Korupsi di Indonesia : Bisnis dan Investasi Yang Menggiurkan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Taofik Andi Rachman, M.Pd.

 

Di negeri ini, menjebloskan koruptor yang memiliki jabatan, kekayaan dan pengaruh politik ke dalam penjara tidaklah mudah. Data narapidana korupsi pada tahun 2018 di Indonesia sebanyak 4.552 dari 248.690 tahanan atau 1,8% dari total narapidana. Tetapi kemampuan mereka mempengaruhi bagaimana penjara dikelola memiliki angka jauh lebih besar. Narapidana koruptor bisa meminta fasilitas dan service tambahan dari sel penjara yang mewah sampai akses ke ponsel (theconversation.com, 27/06/2018).

Pakar hukum pidana I Gede Widhiana Suarda, Ph.D. menyatakan bahwa jika masih ada menteri yang melakukan tindak pidana korupsi, ini merupakan indikator bahwa hukuman bagi koruptor di Indonesia tidak berfungsi. Putusan hakim tidak punya efek jera sehingga tidak berdampak pada penurunan kasus korupsi (republika.co.id, 07/12/2020).

Korupsi sampai kini masih menjadi masalah besar karena pelakunya adalah para penguasa tingkat atas. Narapidana korupsi pun sering mendapat perlakuan istimewa. Bahkan koruptor yang sedang menjalani hukuman penjara bisa mendapat privilege. Peneliti dari Lembaga Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) mengatakan, korupsi yang ada di Indonesia justru menjadi “subsidi” kepada koruptor dari negara. Ini karena, uang yang dikembalikan koruptor kepada negara nilainya justru lebih kecil dari jumlah korupsinya (regional.kompas.com, 06/04/2016)..

Berikut beberapa keistimewaan dan keuntungan dari korupsi di Indonesia sehingga bisa menjadi bisnis dan investasi untuk mendapatkan dana yang menggiurkan bagi pribadi, komunitas dan partai.

 

  1. Sulit Ditangkap Jika Ada Uang dan Koneksi Kuat

Sampai hari ini, terdapat nama-nama buronan kasus korupsi jadul yang masih belum ditangkap oleh penegak hukum Indonesia. Buronan-buronan ini seperti Eddy Tansil (buronan kasus penggelapan uang 430 juta dolar AS yang terakhir terlacak di Tiongkok), Hanggoro Wendaretno (buronan koruptor Rp 37 triliun yang divonis 16 tahun yang terakhir berada di Singapura, Anton Tantular (buronan kasus korupsi Century), Hendro Wiyanto (kasus korupsi bailout Century) dan lain-lain. Paling anyar, buronan yang masih jadi perbincangan yaitu buronan KPK Harun Masiku. Harun Masiku merupakan seorang politikus PDIP yang menjadi buron sejak Januari 2020 (tirto.id, 23/06/2021).

 

  1. Masih Mendapatkan Gaji dari Negara

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyatakan bahwa Jaksa Pinangki Sirna Malasari ternyata selama ini masih menerima gaji walaupun telah mendekam di Lapas kelas IIA Tangerang. Jaksa Pinangki dinyatakan terlibat kasus Djoko Tjandra dan kini sudah divonis penjara. Sehingga MAKI meminta Kejaksaan Republik Indonesia untuk memberikan pemberhentian tidak hormat (PTDH) karena kasus Pinangki telah inkrah. Jika status pegawainya tidak diberhentikan maka hak gaji tadi masih bisa diterima (pekanbaru.tribunnews.com, 05/08/2021).

 

  1. Keuntungan Sangat Besar dengan Hukuman Finansial Rendah

Hukuman finansial merupakan gabungan nilai hukuman denda, hukuman pengganti dan perampasan aset-barang bukti. Hukuman ini pada koruptor tidak maksimal dijalankan padahal mereka sangat takut jika dimiskinkan. Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), seluruh kerugian negara atas korupsi pada tahun 2001-2015 mencapai 203,9 triliun rupiah. Namun hukuman berupa denda dan sita aset hanya terkumpul Rp 21,26 triliun. Sehingga negara harus melakukan subsidi sebesar Rp 182,64 triliun untuk koruptor (beritagar.id, 05/04/2016).

Sedangkan pada tahun 2020, besaran korupsi mencapai Rp 56,7 triliun. Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut uang pengganti yang kembali ke negara atas kerugian kasus korupsi pada 2020 hanya berjumlah Rp 8,9 triliun (kompas.com, 22/03/2021).

Ketimpangan ini disebabkan salah satunya oleh rendahnya tuntutan jaksa atas hukuman finansial bagi pelaku korupsi. Karenanya, para koruptor membayar uang pengganti jauh di bawah nilai nominal yang dikorupsi. Secara ekonomi, para koruptor tetap menjadi kaya dan untung banyak meski sudah dipenjara dan membayar uang pengganti.

 

  1. Vonis Ringan di Pengadilan

Tidak ada pelaku kejahatan dan kriminalitas di Indonesia yang lebih beruntung dari para koruptor. Tidak sepeti kejahatan lain mereka menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan untuk memperkaya diri dan dibuat seolah-olah legal. Ketika mereka tertangkap dan terbukti, hukumannya pun terhitung ringan. Hampir tidak ada koruptor yang dituntut hukuman maksimal dan selalu berakhir vonis yang lebih ringan dari tuntutan jaksa.

Paling baru, dalam kasus pengurusan red notice dari Djoko Tjandra, perantara suapnya, Andi Irfan Jaya dituntut hanya 2,5 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum. Bahkan perantara suap lainnya, Tommy Sumardi divonis 2 tahun penjara (republika.co.id, 29/12/2020).

Dalam menanggapi ringannya tuntutan dan vonis dalam kasus ini, Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) Allan Fatchan Gani menyatakan bahwa pemberantasan korupsi tidak akan pernah maju jika penuntut umum dan majelis hakim masih melihat jenis kriminalitas ini hanya kriminalitas biasa. Allan menyarankan jaksa penuntut umum untuk mempertimbangkan perkara-perkara yang memberatkan ketika menuntut koruptor, khususnya kasus Djoko Tjandra yang faktanya hukum tidak dapat ditegakkan dengan baik.

Begitu juga Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan tren hukuman terhadap terdakwa korupsi pada periode semester I di tahun 2020 lalu dinilai masih ringan. ICW memantau sepanjang Januari 2020 hingga Juni 2020 tahun lalu, para koruptor rata-rata dihukum hanya 3 tahun penjara saja (beritasatu.com, 12/10/2020). Begitu juga tahun ini terlihat tidak terlalu berubah seperti vonis Djoko Tjandra 3 tahun 6 bulan penjara dan Pinangki Sirna Malasari 4 tahun penjara (infoindonesia.id, 25/08/2021).

 

  1. Fasilitas Sel Mewah

Setelah jaksa Pinangki mendapatkan vonis, perlakuan istimewa terhadapnya masih juga berlanjut. Diduga isi kamarnya berbeda dengan yang lain (pekanbaru.tribunnews.com, 05/08/2021). Fasilitas kamar atau sel mewah para koruptor sudah menjadi pengetahuan umum.

Sebagaimana penampakan sel tahanan Setya Novanto, Nazarudin dan Joko Susilo di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Sukamiskin, Bandung, di tahun 2019 (tribunnews.com, 22/12/2019). Sel penjara mereka memiliki luas sekitar 3 x 7 meter persegi padahal ukuran standar sel napi adalah 3 x 1,2 meter persegi. Terlihat lantai sel telah berlapis kayu. Di dalamnya ada kitchen set dan dua exhaust fan. Ada juga furnitur meja dan empat kursi untuk tamu, serta dua kasur spring bed salah satunya terlihat besar. Tampak juga fasilitas wastafel dengan lantai marmer. Di atas kasur, ada rak buku berisi buku bacaan (liputan6.com, 24/06/2018).

Tentunya dengan harga tertentu, para koruptor bisa mendapatkan fasilitas AC di dalam sel yang terdapat kulkas dan TV berlayar lebar. Mereka pun bisa memperoleh barang terlarang di lapas seperti laptop, ponsel, smartphone dan gadget lainnya (theconversation.com, 27/06/2018). Para koruptor pun selalu mendapat makanan yang enak-enak bahkan makan bisa dipesan dari restoran yang baru dibuka, kalau musim durian, dapat durian yang paling bagus, dapat anggur berpeti-peti (kompas.com, 17/07/2012).

 

  1. Bisa Keluar Sel walaupun pada Masa Hukuman

Setya Novanto  selain memiliki sel mewah, dia juga bisa pelesiran ke Kabupaten Bandung Barat  dan juga sempat terlihat di Restoran Padang di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat padahal masih menjalani hukuman penjara atas kasus korupsi E-KTP.

Inilah fasilitas lain yang bisa dinikmati para korupsi yaitu berupa izin keluar. Izin ini awalnya hanya untuk berobat namun memungkinkan mereka untuk meninggalkan penjara selama berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu sesuai izin yang diberikan. Izin keluar berdasarkan surat rujukan dari dokter penjara dan persetujuan kepala penjara. Kesempatan ini tentunya menciptakan praktik suap. Lebih hebatnya lagi, keberadaan mereka di luar penjara tidak dapat diketahui karena sistem pengawasan yang tidak ada. Sehingga mereka bebas berkeliaran sebagaimana koruptor Gayus Tambunan yang dapat pergi jauh hingga ke Bali dan bahkan ke Macau padahal masih dalam masa penahanan (theconversation.com, 27/06/2018).

 

  1. Mampu Mengendalikan Penjara dan Mendapatkan Penghormatan

Ketika kebutuhan fisik sudah terpenuhi dengan berbagai keistimewaan, para koruptor bisa mengendalikan penjara yang dihuninya. Tentunya ini menggunakan uang dan pengaruh dirinya. Pengaruh, mereka dapatkan dengan berkontribusi dalam program rumah tahanan berupa dukungan finansial yang tidak bisa dipenuhi seluruhnya oleh anggaran negara. Dukungan finansial ini membuat mereka mendapatkan penghormatan dan perlakuan berbeda dari pengelola tahanan sebagai imbalannya. Misalkannya, narapidana korupsi bisa membantu pengurus penjara dalam program pembinaan keterampilan tertentu bagi narapidana lain. Seperti biasa, Pemerintah mewajibkan program pembinaan tersebut namun tidak menyalurkan dana yang memadai. Pada kasus Bob Hasan saat menjadi narapidana korupsi di Nusakambangan, pengusaha industri kayu ini membantu pengelola lapas untuk mengembangkan bengkel kerja untuk membentuk keahlian narapidana lain. Bahkan, narapidana korupsi juga terkadang membantu petugas secara keuangan dalam memenuhi kebutuhan mereka dan keluarga tanpa diminta seperti uang sekolah anak atau bantuan hajatan pernikahan keluarga (theconversation.com, 27/06/2018).

 

  1. Bisa Dapat Potongan Hukuman dan Remisi

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa pada 2019-2020 terdapat 134 koruptor dibebaskan atau dipotong hukumannya melalui kasasi atau peninjauan kembali di MA. Baru-baru ini, Jaksa Pinangki yang merupakan terpidana kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang mendapatkan potongan hukuman cukup fantastis dari 10 tahun hukuman penjara menjadi 4 tahun. Begitu juga vonis Djoko Tjandra juga mendapatkan potongan dari 4 tahun 6 bulan menjadi 3 tahun 6 bulan penjara (infoindonesia.id, 25/08/2021).

Tidak hanya itu Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) sering memberikan remisi umum kepada koruptor dalam kesempatan tertentu. Misalkan dalam rangka HUT RI ke-76 ada 214 orang narapidana koruptor mendapat remisi (tirto.com, 13/05/2021).

Pada tahun 2016 saja mantan Wakil Ketua KPK, Laode Syarief, menyatakan usulan remisi koruptor datang hampir setiap pekan (bbc.com, 11/08/2016).

 

  1. Di Penjara Masih Memiliki Pengaruh Politik dan Melakukan Usaha

Banyak narapidana korupsi masih memiliki pengaruh politik yang sangat besar meskipun ada di dalam penjara. Mereka bisa mengatur gerakan dan dukungan dari sejumlah kalangan dari pemerintahan dan parlemen. Misalkan, Ada seorang anggota parlemen meminta kepada Direktur Jendral Pemasyarakatan saat itu agar bisa kerja sama antara narapidana korupsi dan pengelola penjara tertentu untuk menciptakan kondisi sel yang lebih manusiawi. Anggota parlemen ini merupakan rekan dari koruptor di penjara tersebut yang menghadapi pimpinan penjara yang kurang kooperatif (theconversation.com, 27/06/2018).

Interaksi ini menunjukkan politik tingkat tinggi yang berusaha mempengaruhi otoritas penjara dalam menangani koruptor di penjara. Jika kepala penjara mau bekerja sama dengan narapidana korupsi maka ditawarkan promosi jabatan yang lebih tinggi. Namun jika mereka menolak, jabatan mereka akan dinilai buruk hingga kehilangan jabatan.

Bahkan, di penjara, narapidana korupsi masih bisa mengatur dan menjalankan bisnis pribadi sebagaimana Nazaruddin dan Artalita Suryani (Kompas.com, 18/02/2016).

 

  1. Setelah Bebas Masih Kaya dan Mendapatkan Jabatan Penting

Narapidana kasus korupsi Izedrik Emir Moeis setelah bebas ditunjuk menjadi komisaris PT Pupuk Iskandar Muda. Sebelumnya, pengadilan menghukum politikus PDI Perjuangan ini dengan 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan. Oleh karenanya Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak Menteri BUMN Erick Thohir segera membatalkan Izedrik Emir Moeis dari jabatannya sebagai komisaris (cnnindonesia.com, 06/08/2021).

Mereka menyatakan bahwa masih banyak orang yang baik, yang bersih dan integritasnya bisa dipercaya untuk menjadi komisaris. Pemberantasan korupsi di lingkungan BUMN akan susah dilakukan jika petinggi di perusahaan pernah korupsi.

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mendesak ada peraturan yang melarang residivis kasus korupsi mencalonkan diri menjadi pejabat publik. Desakan ini berkaca dari kasus Bupati Kudus yang sudah pernah dipenjara karena korupsi dan dia mengulangi lagi. Tamzil menjadi narapidana tindak pidana korupsi dua kali di Pemkab Kudus. Dia sudah divonis bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus saat menjabat bupati juga pada kasus suap mutasi jabatan (tirti.com, 30/07/2019). Sehingga terlihat janggal jika eks narapidana korupsi menjadi komisaris atau jadi penyuluh antikorupsi sebagaimana isu yang berkembang.

Inilah masalah korupsi di Indonesia yang semakin memburuk. Di lain pihak keampuhan penegak hukum khususnya KPK sudah semakin melemah menuju kematian. Padahal tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Korupsi termasuk ke dalam golongan tindak pidana khusus, sehingga memerlukan langkah dan tindakan khusus untuk memeranginya. Namun jika semunya memburuk dan bercelah maka kejahatan ini hanya menjadi mainan dan menjadi lahan bisnis untuk mendapatkan dana baik individu, kelompok ataupun partai.

Wa Allahu A’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *