatakan supaya tidak memaknai konsep riqab secara tekstual.
“Riqab ini dalam konteks sekarang tidak boleh lagi dipahami secara tekstual. Ini dalam bukunya Mbak Yuli juga menarik terkait hal tersebut. Yaitu, orang-orang yang tereksploitasi secara ekonomi. Korban eksploitasi seksual dapat dikategorikan sebagai riqab yang berhak menerima zakat,” ujarnya sembari mengafirmasi pendapat Yuliani.
Berbicara tentang zakat, maka pengalokasian dananya tidak terlepas dari delapan asnaf atau orang-orang yang berhak menerima zakat. Jika kategori korban kekerasan perempuan dan anak menjadi salah satu asnaf penerima zakat, korban kekerasan dalam hal ini sangat luas sekali cakupannya. Serta dapat menjadi kategori yang samar serta menimbulkan keragu-raguan dalam mengklasifikasian riqab tersebut.
Lebih jauh, buku zakat untuk korban kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah salah satu upaya kaum moderat serta pejuang gender (feminis) dalam menggiring umat Islam untuk mengkritisi ajaran agamanya sendiri, bahkan tidak menutup kemungkinan membenci ajaran agamanya sendiri dengan dalih atas nama kemaslahatan manusia.
Sejatinya, sebagai seorang muslim, kita lah yang harus mampu menangkis arus moderasi, yang secara perlahan tapi pasti mulai merusak aturan-aturan Islam yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah. Bukan tidak mungkin, jika moderasi terus saja dibiarkan menancapkan benih hingga akarnya kuat, kaum musliminlah yang pada akhirnya akan hancur dengan kebencian terhadap agamanya sendiri.
Wallahu a’lam bishshawwaab[]