Korupsi “Mendarah Daging” Dalam Sistem Sekuler

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rohmatullatifah (Aktivis Dakwah)

 

Korupsi menjadi sesuatu yang kian “populer” di negeri ini. Sudah biasa dan menjadi rahasia umum bagi masyarakat. Korupsi kini semakin banyak melibatkan para pejabat yang berkuasa dan seolah tanpa henti terjadi.

Dari dulu hingga kini korupsi tidak juga pergi dari negeri ini. Maka dapat dikatakan korupsi menghancurkan moral sebagian anak negeri.

Dilansir dari merdeka.com (28/04/2021), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Menpan RB) Tjahjo Kumolo tak menampik masih mendapati PNS atau ASN yang terjerat korupsi.

Tjahjo menyebut setiap bulan Kemenpan RB memecat tidak hormat para PNS korup. Bahkan setiap bulannya ada sekitar 20-30% PNS yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap tetapi akhirnya terpaksa diberhentikan secara tidak terhormat.

Presentase itupun merupakan jumlah yang cukup tinggi, mengingat kasus korupsi terus saja terjadi. Seolah tiada kata jera bagi pelakunya. Bahkan di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir ini, meski rakyat menderita, korupsi tetap berkembang subur.

Penanganan korupsi di negeri ini pun masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Bahkan setiap tahun ada saja kasus baru yang melibatkan para ASN (Aparatur Sipil Negara) dan pejabat pemerintahan lainnya.

Kasus korupsi seolah menjadi hal yang biasa dilakukan. Tentu banyak alasan yang dijadikan tameng pelaku korupsi, di antaranya masalah kurangnya gaji yang diterima, adanya kesempatan, atau jalan mereka untuk masuk dalam kubangan tersebut. Hal ini tentu sangat jauh dari citra mereka di tengah masyarakat. Sosok yang seharusnya menjadi pelindung dan contoh teladan. Malah menjadi contoh yang buruk di tengah masyarakat.

Seperti dilansir dari republika.co.id (18/4/21), Survei LSI juga mendapati bahwa kurangnya pengawasan membuat PNS terdorong untuk melakukan korupsi. Survei mendapati kalau 49% kegiatan korupsi terjadi karena kurangnya pengawasan.

Sedangkan 34,8% responden menilai kalau keberadaan ada campur tangan politik dari yang lebih berkuasa juga menjadi faktor pendorong korupsi. Sementara 26,2% menilai perilaku koruptif akibat gaji yang rendah.

Sebesar 24,4% menilai korupsi merupakan bagian dari budaya atau kebiasaan di suatu instansi. Dan 24,2%  berpendapat korupsi dilakukan guna mendapat uang tambahan di luar penghasilan rutin.

Melihat besarnya kasus korupsi di negeri ini, tentu hal ini bukan hanya berbicara masalah penegakan hukum yang tegas bagi para koruptor. Tetapi, kasus-kasus korupsi telah menjadi peristiwa biasa dalam kondisi perpolitikan saat ini.

Bahkan korupsi telah dianggap lumrah dalam lingkaran para pelayan publik. Dapat dikatakan bahwa sistem saat ini yang berbiaya sangat mahal turut andil menyuburkan korupsi.

Bahkan, beberapa tahun silam pernah terbongkar adanya rutan “khusus” untuk pelaku korupsi, yang cukup nyaman dan berbanding terbalik dengan rutan pada umumnya.

Sehingga kita tidak bisa berharap banyak dengan sanksi yang mereka dapatkan.
Wajar jika angka pelaku korupsi kian hari semakin bertambah.

Karenanya, jika skandal megakorupsi aparatur negara menjadi masalah serius yang mengancam rusaknya sebuah negeri. Dan lebih dari itu, selain telah menjadikan para pejabat bermental korup yang tak takut kepada Allah SWT.

Di sistem sekarang juga masih terdapat pejabat-pejabat yang kurang jujur terhadap rakyat demi kepentingan pribadi, bahkan menganggap para pengemban dakwah Islam sebagai ancaman bagi kesatuan negeri.

Korupsi menggambarksn sifat manusia yang tidak puas dengan apa yang dimiliki, hingga lupa bersyukur. Akibatnya mereka mengambil jalan pintas untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan jalan memiliki hak yang bukan menjadi miliknya, yaitu dengan korupsi.

Inilah sebenarnya masalah besar yang menimpa negeri ini. Sebuah sistem buatan manusia, yang tegak di atas pandangan hidup sekularisme. Menganggap agama sebagai ancaman bagi kesatuan. Karena memang sekularisme tidak menginginkan agama ikut campur dalam kehidupan.

Sekularisme yang menjadi asas dalam sistem ini membuat masyarakat materialistik. Halal haram bukanlah standar kehidupan hingga syariah tidak lagi dianggap sebagai “pengikat” perbuatan. Maka meski berbagai upaya dilakukan, tapi sekularisme sebagai akar masalah luput dari perhatian, tidak heran jika korupsi tetap terjadi bahkan hampir di seluruh lapisan.

Negara seharusnya menyadari, korupsi adalah problem sistemik, namun solusi yang diambil bersifat parsial seperti ancaman pemecatan dan pemberian sanksi tanpa banyak menyentuh kritik demi perubahn sistem. Korupsi tidak cukup diatasi dengan kelembagaan, penyelesaian secara sistematis mutlak dilakukan.

Solusi dalam Islam

Islam sangat melarang segala bentuk kedzaliman. Termasuk bentuk korupsi, atau memakan harta sesama dengan cara yang salah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (TQS. An- Nisa :29).

Pemberantasan korupsi dalam Islam menjadi lebih mudah karena individu, masyarakat dan negara dibangun di atas dasar ketakwaan. Spirit ruhiah yang ketika menjalankan hukum-hukum Islam, berdampak pada mengakarnya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat.

Adapun sanksi tegas yang diberlakukan sesuai dengan firman Allah “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (TQS. Al-Maidah: 38).

Sanksi tegas diterapkan untuk menimbulkan efek cegah dan jera. Bentuk dan kadar sanksi diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau qadhi, bisa dalam bentuk penyitaan, tasyhîr (diekspos), penjara, hingga hukuman mati.

Kesejahteraan para pegawai dengan penggajian yang layak menjadi perhatian negara. Negara juga memberlakukan sistem perhitungan harta sebelum dan setelah menjabat untuk mencegah terjadinya pembengkakan harta serta melarang praktik suap.

Penerapan syariah secara menyeluruh membuat korupsi tercabut dari akarnya. Maka, jelas bahwa syariah adalah kebutuhan yang akan membawa pada sempurnanya kemaslahatan yang diinginkan.

Karenanya, kita butuh penguasa yang bersih dan amanah. Kita juga butuh sistem yang bersih dan menjadikan Indonesia penuh berkah. Sistem yang menjadikan iman dan takwa sebagai kekuatan negeri sehingga Allah akan melimpahkan keberkahan dari langit dan bumi.

Wallaahu  a’lam bishshowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *