Oleh: Nisaa Qomariyah, S.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Muslimah Peduli Negeri)
Kaum pelangi kembali menjadi sorotan. Belum lama ini, korporasi multinasional Unilever menyatakan dukungannya terhadap gerakan Lesbian Gay Biseksual Transgender Queer (LGBTQI+) melalui akun Instagramnya. Selain itu pihak mereka juga mengganti warna pada logo U menjadi berwarna pelangi seperti logo LGBTQI+. (suara.com, 22/6/2020).
Untuk mendukung kampanye LGBTQI+ tersebut, Unilever menandatangani Deklarasi Amsterdam, dan bergabung dengan Open for Bussiness untuk menunjukkan bahwa Unilever dengan inklusi LGBTQI+ serta meminta Stonewall mengaudit kebijakan dan mengukur tindakan Unilever dalam bidang ini.
Adanya pernyataan secara terang-terangan yang dilakukan pihak Unilever di akun Instagramnya, menuai pro-kontra warganet. Banyak warganet yang tidak segan-segan menyerbu akun tersebut dan meninggalkan komentar yang menohok. Tidak sedikit yang berkomentar bahwa mereka sangat menolak keras jika Unilever memberikan dukungan terhadap LGBTQI+. Bahkan, warganet juga memberikan seruan untuk melakukan pemboikotan terhadap produk-produk yang dikeluarkan Unilever dengan menuliskan #BoikotUnilever.
Fakta berbicara, jika kita menilik lebih jauh, bukan hanya Unilever saja yang mendukung kaum pelangi ini. Sebut saja Instagram, jejaring sosial yang berada dalam naungan Facebook ini tidak jauh beda. Dukungan Instragram ini dapat dilihat pada tanda pagar #LG8T yang muncul perayaan Pride Day atau pawai kebebasan. Sampai saat ini, dukungan terhadap LG8T itu makin menguat apalagi dengan menambahkan adanya fitur ‘pride’ dalam sisi awal story, termasuk dalam stiker yang digunakannya.
Penolakan terhadap sikap Unilever yang disuarakan warganet juga menuai tanggapan dari Ketua Komisi Majelis Ulama Indonesia, Azrul Tanjung. Ia meminta kepada pihak Unilever agar segera menghentikan kampanyenya terhadap pro-LGBT. Ia menambahkan kampanye tersebut bukan hanya akan menimbulkan gerakan antipati di masyarakat, melainkan juga kerugian bagi Unilever.
Hingga detik ini, hegemoni Kapitalisme atas dunia terus menancapkan akarnya. Tidak terkecuali di dunia Islam. Kapitalisme yang berasaskan pemisahan agama dari kehidupan, memiliki paradigma bahwa setiap manusia memiliki hak untuk menentukan aturan main dalam kehidupannya. Jadi agama tidak boleh ikut campur dalam permasalahan dunia. Sebab aturan agama dianggap mengekang kebebasan pada diri manusia. Maka dari itu, menjadi kaum pelangi bukan lagi sebuah penyimpangan di mata pejuang Hak Asasi Manusia (HAM). Tidak heran jika korporasi multinasional terang benderang memberikan dukungan terhadap kaum tersebut. Karena keberpihakan mereka telah dipengaruhi oleh hitungan bisnis.
Ya, itulah sejatinya pemikiran dan arah pandang yang dimiliki pengemban sekularisme-kapitalisme sejati. Otak kapitalnya senantiasa berorientasi materi dan mengedepankan hawa nafsu dunia. Mencampakan aturan agama dengan mengabaikan halal-haram. Kepuasan jasadiah dan materi di atas segalanya, sehingga kerusakan moral generasi menjadi keniscayaan. Watak buruk kapitalisme yang nyata menghancurkan dan memporak-porandakan generasi Islam dengan melalui perilaku bebas tanpa batas terpampang sangat mengerikan.
Sebetulnya tidak aneh juga jika hari ini kaum pelangi menjadi penyakit mengerikan di tengah umat. Sebab perilaku buruk mereka telah Al-Qur’an beritakan bahwa keberadaan mereka sudah ada sejak zaman Nabi Luth as. Bahkan Al-Qur’an menyebut perbuatan kaum Nabi Luth as ini dengan sebutan ‘fahisyah’ yang memiliki arti perbuatan keji. Dalam hal ini yakni sebuah perbuatan zina, lesbian atau homo, dan lainnya. Sebagaimana dalam firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an surat Al-A’raaf (7) ayat 80-81, “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya).(Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”.
Penyimpangan seksual yang tidak sesuai fitrah manusia jelas menimbulkan kerusakan. Tidak hanya menciderai lembaga pernikahan, tapi juga merusak hakikat penciptaan manusia. Perbuatan ini juga merusak mental-spiritual dan masa depan kehidupan manusia. Bahkan mengancam eksistensi manusia dan mengantarkannya pada jurang kepunahan umat manusia.
Tentu sangat mengerikan, jika membayangkan mayoritas manusia berperilaku seperti kaum Nabi Luth as., niscaya akan punahlah kehidupan manusia di muka bumi ini. Padahal, binatang saja yang tidak diberikan akal dan kalbu oleh Allah Swt., tidak ada yang menyukai sesama jenisnya. Dapat diartikan kaum pelangi ini perilakunya lebih buruk dari yang terburuk daripada perilaku binatang. Na’udzubillah.LG8T jelas merupakan sebuah perbuatan yang sangat bertentangan dengan fitrah manusia. Karena sejatinya Allah Swt. menciptakan manusia untuk memiliki naluri melestarikan keturunan, hingga diciptakan kecenderungan untuk mencintai lawan jenis. Oleh sebab itu, dalam rangka memelihara keturunan manusia dan nasabnya, Islam jelas telah mengharamkan bagi siapapun yang melakukan zina, gay, lesbian dan penyimpangan seks lainnya. Selain itu, Islam juga mengharuskan dijatuhkannya sanksi bagi pelakunya. Untuk itu syariat Islam memiliki hukum yang tegas bagi pelaku fahisyah ini.
Berikut beberapa pendapat mengenai hukuman bagi pelaku fahisyah:
Pertama, menurut ulama Al-Imam AsySyaukani Rahimahullah dalam “Ad-Darariy Al-Mudhiyah” bagi orang yang melakukan perbuatan liwath dengan dzakar (penis)nya maka hukumannya adalah dibunuh, meskipun yang telah melakukannya belum menikah, baik itu fa‟il (pelaku) maupun maf‟ul bih.
Kedua, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Al Baihaqy dari Ali bahwa dia pernah merajam orang yang berbuat liwath. Imam Syafi’i mengatakan: “Berdasarkan dalil ini, maka kita menggunakan rajam untuk memberikan hukuman bagi orang yang berbuat liwath, baik itu muhshon (sudah menikah) ataupun ghairu muhshon.
Ketiga, seperti yang telah disampaikan oleh Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abi Rabbah, Hasan, Qatadah, Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Imam Yahya dan Imam Syafi’i mengatakan bahwasanya hukuman bagi yang telah melakukan liwath sebagaimana hukuman zina. Jika pelaku liwath muhshon maka dirajam, dan jika bukan muhson dijilid (dicambuk) dan diasingkan.
Keempat, sebagaimana yang telah Abu Hanifah katakan: “Hukuman bagi yang melakukan liwath adalah di-ta’zir, bukan dijilid(cambuk) dan bukan pula dirajam. Abu Hanifah memandang perilaku homoseksual cukup dengan ta’zir.
Hukuman jenis ini tidak harus dilakukan secara fisik, namun bisa melalui dengan adanya penyuluhan atau terapi psikologis agar bisa pulih kembali.
Dari paparan di atas jelas tidak ada sebuah argumen yang dapat dijadikan sebagai suatu pembenaran atas perilaku kaum pelangi maupun legalisasi perkawinan sejenis, termasuk argumen Hak Asasi Manusia (HAM), sebab perilaku kaum tersebut itu justru telah melanggar HAM. Melawan nurani dan fitrah kemanusiaan yang benar dan lurus, maupun mematikan proses reproduksi melalui pernikahan berbeda jenis dan mematikan masa depan kemanusiaan.
Sudah saatnya kembali ke pangkuan Islam sebagai aturan yang paripurna. Memeluk Islam secara kafah hingga menjadi hamba yang bertakwa. Bukankah dalam Al-Qur’an juga sudah ditegaskan dalam surat Al-Hujurat : 13, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa”.
Ketegasan hukuman yang Allah Swt, tetapkan merupakan kasih sayang Sang Pencipta (rahmat) kepada manusia dan alam sekitarnya, agar umat Nabi Muhammad Saw,hidup menjadi adil, damai dan sejahtera.
Wallahu a’lam bi ash-shawab