Oleh: Siti Maftukhah, SE. (LIngkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PT DI) Budi Santoso dan eks Asisten Direktur Utama Bidang Bisnis Pemerintah PT DI sebagai tersangka. Menurut Ketua KPK Firli Bahuri, keduanya diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam kegiatan penjualan dan pemasaran di perusahaan tersebut pada tahun 2007-2017. Korupsi terjadi karena pengadaan dan pemasaran dilakukan secara fiktif. Kerugian negara karena kasus ini ditaksir mencapai Rp 300 miliar. (https://nasional.kompas.com/read/2020/06/13/08065011/mantan-dirut-pt-dirgantara-indonesia-ditetapkan-sebagai-tersangka-korupsi?utm_source=Whatsapp)
Korupsi adalah salah satu cara untuk memperkaya diri/kelompok. Dan umumnya dilakukan oleh seseorang saat memiliki kekuasaan/jabatan. Hingga kini pemerintah masih terus berupaya untuk memberantas korupsi yang telah menggurita. Keberadaan KPK adalah salah satu upaya pemerintah untuk memberantasnya. Sayangnya, upaya itu hingga detik ini tak membuahkan hasil. Alih-alih korupsi mengecil atau turun trennya, malah semakin banyak kasus korupsi yang terjadi dan itu banyak dilakukan oleh pejabat negara.
Wajar jika kasus ini tidak mengecil malah membesar, karena akar persoalan munculnya korupsi tak diselesaikan. Memang bermacam-macam alasan orang melakukan korupsi. Namun yang pasti, yang menjadikan tumbuh suburnya korupsi adalah karena lingkungan yang kondusif untuk melakukan korupsi. Ya, sistem yang dianut oleh Indonesia, yaitu Kapitalisme membuat orang mudah untuk melakukan korupsi. Tidak ada aturan yang membatasi sistem ini. Aturan agama tidak boleh masuk dalam ranah perikehidupan masyarakat. Yang ada hanyalah kebebasan. Sehingga orang akan mudah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi, termasuk dengan korupsi.
Maka untuk menyelesaikan maraknya kasus korupsi, jalan satu-satunya adalah menghilangkan lingkungan kondusif yang membuat mudah orang untuk melakukan korupsi, yaitu mengenyahkan Kapitalisme dalam perikehidupan masyarakat dan menggantinya dengan sistem yang menjadikan aturan agama sebagai acuan dalam mengatur perikehidupan masyarakat. Dan itu hanyalah ada pada Islam. Karena Islam bukan hanya sekedar agama namun juga sebagai jalan hidup, yang tentunya akan mengatur seluruh perikehidupan manusia.
Dalam Islam, untuk menduduki sebuah kekuasaan tidak seperti halnya dalam sistem saat ini. Beberapa kedudukan dalam pemerintahan ditunjuk oleh Khalifah (sebagai pemimpin tertinggi dalam sistem Islam). Kepemimpinan dalam Islam disandarkan pada ketakwaan kepada Allah, dengan nuansa ukhrawi, sehingga meminimalkan kesewenang-wenangan dalam menjalankan amanah. Baik Khalifah maupun pembantu-pembantunya.
Untuk pemilihan Khalifah, Islam memiliki metode tersendiri. Yaitu dengan baiat. Setelah sebelumnya dipilih di antara kaum Muslim yang memiliki kriteria wajib dan keutamaan (afdholiyah) seorang calon Khalifah. Maka tidak perlu berbiaya mahal untuk pemilihan pemimpin dalam islam.
Tentu ini berbeda dengan sistem saat ini. Untuk bisa sampai pada puncak kekuaasaan, para calon harus menyediakan uang yang lumayan besar saat kampanye. Dan bisa jadi dana itu miliknya pribadi atau dapat sokongan dari pihak luar (berhutang misalnya). Jika sudah terpilih, berpikir bagaimana mengembalikan dana yang sudah dikeluarkan selama masa kampanye, apalagi jika dana itu adalah dana hasil meminjam. Di sanalah terdapat celah untuk melakukan korupsi dengan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya.
Ditambah lagi, dalam Islam, seorang Muslim paham bahwa kekuasan adalah sebuah kehinaan kecuali dia mampu menjalankan amanah kepemimpinan/kekuasaan tersebut. Wallahu a’lam[]