KORUPSI DAN POLITIK DINASTI BUAH DEMOKRASI

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Faiha Hasna (Pena Muslimah Cilacap)

 

Persoalan korupsi di negeri ini seolah tidak ada habisnya. Korupsi telah menjadi persoalan serius birokrasi negeri ini, namun hingga kini belum juga usai. Seakan telah menjadi regenerasi koruptor. Baru -baru ini komisi pemberantasan korupsi atau KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap menangkap Bupati Bogor Ade Yasin. Ade dan tiga anak buahnya ditangkap KPK pada 27/4/2022. Mereka diduga menyuap 4 orang Auditor BPK Perwakilan Jawa Barat sebesar 1,9 miliar rupiah demi mendapatkan predikat opini WTP dalam laporan keuangan pemerintah Kabupaten Bogor tahun anggaran 2021.
Dikutip dari kompas.com, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menilai kasus dugaan suap yang membelit Bupati Bogor Ade Yasin adalah contoh kegagalan dalam proses kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik. Sementara peneliti TII Wawan Heru menilai, penangkapan Ade Yasin mengingatkan tentang korupsi yang berkaitan dengan dinasti politik di Indonesia. Ia menilai dinasti politik berkorelasi dengan biaya kontestasi politik sehingga mengarah kepada tindakan koruptif.Pasalnya, kasus Dinasti Politik yang akhirnya membuat Kepala Daerah masuk bui bukan kali ini saja. Hal ini sama juga menyeret eks Gubernur Prov. Banten. Wali Kota Cimahi 2012-2017, Bupati Banyu Asing 2013- 2018, Bupati Kutai Kartanegara 1999-2010. Wawan memandang politik Dinasti sulit untuk diberantas. Ia menegaskan hak memilih dan dipilih adalah salah satu sandungan politik dinasti. Politik Dinasti dalam demokrasi memang meniscayakan makin banyaknya celah korupsi. Sebagaimana dipahami bahwa politik demokrasi dikenal sangat mahal sebab, membutuhkan biaya iklan hingga sogokan untuk membeli hati dan suara rakyat. Dan rata -rata mereka disokong para pemilik modal yang berharap mendapat keuntungan di belakang.

Adapun bagi keluarga para pemilik kekuasaan, tentu sebagian hambatan sudah terselesaikan. Mereka tak butuh modal banyak untuk mengiklankan diri dalam pencalonan. Bahkan, tak perlu “karir politik” yang biasa disyaratkan dalam pencalonan. Wajar, jika dalam sistem demokrasi sirkulasi kekuasaan hanya berputar pada mereka yang punya uang atau kekuatan modal, atau mereka yang ada dalam lingkaran pemilik kekuasaan. Tak heran, jika sistem politik demokrasi cenderung membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan dan memunculkan konflik kepentingan. Kebijakan penguasa hanya menjadi alat mengukuhkan Dinasti kekuasaan dan lahan mengembalikan modal para sponsornya. Wajar jika praktik kolusi, nepotisme, dan korupsi begitu marak dalam sistem demokrasi yang meniscayakan politik Dinasti ini. Prosesi pengangkatan pemimpin dalam khilafah sangat sederhana sekaligus steril dalam permainan politik. Kesederhanaan itu tidak memerlukan biaya tinggi atau lapisan regulasi yang mudah dipermainkan oknum yang tak takut akan pengawasan Allah. Semua itu bisa terjadi karena pengangkatan Khalifah tidak memiliki tujuan selain menegakkan hukum Allah yang dipastikan keadilannya bagi manusia melalui kekuasaan. Karena itu, celah bagi kolusi dan upeti dalam pemilihan pejabat juga akan tertutup sama sekali.

Dalam Islam, seorang Khalifah minimal harus memiliki tujuan syarat yang wajib dipenuhi. Yakni laki – laki Muslim, baligh, berakal, adil, merdeka, dan memiliki kemampuan. Mekanisme pemilihan Kepala Daerah baik wali maupun amil akan ditunjuk oleh Khalifah. Khalifah yang terdiri dengan syarat tadi, tentu hanya akan memilih figur yang bertakwa,amanah dan kapabel. Semua tanpa biaya, tanpa mahar ini dan itu. Sehingga Dinasti kekuasaan tidak akan terjadi. Adapun secara praktis, pemberantasan korupsi dalam Islam, diantaranya dilakukan melalui beberapa upaya berikut ini:
Pertama, penanaman Iman dan takwa, khususnya kepada pejabat dan pegawai. Aspek ketakwaan menjadi standar utama dalam pemilihan pejabat. Ketakwaan itu akan mencegah pejabat dan pegawai melakukan kejahatan korupsi. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mencontohkan hal itu, tidak ada yang meragukan ketakwaan sahabat Muadz bin Jabal ra. Namun, tatkala Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengutus Muadz ke Yaman menjadi Amil, yakni Kepala Daerah setingkat Bupati dan ia sudah dalam perjalanan, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, memerintahkan untuk memanggil Muadz agar kembali. Lalu, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda kepada Muadz, ” Tahukah kamu mengapa aku mengirim orang untuk menyusulmu, janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulul (Khianat). Siapa saja yang berkhianat pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu. (TQS. Ali Imran(3):161)

“Karena inilah aku memanggilmu, Sekarang, pergilah untuk melakukan tugasmu.” ( HR. At Tirmidzi & At Tabrani )

Kedua, Sistem Penggajian yang Layak, hingga tidak ada alasan untuk korup.

ketiga, Ketentuan serta Batasan yang Sederhana dan Jelas tentang Harta Ghulul serta Penerapan Pembuktian Terbaik.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: ” Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan Pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul. ” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah & Al Hakim)

Berdasarkan hadis ini, harta yang diperoleh aparat, pejabat dan penguasa selain pendapatan atau gaji yang telah ditentukan apapun namanya seperti hadiah, pungutan suap, dan sebagainya merupakan harta ghulul dan hukumnya haram.

Keempat, hukumnya bisa memberikan efek jera dalam bentuk sanksi Ta’zir. Hukumnya itu akan berupa ta’zir yakni berupa tasyhir atau pemberitahuan ke publik, penjara yang lama (hukuman kurungan) bahkan bisa sampai hukuman mati sesuai dengan tingkat dan dampak korupsinya. Sanksi penyitaan harta ghulul juga bisa ditambah dengan denda. Gabungan keduanya, ini sekarang dikenal dengan pemiskinan terhadap para koruptor. Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang. Alhasil, pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil dalam sistem Islam, yakni Khilafah Islam. Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *