Kritik Kebijakan Dispensasi Nikah: Mencegah Nikah Dini atau Melegalkan Seks Bebas?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Alfita Ilfiyaningrum, S.T., M.T. (Komunitas Annisaa Ganesha)

Terjadinya wabah Covid-19 membuat beberapa protokol resmi mengalami perubahan. Hal ini juga terjadi pada pelaksanaan pendaftaran pernikahan di KUA seluruh Indonesia. Selain pembatasan prosesi pernikahan, pembatasan euforia perayaan pernikahan, hal lain yang dilakukan pemerintah dalam mengurangi dampak penyebaran wabah ini di masyarakat adalah pembatasan jumlah pendaftaran pernikahan di beberapa lokasi di Indonesia. Pendaftaran pun dilakukan melalui website untuk mengurangi banyaknya tatap muka, dan meskipun demikian beberapa kali website Kementerian Agama untuk Pendaftaran Pernikahan ditutup dalam kurun waktu tertentu.

Fakta yang berbeda di temukan di Jepara, Jawa Tengah. Dilansir dari jawapos.com (26/7/2020), bahwa selama pandemi terjadi kenaikan jumlah permohonan dispensasi menikah kepada KUA di wilayah tersebut. Kondisi mereka mengajukan permohonan dispensasi adalah dikarenakan pendaftar pernikahan merupakan anak-anak yang masih di bawah umur usia yang diperbolehkan menikah sesuai UU No. 16 Tahun 2019 tentang Pernikahan. Dalam undang-undang tersebut pernikahan untuk perempuan minimal usia 16 tahun dan laki-laki minimal 19 tahun. Lebih miris lagi, bahwa lebih dari 50 % alasan pengajuan dispensasi adalah karena pihak perempuan sudah hamil terlebih dahulu.

Terjadinya pandemi sulit untuk dilalui di semua aspek kehidupan khususnya urusan ekonomi keluarga. Telah terdengar diberitakan banyak kepala rumah tangga yang kehilangan pekerjaan karena sektor industri, perdagangan, dan mata pencaharian lain dilakukan pembatasan. Dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Susilowati Suparto mengatakan bahwa peningkatan angka pernikahan dini di masa pandemi salah satu faktor penyebabnya adalah masalah ekonomi. Untuk mengurangi beban keluarga, menikahkan anak merupakan salah satu jalan pintas yang dijadikan solusi (kompas.com).

Di Barat, seks bebas menjadi jalan pemuas nafsu, tak perlu menikah. Terlalu beresiko pernikahan dini yang dilakukan karena desakan himpitan ekonomi, hanya akan menambah masalah karena ketidaksiapan mental pasangan. Menjadi hal yang wajar memang jika di Barat, seks bebas justru dilegalkan. Karena setiap aturan negara yang dibuat dilandaskan asas kebebasan, kebebasan berperilaku, berpendapat, kepemilikan bahkan beragama. Inilah 4 kebebasan yang dijunjung tinggi negara yang berpaham demokrasi. Berbeda dengan Islam, dalam Islam Allah telah menurunkan pengaturan pendidikan dan sistem sosial yang akan membentuk anak siap memasuki dunia pernikahan. Berbeda dengan saat ini, sangat sedikit media yang menuntut anak berkembang secara positif. Hasilnya dapat ditemui saat ini, tontonan tidak senonoh sangat mudah ditemukan, sistem penjagaan dalam keluarga tidak didukung dengan penjagaan di lingkungan luar rumah.

Kejahatan dan pelecehan yang dilakukan anak-anak di bawah umur sangat sering muncul di pemberitaan. Sebagai masyarakat, harusnya menyadari bahwa ada kerusakan yang terjadi di lingkungan kehidupan secara sistemik yang berangsur merusak generasi. Penyebabnya adalah aturan hidup yang dipakai bukanlah aturan dari Sang Pembuat Kehidupan, aturan Islam dari Allah SWT.

Islam melakukan penjagaan generasi dari faktor-faktor eksternal dan internal yang kemungkinan akan menjerumuskan anak ke hal negatif.

Terdapat pendidikan dini untuk anak-anak memasuki lingkungan luar rumah dengan penguatan akidah oleh keluarga. Sistem di luar rumah terhindar dari campur baur dengan pemisahan laki-laki dan perempuan, aturan berpakaian sesuai syariat, larangan tabaruj (bersolek) saat ingin keluar rumah, dan masih banyak lagi. Aturan-aturan tersebut merupakan bentuk kasih sayang islam untuk menjaga manusia dari kejahatan diri dan lingkungan sekitar.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *