Korupsi Kian Subur, Saatnya Ganti Sistem

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)

 

“Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) diantara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum). Namun, jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari no 6788 dan Muslim no. 1688).

Jagat dibuat geram dengan kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Dilansir dari laman cnnindonesia.com (Selasa, 15 Juni 2021), hukuman terhadap beliau dikurangi dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. “Penegak hukum kita terlalu gegabah melihat tindak pidana yang dilakukan oleh seorang penegak hukum. Harusnya hukuman [banding] diperberat, bukan dipotong jadi empat tahun,” kata Fickar, Pakar hukum pidana Universitas Trisakti.

Berikut hal-hal yang menjadi pertimbangannya. Pertama, Pinangki sudah mengakui kesalahannya dan menyesali perbuatannya. Hakim juga mempertimbangkan statusnya sebagai seorang ibu dari anak berumur empat tahun. Juga sebagai seorang wanita, dimana harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil. Lanjut menurut hakim, perbuatan Pinangki tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggungjawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi keputusan ini. (cnnindonesia.com, Senin, 14 Juni 2021)

Jaksa Pinangki dketahui terjerat pasal berlapis. Diantaranya Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atas penerimaan suap USD 450 ribu dari Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa di Mahkamah Agung (MA). Dalam hal ini beliau juga melanggar Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor terkait pemufakatan jahat. Selain itu, Pinangki melanggar pasal pencucian uang, yaitu Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan TPPU. (news.detik.com, Minggu, 20 Juni 2021)

Maka, dengan jeratan pasal berlapis ini, harusnya hukumannya diperberat, bukan malah diberi diskon. Selaras dengan penilaian ICW, semestinya hukumannya diperberat menjadi 20 tahun atau seumur hidup. Apalagi, Ia merupakan seorang penegak hukum yang justru mengkhianati hukum itu sendiri. Sungguh, hal ini benar-benar menorehkan noda besar di wajah keadilan. Pada akhirnya berdampak pada penurunan kepercayaan publik pada lembaga tersebut.

Lalu, jikalau keringanan hukuman yang diberikan karena beliau seorang perempuan dan ibu, apakah hal ini berlaku juga untuk ibu dan perempuan lainnya? Jika berkaca pada kejadian sebelum-sebelumnya, hal ini belum pernah terjadi. Misalnya, Angelia Sondakh, anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat, terdakwa kasus dugaan penerimaan suap kepengurusan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan Nasional. Beliau awalnya divonis 4,5 tahun penjara, namun pada saat kasasi, hukumannya diperberat menjadi 12 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta. Padahal, beliau merupakan orangtua tunggal. (nasional.kompas.com)

Begitulah, jikalau ditelurusi terlalu banyak kejadian serupa. Maka, pertimbangan dari hakim terkait keringanan untuk eks jaksa Pinangki dengan dalih tersebut adalah sebuah hal yang harus ditolak mentah-mentah, karena terkesan memaksa. Mana mungkin dikatakan demi keadilan, apabila berlaku untuk orang-orang tertentu saja? Sungguh, merupakan sebuah kezaliman.

Kejadian ini harusnya menampar kita, bahwa hukum buatan manusia mengandung banyak kelemahan dan kecacatan. Pun rentan dipermainkan dan selalu digunakan untuk kepentingan orang-orang tertentu. Maka, sangat mustahil apabila hukum ini (baca: buatan manusia) bisa mencegah kejahatan serta melahirkan keadilan. Sungguh, yang didapat hanyalah kezaliman.

Sejatinya, masalah korupsi, suap-menyuap dan lainnya tak akan bisa terselesaikan jikalau masih bernaung di sistem demokrasi kapitalisme. Mengapa demikian? Hal ini karena pejabat-pejabat yang terpilih, yang menduduki kursi jabatan telah mengeluarkan biaya yang begitu banyak, sebelum dan saat pesta rakyat. Maka, mereka akan berusaha untuk mengembalikan dana itu, apapun caranya.

Apalagi, politik dalam kacamata kapitalisme ialah seni untuk meraih kekuasaan. Sehingga, tatkala mereka sudah berada pada jajaran pemegang kekuasaan, fokus mereka hanyalah materi. Kesejahteraan rakyat tentu tak masuk dalam list.

Ditambah individu-individu yang lahir dan diasuh sistem ini diajarkan untuk fokus pada kebahagiaan dunia. Maka terbentuklah individu-individu yang kurang pemahaman agama, bertindak berlandas nafsu semata, tak kenal halal haram, bahkan ada yang menyangsikan pertanggungjawaban di akhirat. Sungguh, kefasadan komplit yang lahir dari sistem buatan manusia. Sehingga, untuk menghilangkan korupsi, butuh sebuah sistem yang sahih, tentunya bukan buatan manusia.

Adalah sistem Islam, sistem yang berasal dari Sang Pembuat Aturan, Allah Swt. Maka, tentu tak akan ada kezaliman yang tercipta. Aturannya yang lahir dari akidah Islam akan menjadi solusi bagi setiap permasalahan umat, termasuk korupsi.

Individu-individu, para pemangku jabatan, semuanya sadar betul bahwa Allah senantiasa melihat yang dikerjakan. Selain itu, di dalam diri mereka melekat kuat keyakinan bahwa perbuatan-perbuatannya di dunia akan dibalas di pengadilan akhirat nanti.

Selain itu, untuk memangku jabatan, tak memakan biaya layaknya di sistem hari ini. Mereka dipilih berdasarkan kriteria-kriteria yang sesuai syariat Islam, misalnya adil, bertanggung jawab, dan lainnya serta berkepribadian Islam. Karena sejatinya, mereka nantinya akan menjadi pelayan rakyat. Maka, nihil tercipta pejabat penyuap dan koruptor.

Islam juga melarang para aparat negara menerima suap dan hadiah. Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi saw. berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).

Lebih lanjut, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Hal ini seperti yang dicontohkan khalifah Umar bin Khaththab. Jika beliau merasa ragu dengan kelebihan harta pejabatnya, Ia akan membagi dua hartanya dan memasukan harta itu ke baitulmal. Ia juga tak segan merampas harta yang diberikan oleh para pejabatnya kepada karib kerabat mereka.

Selain itu, jikalau ada pelaku korupsi maka akan dihukum dengan hukuman yang menjerakan. Agar menjadi cambuk bagi yang lain, mencegah munculnya koruptor-koruptor baru. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).

Begitulah Islam dan segala kesempurnaan aturannya. Apabila diterapkan secara sempurna, tentu mencegah terjadinya korupsi dan akan tercipta keadilan serta kemaslahatan. Sebaliknya, apabila masih loyal pada sistem kapitalisme, korupsi mustahil sirna, ketakadilan pun merajalela.

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *